,

Hutan dan Lahan Gambut di Muba Rusak karena Peranan Masyarakat Adat Dihilangkan

Berbagai persoalan terkait kerusakan hutan, termasuk munculnya bencana kabut asap, salah satunya disebabkan hilangnya peranan masyarakat adat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya mengakui, menghidupkan, dan melindungi masyarakat adat.

“Saya yakin, jika masyarakat adat diberikan haknya kembali mengelola hutan dan lahan gambut, persoalan kerusakan dan kebakaran terhadap hutan, dan lahan gambut dapat dikurangi,” kata Beni Hernedi, Wakil Bupati Musi Banyuasin (Muba), dalam diskusi “Silahturahmi dan Dialog Masyarakat Adat di Sekayu, Kabupaten Muba, Sumatera Selatan, Senin (12/10/15) malam.

“Kabupaten Muba merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Selatan yang paling banyak mengalami kebakaran di Indonesia. Ini karena lemahnya atau tidak ada lagi peranan masyarakat adat dalam mengelola hutan dan lahan gambut,” lanjutnya.

Guna mendorong pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Muba, kata Beni, dirinya sangat mendukung apa yang diperjuangkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan berbagai jaringan lainnya.

Berbagai upaya tersebut, misalnya melakukan pemetaan wilayah dan masyarakat adat di Muba, serta upaya pelahiran peraturan daerah terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

“Termasuk pula memetakan kembali jenis tanaman yang ramah lingkungan, khususnya yang berkarakter lahan gambut. Sebab, sejumlah tanaman seperti sawit dan karet terbukti tidak sesuai. Namun, guna mengubahnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Minimal perluasan perkebunan sawit dan karet kian dibatasi dan tergantikan dengan tanaman lain yang lebih ramah lingkungan,” kata Beni.

Sebaran marga yang ada di Sumatera Selatan. Sumber: AMAN Sumsel

Peraturan Daerah Masyarakat Adat

Mualimin Pardi Dahlan, aktivis hukum dari AMAN, menjelaskan target jangka pendek masyarakat adat, termasuk di Muba, yakni segera mewujudkan peraturan daerah. “Hukum international maupun nasional mulai memberikan tanda positif terhadap masyarakat adat. Tinggal kita mewujudkan aturan yang berhubungan langsung dengan kita yakni peraturan daerah.”

Ada dua langkah untuk mewujudkan peraturan daerah tersebut. Pertama, membangun pemahaman atas nilai-nilai luhur adat yang peduli dengan lingkungan dan manusia.

Kedua, melakukan tahapan kerja terkait proses pembuatan peraturan daerah, termasuk pula memetakan wilayah dan masyarakat adat.

“Langkah tersebut dapat berjalan baik dengan memperbanyak dialog, musyawarah, pencatatan, dan komunikasi dengan banyak pihak,” katanya.

Kegiatan silahturahmi, serta pendidikan etnografi dan fasilitator kampung, yang diselenggarakan AMAN berlangsung dari 12-14 Oktober 2015, diikuti 33 peserta dari sembilan marga di Kabupaten Musi Banyuasin, serta perwakilan marga di Kabupaten Muara Enim, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, serta Ogan Komering Ilir (OKI).

“Selain mendorong pemetaan, peraturan daerah, kegiatan ini juga mendorong nilai-nilai adat yang dapat dijadikan pegangan atau solusi dalam mengatasi persoalan karakter bangsa Indonesia saat ini. Misalnya sikap gotong royong, tidak tamak atau berkeadilan, melestarikan bumi, toleransi, sederhana, jujur, dan lainnya,” kata Rustandi Adriansyah, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Sumsel.

Abdul Khodir Jailani, masyarakat adat Sangadesa mengatakan, Presiden Jokowi sudah menunjukkan sikapnya yang positif terhadap masyarakat adat. “Tapi tinggal sikap pemerintah di daerah. Kami berharap pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif sejalan dengan keinginan Jokowi.”

“Kami siap di depan menjaga hutan dan lahan gambut, jika hak-hak kami diakui dan dilindungi,” kata Khodir.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,