,

Ratusan Jenis Burung di Indonesia Bernasib Terancam Punah. Apa Penyebabnya?

Sekitar 131 jenis burung di Indonesia bernasib terancam punah. Kondisi ini menobatkan Nusantara sebagai negara nomor satu di dunia dalam hal jumlah jenis burung yang terancam menuju kepunahan. Degradasi lahan dan rusaknya habitat merupakan faktor utama yang menyebabkan kehidupan makhluk bersayap ini kian tercekam.

Kepala Unit Komunikasi dan Pengembangan Pengetahuan, Burung Indonesia, Ria Saryanthi mengatakan, dari 131 jenis burung yang terancam punah itu diantaranya terdapat jalak putih (Sturnus melanopterus). Burung dwiwarna dengan tenggorokan putih yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali ini populasinya makin menurun dan berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) berdasarkan Daftar Merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 

Ada juga ekek-geling jawa (Cissa thalassina), burung endemik Pulau Jawa dengan jumlah populasinya sekitar 249 individu yang juga berstatus Kritis. Begitupun dengan trulek jawa (Vanellus macropterus) yang terakhir terlihat pada 1940, sebagai burung langka juga berlebel Kritis. Beberapa jenis lain seperti kakatua, elang, rangkong gading, jalak bali, dan jenis burung berkicau juga makin memprihatinkan nasibnya.

“Kita nomor satu di dunia untuk jumlah jenis burung yang terancam punah. Padahal, Indonesia merupakan rumah bagi 1.666 jenis burung yang 426 jenisnya merupakan endemik,” kata Ria, belum lama ini.

Ria menyebut, ancaman perburuan yang masih tinggi turut melengkapi status kerawanan hidup yang dihadapi burung. Rangkong gading (Rhinoplax vigil) misalnya. Dalam tiga tahun terakhir, hampir ratusan individu jenis ini diburu untuk diambil paruhnya. “Kualitasnya sama, bahkan lebih baik dibandingkan gading gajah, ditambah lagi dengan adanya permintaan pasar luar seperti Tiongkok.”

Menurut Ria, upaya pencegahan harus dilakukan agar populasi berbagai jenis burung yang ada tetap terjaga. “Harus ada perlindungan dari pemerintah, dan juga keterlibatan masyarakat untuk menjaga dan mengawasi keberadaan satwa liar asli Indonesa harus dilakukan.”

Burung Indonesia, lanjut Ria, mendesak pemerintah segera merevisi Undang-undang No 5 Tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, agar memperberat hukuman bagi pemburu, penangkap serta penjual satwa liar di Indonesia.

Hukuman perlu ditingkatkan dan diperberat agar ada efek jera. Bila selama ini cuma dihukum enam bulan bahkan ada yang bebas, ini tidak setimpal dengan kerugian ekosistem yang diderita akibat dari perburuan dan perdagangan satwa liar tersebut. “Kalau ada politik yang baik dan komitmen yang tinggi dari pemerintah, perdagangan satwa liar termasuk berbagai jenis burung langka pastinya bisa ditekan.”

Burung cendrawasih yang ada di Bali Safari and Marine Park. Foto: Petrus Riski
Burung cendrawasih yang ada di Bali Safari and Marine Park. Foto: Petrus Riski

Rosek Nursahid, Ketua Protection of Forest & Fauna (ProFauna) Indonesia, mengingatkan masyarakat untuk tidak memelihara satwa liar yang dilindungi, baik dalam bentuk hidup maupun yang diawetkan. Rosek mengatakan, semua aktivitas memelihara maupun menangkarkan satwa liar tanpa izin resmi, merupakan kegiatan melanggar hukum dan undang-undang.

“Semua satwa liar dilindungi oleh undang-undang. Kalau ada yang memelihara atau menangkarkan tanpa dilengkapi izin resmi, polisi punya kewenangan untuk memproses secara hukum,” ujar Rosek.

Masyarakat yang menyebut dirinya pencinta satwa liar namun memelihara, justru tidak memahami aturan kepemilikan tersebut. Satwa liar termasuk di dalamnya berbagai jenis burung, lebih baik dibiarkan hidup di habitat aslinya, yakni alam liar.

“Banyak masyarakat serta komunitas pencinta satwa, mengaku menangkarkan satwa yang dimilikinya. Faktanya, satwa atau burung liar yang mereka pelihara itu sering diperoleh dari pasar gelap atau para pemburu saat satwa tersebut masih bayi. Ini tidak boleh terjadi, harus ada hukum yang dapat membuat mereka jera,” pungkas Rosek.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,