, ,

Berkebun Sawit, Salah Satu Persoalan yang Dihadapi Masyarakat Adat di Sumsel

Ada sejumlah persoalan pada masyarakat adat di Sumatera Selatan (Sumsel) yang harus diselesaikan, sebelum mereka diberi kepercayaan pemerintah guna menjaga hutan dan lahan gambut. Misalnya, sebagian besar masyarakat adat saat ini hidup bergantung dengan perkebunan sawit, yang terbukti telah merusak hutan dan lahan gambut, serta membutuhkan lahan yang luas.

Pertama, sebagian masyarakat adat kini turut berkebun sawit. Ini akibat kebijakan pengembangan ekonomi masyarakat desa oleh pemerintah selama pemerintahan Orde Baru.

“Kami sadar perkebunan sawit ternyata merusak kualitas lahan gambut dan hutan, sehingga lahan begitu mudah terbakar, dan menyebabkan kekeringan dan banjir. Tapi selama berpuluh tahun sawit telah menghidupi kami. Memberi makan kami. Membiayai sekolah kami. Lalu, karena sawit merusak hutan dan lahan gambut, apa kami harus  menebangnya? Kami akan makan apa? Pemerintah perlu mencari solusinya,” kata Henny dari Marga Bayat.

Henny menyampaikan keterangan tersebut pada kegiatan silaturahmi, serta pendidikan etnografi dan fasilitator kampung, yang diselenggarakan AMAN, 12-14 Oktober 2015, dan diikuti 33 peserta dari sembilan marga di Kabupaten Musi Banyuasin, serta perwakilan marga di Kabupaten Muara Enim, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, serta Ogan Komering Ilir (OKI).

Kedua, persoalan narkoba saat ini masuk ke desa, termasuk merasuki kaum muda masyarakat adat. “Narkoba menyebabkan pemuda masyarakat adat rusak. Mereka menjadi tidak produktif. Pemerintah, khususnya kepolisian harus serius mengatasi persoalan ini. Selama narkoba bebas masuk desa, sulit menghidupkan kembali masyarakat adat, dan hidup akan terus miskin,” kata Efni H, warga dari Marga Batanghari Leko.

Ketiga, adanya konflik lahan antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun pihak perusahaan. “Konflik ini hampir terjadi pada semua wilayah masyarakat adat. Hanya, ada yang terbuka ke publik dan sebagian masih tertutup,” kata Muhammad Isa dari Marga Lawang Wetan.

Imam Hanafih dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menjelaskan, salah satu cara untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, masyarakat adat harus melakukan pemetaan dirinya. “Baik pemetaan wilayah maupun pemetaan terhadap identitas dirinya sebagai masyarakat adat.”

Pemetaan wilayah gunanya untuk mengatasi berbagai konflik lahan, sementara pemetaan identitas masyarakat adat untuk menemukan kearifan maupun tata nilai masyarakat adat dalam membangun kehidupan di wilayahnya maupun dengan lingkungannya. Dalam hal ini hutan atau lahan gambut.

“Saya pikir masyarakat adat yang masih memegang teguh nilai-nilainya akan lebih mampu bertahan terhadap serangan nilai-nilai negatif dari luar. Termasuk soal narkoba maupun kapitalisasi perkebunan seperti sawit maupun karet. Tapi, saya memaklumi kondisi di Sumatera Selatan ini sebab Orde Baru begitu sistematis mengubah karakter masyarakat adat,” kata Imam.

Tradisi dan kesenian

Rustandi Adriansyah, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Sumsel, mengatakan selain melakukan pemetaan guna mengatasi persoalan tersebut, diperlukan upaya dalam membangun silaturahmi masyarakat adat. “Kegiatan atau pendekatan yang paling efektif, menurut kami dengan menghidupkan dan menjaga tradisi dan kesenian yang ada,” katanya.

“AMAN sangat mendukung dan memfasilitasi keinginan masyarakat adat untuk melakukan pemetaan akan wilayah dan identitas dirinya, termasuk upaya melestarikan tradisi, seni, dan bahasa dari masyarakat adat tersebut,” ujarnya.

Dijelaskan Rustandi begitu banyak tradisi dan seni yang ada di Sumsel yang sangat menjunjung keberagaman, kemanusiaan, dan kearifan dalam mengelola sumber daya alam. “Inilah kekuatan Bangsa Indonesia yang telah dihancurkan, sehingga kehidupan bangsa seperti sekarang ini. Agar masa depan kita selamat, mari kita hidupkan kembali.”

Sarjana pendamping adat

Beni Hernendi, Wakil Bupati Musi Banyuasin, mengatakan pihaknya berencana mengadakan sarjana pendamping adat. “Para sarjana ini merupakan putra-putri dari masyarakat adat. Mereka akan mendapatkan tugas untuk mendampingi masyarakatnya untuk menghidupkan dan menjaga kembali nilai-nilai adat. Sehingga kontrol bukan hanya dilakukan oleh pihak luar, juga dari dalam,” katanya.

Para sarjana pendamping adat ini, akan berada di depan bersama para sesepuh adat dalam menjaga nilai-nilai luhur adat, dan menjadi penyaring pertama nilai-nilai moderen yang berguna bagi masyarakat. Masyarakat adat itu bukan tidak boleh hidup moderen, tapi mereka tetap menjaga nilai-nilai adat, sehingga ancaman merusak moral dan alam terhindarkan.

“Para sarjana pendamping adat ini akan dimasukan dalam usulan peraturan daerah terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Musi Banyuasin,” ujar Beni.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,