, ,

Persiapan COP-21, Indonesia Hitung Emisi Kebakaran Hutan dan Lahan

Dalam konferensi para pihak (Conference of the Parties/COP-21) soal perubahan iklim di Paris, akhir bulan ini, Indonesia bakal menjadi sorotan dunia terutama karena produksi emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu, Pemerintah Indonesia akan menyiapkan perhitungan emisi dari kebakaran hutan dan lahan yang baru berlalu itu.

“Soal kebakaran hutan dan lahan khusus kita persiapkan materinya. Kita perkirakan jadi sorotan dunia,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, baru-baru ini di Jakarta.

Pemerintah, katanya, akan menerangkan kondisi yang terjadi di Indonesia. “Kita juga menyiapkan peneliti. Coba dihitung emisi akibat karhutla. Paling tidak perkiraannya,” katanya.

Beberapa kalangan menyebutkan emisi dari kebakaran mencapai satu giga ton. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama kementerian lain, juga akan melakukan perhitungan serupa.

Ketua Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, menjelang COP 21 Paris, Indonesia tampil dalam tekanan terutama karena kebakaran hutan dan lahan.

Dalam pertemuan nanti, kehadiran Presiden Joko Widodo menjadi sangat penting guna mengelaborasi sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim.

“Saya sudah berbicara dengan para duta negara. Mereka mengatakan, kehadiran Presiden menimbulkan potensi dukungan besar. Meskipun proses negosiasi multilateral alot.”

Sarwono mengatakan, ujian bagi Indonesia akan dilihat dalam kemarau tahun depan. Indonesia, katanya, harus bisa membuktikan mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut dengan ukuran nyata.

Dia berharap, sebelum COP 21, Indonesia sudah membentuk mekaniskme pendanaan untuk perubahan iklim karena sudah ditunggu banyak pihak.

Ada beberapa model pendanaan perubahan iklim yang disiapkan pemerintah. KLHK dan Kementerian Keuangan masih terus membahas ini. Kemungkinan, katanya, mengarah pada format Indonesia Climate Change Trust Fund plus. Dengan skema itu, perwalian dana makin luas. Kalangan masyarakat sipil, bisa ikut mengawasi alur pendanaan.

Paviliun Indonesia

Pada COP-21, pemerintah menyediakan paviliun seluas 250 meter persegi untuk memperkenalkan kegiatan-kegiatan pengendalian perubahan iklim di Indonesia. Paviliun dibuka langsung Presiden.

“Kita mempromosikan kegiatan terkait penanganan perubahan iklim. Semacam show case. Kita akan promosikan,” kata staf ahli Menteri LHK Agus Justianto di Jakarta, Kamis (19/11/15).

Paviliun ini yang ke-lima selama COP. Tema yang dihadirkan Solution to Climate Change, dengan sub tema beragam mulai energi terbarukan, pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat adat, dan lain-lain.

“Kita merancang berbagai kegiatan bentuk sesi seminar diskusi, pameran, pertunjukan kesenian, kuliner, multimedia interaktif, juga informasi melalui video mapping. Kita sudah menyewa konsultan menanyangkan video di wall paviliun,” katanya.

Dari kalangan akademisi, paviliun akan diisi peneliti dari Universitas Indonesia, yang akan mempresentasikan penelitian soal perubahan iklim. Dari pengusaha, APHI akan memaparkan best practise terkait pengelolaan hutan lestari. Kegiatan ini bisa disaksikan melalui website www.indonesiacop21.com

Perempuan adat di COP 21

Tak hanya pemerintah yang akan maju dalam pertemuan di COP 21, nanti. Perwakilan perempuan adatpun akan ikut ambil bagian. Mereka yang tergabung Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) akan membawa pesan-pesan agar pembangunan negeri benar-benar peka alam guna mengurangi dampak perubahan iklim, antara lain dengan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat dan wilayah mereka.

Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan AMAN mengatakan, kebijakan pembangunan bersandar pada pendekatan industri dan akumulasi modal, tidak memberikan ruang pada kearifan tradisional masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam. “Perempuan adat tidak lagi memiliki kesempatan mengembangkan dan mewariskan pengetahuan tentang benih, obat-obatan, membaca musim, dan lain-lain, akibat wilayah kelola perempuan berubah menjadi konsesi perkebunan, tambang, pabrik, dan lain-lain,” katanya, pekan lalu.

Negara, katanya, salah urus dalam mengelola sumber hidup dan wilayah adat. Penyerahan konsesi besar kepada perkebunan, tambang, HTI, dan taman nasional malah menyumbang percepatan perubahan iklim.

Afrida Erna Ngato, perempuan adat Suku Pagu, Halmahera Utara, menyatakan, perubahan iklim tak terlepas dari ketahanan pangan. “Kami di Maluku Utara, dengan globalisasi, semua orang konversi ke beras. Karena perubahan iklim ini, kita tak bisa tanam di sawah dan ladang. Singkong saya satu kebun tidak ada lagi daun. Mati!”

Masyarakat adat menjalankan kearifan turun menurun merawat alam. Pada kebakaran hutan dan lahan lalu, masyarakat adatpun sempat menjadi kambing hitam, disebut-sebut sebagai penyebab. Mereka akan klarifikasi ini di Paris.

“Kami menolak keras dituduh penyebab kebakaran lahan. Kami menyerukan kepada Pemerintah Indonesia menghentikan tudingan dan upaya memojokkan pengetahuan dan praktik perladangan gilir balik yang telah turun temurun ratusan tahun di komunitas adat kami,” kata Rukmini, perempuan adat Ngata Toro, Kulawi, Sulawesi Tengah.

Rukmini menegaskan, seluruh proyek pembangunan atau perubahan iklim di wilayah adat harus ada prinsip Free, Prior, Informed Consent (FPIC) sebagai prasyarat utama. Dengan prinsip ini, katanya, seharusnya perempuan adat bersama komunitas berhak mendapatkan informasi berimbang soal rencana proyek. Prinsip ini, juga menjamin rencana dan implementasi proyek tanpa paksaan, kekerasan, intimidasi dan diskriminasi.

Olvi Tumbelaka, perempuan AMAN Kalimantan Timur, mengatakan, akan mengawal isu perempuan adat dan wilayah hidup di Paris. Perempuan adat, katanya, menuntut pengakuan wilayah adat dan pengakuan atas pengetahuan mereka dalam mengelola sumberdaya alam. “Teknologi kami mengelola sumberdaya alam sederhana dan sudah terbukti rendah emisi,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,