Presiden Jokowi menilai kebakaran lahan gambut yang berdampak pada bencana asap yang berlangsung selama 18 tahun karena ada yang salah dalam pengelolaannya. Ke depan, lahan gambut harus dikonservasi menjadi hutan. Lahan gambut yang sudah dikelola, harus dilakukan evaluasi. Sementara ekosistem gambut yang belum dibuka, dilarang dimanfaatkan.
“Kita harus tata kembali ekosistem lahan gambut,” kata Jokowi saat bertemu 11 pemimpin redaksi media massa di Hotel Arista, Palembang, Kamis (29/10/15) malam.
“Saya telah memerintahkan kepada Menteri LHK untuk tidak mengeluarkan lagi izin di lahan gambut. Selanjutnya segera lakukan revitalisasi,” ujar Jokowi seraya melirik Siti Nurbaya yang mendampinginya.
Jokowi datang ke Palembang langsung dari Amerika Serikat. Dia kemudian meninjau Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Kunjungannya ke Sumatera Selatan untuk meninjau langkah mengatasi bencana kebakaran, termasuk dampaknya pada masyarakat.
Penjelasan tentang penghentian pemberian izin pembukaan lahan gambut disampaikannya saat ada pertanyaan apa langkah konkrit untuk mengatasi kabut asap yang tidak kunjung reda akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.
Jokowi mengingatkan kepada para pengusaha agar menyelesaikan kewajibannya dulu. Gambut yang sudah di-convert ini lahannya sudah dikeringkan. Dibuat kanalisasi. “Padahal yang kita mau jangan kanalisasi, tapi bloking kanal. Bloking kanal itu untuk memelihara agar tetap ada air. Ada perbedaan kanalisasi dan bloking kanal.”
Kalau kanalisasi itu, mereka membuang air dari gambut itu supaya kering, supaya mereka bisa menanaminya. “Bloking kanal itu, kita memblok airnya supaya tetap ada, supaya gambut ini tetap basah, itu yang pemerintah buat.”
443 ribu hektar harus dihutankan
Berdasarkan data Hutan Kita Institute (HaKI) luasan lahan gambut di Sumatera Selatan yang harus dikembalikan menjadi hutan seluas 443 ribu hektar, dari 1,25 juta hektar yang ada.
Rinciannya, gambut dangkal (0,5-1 meter) sekitar 590 ribu hektar, gambut sedang (1-2 meter) sekitar 224 ribu hektar, gambut dalam (2-3 meter) sekitar 160 ribu hektar, serta gambut sangat dalam (di atas 3 meter) sekitar 282 ribu hektar. Lahan ini berada di Kabupaten OKI, Musi Banyuasin (Muba), Banyuasin, Musirawas, Musirawas Utara, Muara Enim dan Penukal Abab Lematang Ilir (PALI).
Menurut data HaKI, dari luasan lahan gambut tersebut sekitar 740 ribu hektar dijadikan konsesi perkebunan dan kehutanan. Rinciannya di gambut dangkal seluas 282 ribu hektar, gambut sedang seluas 178 ribu hektar, gambut dalam seluas 107,8 ribu hektar, dan gambut sangat dalam seluas 173,5 ribu hektar.
Luas gambut yang masih tersisa atau tidak dibebani izin konsesi sekitar 516 ribu hektar. Namun, luasan ini masih bisa berkurang lantaran banyak lahan yang dirambah seperti dijadikan tambak udang dan ikan.
Sebaran titik api perusahaan
HaKI juga menyebut, titik api di lahan konsensi yang mencakup 80 persen lahan gambut di Sumatera Selatan mencapai 13.348 titik. Jumlah ini terhitung sejak Januari-27 Oktober 2015. Titik api tersebar pada konsesi 19 perusahaan HTI.
Dari data tersebut, HaKI mencatat titik api terbanyak berada di perusahaan hutan tanaman industri (HTI) milik Sinar Mas Group, teridentifikasi sekitar 10.700 titik atau 83 persen dari lahan konsensi yang terbakar. Kawasan gambut yang terbakar itu memiliki kedalaman sekitar 3 meter atau lebih.
“Perusahaan HTI yang paling banyak yang ditemukan titik api yakni PT. Bumi Andalas Permai (BAP) sebanyak 4.634 titik api dengan luasan 192.700 hektar yang berada di lahan gambut Kabupaten OKI,” kata Aidil Fitri, Direktur Eksekutif HaKI.
Dua hutan desa (HD) yakni Muara Merang dan Kepayang yang berada di hutan gambut Kabupaten Muba juga terbakar. HD Muara Merang seluas 7.250 hektar dengan 76 titik api, sedangkan HD Kepayang yang luasnya 5.170 hektar ada 74 titik api.
Dengan fakta tersebut, kata Aidil, pemerintahan Jokowi harus menghentikan semua izin yang menggunakan lahan gambut, baik untuk HTI maupun perkebunan sawit, tebu, dan lainnya. “Sementara, izin-izin yang sudah keluar harus dirasionalisasi. Ditinjau ulang. Bisa saja izinnya dicabut atau luasan lahan operasinya dikurangi,” kata Aidil.