Hasil panen yang ditampilkan memperlihatkan betapa Merauke, Papua, kaya sumber pangan lokal dengan hasil mencengangkan. Ada ubi jalar berdiameter satu meter lebih. Bahkan, ada kombili atau kentang hitam memiliki panjang lebih dari dua meter!
Beragam hasil bumi ada di sini. Dari keladi, petatas (ubi jalar), kombili (kentang hitam), pisang sampai sagu. Pesta tanaman produksi lokal ini berisi persaingan menampilkan hasil panen antar kampung maupun kelompok. Lalu, akan terlihat mana yang memiliki biji atau buah paling kecil dan terbesar. Nilai yang diambil dari ‘persaingan’ ini, kalau umbian atau hasil panen lebih kecil berarti kalah. Yang kalah harus berjanji berusaha keras agar lebih besar lagi. Pesta tahunan ini disebut dikenal dengan ndambu.
Ratusan tahun lalu, ndambu diadakan guna mencairkan perselisihan, antar kampung dan marga maupun antardistrik di pulau ini ratusan tahun silam. Kata ndambu, berarti bersaing sehat.
Ritual ini diadakan di pulau terapung, Kimaam, tepatnya di ujung Papua, berbatasan dengan Papua New Guinea, dan Laut Arafura. Ke Pulau Kimaam, perlu sehari semalam melalui jalur laut dari Merauke. Bisa juga jalur udara, satu-satunya pakai pesawat Susi Air. Ada empat distrik di Kimaam, yaitu, Kimaam, Tabonji, Waan dan Ilwayab.
Kami berangkat dengan KRI Mulga 832 dari Makolantamal XI Merauke dan Kapten Laut Pelaut Ardian Wijanarko. Tiba di Pall Putih, terjangan angin dan ombak makin kencang. KRI Mulga menerobos gelombang dan angin hingga tiba di pintu Selat Mariana menuju Pulau Kimaam. Terlihat buih-buih air laut menghindari jalan kapal.
Pulau Kimaam, terpisah dengan daratan Merauke, terletak di sebelah selatan Papua. Ia ditemukan warga Belanda, Frederik Hendrik. Orang setempat menyebut penduduk, Suku Marind Sub Suku Khima-khima. Selat Mariana, nama pemberian Hendrik. Setelah Indonesia masuk, nama itu menjadi Pulau Yos Sudarso, angkatan laut yang gugur di laut Arafura.
Ndambu, merupakan salah satu ritual turun temurun di sini. Yanuarius Petrus Yamaka, pria 75 tahun, Ketua Lembaga Masyarakat Kimaam (Lemaskim), mengatakan, daratan pulau ini selalu menggelar ndambu. Ndambu ada, katanya, sejak leluhur orang Kimaam.
Mereka menampilkan hasil bumi seperti umbi-umbi, keladi, petatas, kombili, pisang serta sagu. Ndambu juga diadakan kala kerabat, orang-orang penting dari keluarga batih meninggal. Ndambu untuk memperingati arwah mereka.
Yamaka mengatakan, ndambu, adalah pesta panen terbesar pulau ini dengan kegiatan terpusat di Lapangan Makura. Pulau ini, katanya, terbagi dalam Kimaam Tengah, Kimaam Utara dan Kimaam Selatan.
Pesta ndambu, masing-masing wilayah, hampir sama. Intinya, nilai ritual ini harus bekerja keras, jangan malas. Menanam bukan hanya untuk festival tetapi memenuhi keperluan keluarga.
Menarik lagi, tetua adat mempunyai kalender musim berdasarkan hitungan bintang, bulan, matahari. Ia diberi nama ada 12 bulan juga. Ada bulan, di mana orangtua bisa menceritakan untuk generasi berikut, bahwa bulan ini harus kerja dan jangan malas, bercocok tanam, siapkan bedeng, juga rumah bocor diperbaiki.
Ada juga, musim air pasang, kala tumbuhan sulit hidup. Namun, luar biasa, petatas terbesar masih tersimpan dalam tanah.
Romanus Mbraka, Bupati Kabupaten Merauke mengatakan, tiga tahun pesta ini berlangsung baik tetapi belum ditemukan pola yang baik. Dia berharap, ke depan, ndambu bisa dikenal tak hanya di Papua, juga nasional dan internasional.
Dia mengusulkan, ndambu antarkeluarga juga, misal, satu keluarga berapa orang, bertanding sudah berapa yang mendapat pekerjaan, TK, SD, SMA, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi. “Makna Ndambu berarti persaingan. “Supaya generasi orang Kimaam jangan meninggalkan Pesta Ndambu,” katanya.
Urbanus Kaize, Ketua Panitia Festival Ndambu 2015, mengatakan, peserta Ndambu dari empat distrik sekitar 8.200 orang. Berbagai lomba diadakan, seperti lomba dayung satu kaki, dayung beregu, panahan tradisional, anyam rambut tradisional, gulat manjipai atau gulat bob. Lalu, tangkap kepiting, pangkur sagu, pahat perahu dan mengukir piring dan senduk. Gawe yang menghabiskan APBD 2015 sekitar Rp3,5 miliar ini sangat menarik. “Memang pesta ini terkendala transportasi baik udara dan laut,” katanya. Padahal, mereka ingin perayaan ini bisa dikenal di dalam maupun luar negeri.
Srimas N, Staf Asisten Departemen Pengembangan Segmen Pasar Personal Kementerian Pariwisata senang saat tiba di Kimaam. “Luar biasa, orang dayung satu kaki, dan petatas terbesar baru pertama kali saya lihat. Orang Kimaam ramah dan tentram.”
Ndambu, katanya, bukan hanya prestasi hasil pertanian tetapi perdamaian, sampai penyelesaian konflik. Menarik jika Ndambu dipoles lagi, promosi digalakkan. “Jangan hanya dimiliki sendiri. Alangkah baiknya banyak promosi. Daya tarik wisata lebih dikembangkan.”
Domin Ulukyanan, Wakil Ketua Panitia Festival Ndambu mengatakan, di Pulau Kimaam, terdapat delapan bahasa asli ditambah bahasa Indonesia. Orang Indonesia, katanya, harus belajar pada orang Kimaam dalam menyelesaikan persoalan. Sejak belum ada NKRI, ndambu sudah ada. Ada penghargaan tanpa pandang suku, budaya, dengan agama.
“Kalau ada masalah segera diselesaikan. Indonesia sekarang, terkenal saling menghina dan menjatuhkan, hingga menuai konflik dan tidak menyelesaikan masalah. Seharusnya, Indonesia belajar dari orang Kimaam. Menyelesaikan masalah harus beradat. Jangan menimbulkan dendam lama. Di Kimaam tidak terjadi. Segala sesuatu diselesaikan dengan bermartabat tinggi yaitu ndambu.”
Ndambu, hari pertama 20 Agustus itu, menampilkan gulat tradisonal (gulat bob atau manjipai). Dua orang hadir di lapangan terbuka, kemenangan ditandai dengan melepaskan daun sagu yang dipegang empat orang dengan pelepah sagu.
Bagian lain, ada meletakkan umbi keladi besar dan kombili terpanjang. Ada kombili 2,29 meter asal Kampung Kalilam melawan kelompok lain Distrik Kimaam.
Ceritanya, salah satu keluarga di kampung meninggalkan warga lain yang mencari ikan di Kali Ndambu. Entah mengapa, warga kampung sebagian pulang tanpa pemberitahuan.
Kelompok pencari ikanpun men-ndambu keluarga yang pulang dengan menampilkan kombili terpanjang. Kelompk yang di-ndambu kalah dalam pertandingan. “Silakan kalian tanam, tetapi kali ini, saya yang jago-jago merawat kebun serta menanam maka lebih panjang dan besar,” kata Donatus Nduarima Kabu, di hadapan pengunjung ndambu.
Kapur putih dihamburkan di atas kombili. Peserta tampak saling mengejek, dan mancaci. Akhirnya, kesepakatan dua kubu saling berdamai dengan berangkulan, ditutup makan pinang bersama.
Esoknya, ndambu berlanjut persaingan 15 umbi petatas milik Distrik Waan. Petatas diarak menggunakan tandu karena sangat berat. Ada kuning, ungu, dan putih. Tinggi sebatas lutut orang dewasa. Setelah juri dua pihak mengukur diameter maing-masing umbi, petatas terbesar 1,52 meter menang. Umbi dipertontonkan kepada khalayak ramai.
Penonton berdecak kagum saat melihat petatas terbesar ini. “Cara mencabut dan menggotong bagaimana. Pasti berat ratusan kilogram,” kata Firman Hotasoit, wartawan Media HarianPapua Selatan Pos.
Dari Distrik Waan juga membawa tiga karung gabah, pertanda kesuksesan menanam walaupun setiap tahun daerah mereka terkenal dengan bencana air pasang karena letak lebih rendah dari laut. Daerah ini juga terkenal bedeng yang disebut Wambad. Ukuran tergantung pembuat. Setiap bedeng bisa sebesar lapangan bola yang ditanami tumbuhan jangka panjang seperti sagu, sukun, kelapa. Sebagian lagi bedeng untuk pondok dan buat tanaman seperti petatas, kombili, sayuran, labu dan lain-lain. Mereka menanam dengan pupuk alam, membersihkan kebun, merawat hingga panen.