Stefanus Yaru (23 tahun) menunjuk bibit-bibit kakao (Theobroma cacao L) di kebun pembibitan. Sebagian bibit itu terlihat layu. Daunnya kering. Namun, sebagian besar masih hijau dan terlihat segar.
Bibit-bibit kakao itu ditanam di polybag dalam beberapa kelompok, yang terlindung bangunan peneduh dari daun kelapa. Ada bibit yang sudah siap dicangkokkan, namun ada pula yang baru berumur sebulan. Bibit kakao siap distek jika berumur antara empat hingga lima bulan.
“Bibit-bibit ini akan kami pakai untuk sambung samping maupun sambung pucuk di pohon (kakao) yang sudah ada,” kata Stefanus.
Dua temannya, Esau Yaru dan Meiyaki Yaru membenarkan. Ketiganya petani muda anggota Kelompok Tani Srukumani, Kampung Suaib, Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura, Papua.
Kampung Suaib berada di kawasan Lembah Grime. Kawasan ini terdiri atas enam distrik dan 56 kampung. Selain Kemtuk ada pula Distrik Nimboran, Gresi, Nimbokrang, Namblong, dan Gresi Selatan. Kawasan ini merupakan wilayah sentra budi daya kakao sejak pemerintahan Belanda.
Kampung Suaib berjarak sekitar 60 km dari Kota Jayapura. Perjalanan sekitar 1,5 jam dengan kendaraan pribadi. Jalan ke sini melewati perbukitan dan hutan. Namun, dari kebun-kebun semihutan (agroforestry) itulah para petani Papua menghasilkan bahan baku untuk cokelat Swiss.
Stefanus maupun anggota Srukumani lain menyebut kakao andalan mereka dengan nama kakao Belanda. Nama itu merujuk pada asal usul kakao tersebut hingga bisa tiba di Papua. Kakao jenis tersebut memang dibawa pemerintah Belanda pada 1959 ketika mereka masih menguasai tanah Papua.
Kakao tersebut ditanam begitu saja di lahan milik-milik petani setempat. Tak banyak perlakuan untuk meningkatkan hasil panen. “Kami membiarkan begitu saja karena cuma dibiarkan pun sudah subur,” kata Nathaniel Yaru, Ketua Kelompok Tani Srukumani.
Ada tiga jenis kakao yang ditanam petani Papua pada umumnya yaitu jenis Criollo, Forastera, dan Kerafat. Ketiga jenis kakao ini tumbuh subur di dua kabupaten yaitu Manokwari dan Jayapura.
Gernas Kakao
Pada 2006, pemerintah menggalakkan program Gerakan Nasional (Gernas) Kakao. Pemerintah Kabupaten Jayapura turut memberikan biji kakao hibrida dari Pusat Penelitian Kakao dan Kopi Indonesia yang berkantor di Jember, Jatim. Petani Papua, termasuk Natahaniel maupun 32 petani lain di kampung itu, pun menanam kakao baru yang mereka sebut kakao Jember tersebut.
Nyatanya, menurut para petani, kakao Jember justru lebih rentan penyakit dibandingkan kakao Belanda. Selain buah di tiap pohonnya lebih sedikit, pohonnya pun lebih rentan terkena penyakit. “Buah kakao Jember juga lebih kecil,” kata Nathan.
Dia memberikan contoh, perlu 15 buah kakao untuk dapat 1 kg. Namun, buah kakao Belanda hanya perlu 8 – 10 buah. “Kalau kakao Belanda, dibuang saja bijinya sudah bisa tumbuh dengan baik. Kalau kakao Jember harus dirawat dari kecil,” tambahnya.
Menurut penelitian WWF Indonesia Program Papua, varietas kakao Belanda memang lebih unggul dibandingkan kakao Jember. Misalnya, kemampuan adaptasi terhadap pola budi daya petani setempat, buah lebih besar, jumlah biji lebih banyak, dan lebih moderat terhadap serangan hama penyakit.
“Klon-klon unggul kakao Belanda menjadi potensi penting bagi tersedianya bahan tanaman (entres), untuk rehabilitasi maupun pengembangan kakao di Kabupaten Jayapura,” kata Piter Roki Aloisius Puang, Koordinator Program Pengelolaan Hutan Berkelanjutan WWF Indonesia Program Papua.
Piter Roki menambahkan, berdasarkan observasi visual seperti ukuran biji, berat biji, dan jumlah biji, terdapat perbedaan antara kualitas kakao Belanda dengan kakao Jember. Pertama, ukuran biji kering kakao Belanda berukuran lebih besar hingga 3 cm, sedangkan kakao Jember 2 cm. Kedua, berat per biji kering kakao Belanda lebih dari 1 gram, sedangkan kakao Jember di bawah 0,5 gram.
Ketiga, jumlah biji per tongkol kakao Belanda rata-rata lebih dari 50 biji. Adapun kakao Jember kurang dari 40 biji. Terakhir, ukuran tongkol buah kakao Belanda lebih besar dibandingkan kakao Jember. Rata- rata ukuran tongkol kakao Belanda lebih dari 23 cm, sedangkan kakao Jember berukuran lebih kecil 15 cm.
Ketika dibelah, kulit buah kakao Belanda juga lebih tebal dibandingkan kakao Jember. “Makanya lebih tahan terhadap hama,” kata Stefanus menguatkan hasil riset WWF Indonesia.
Dilirik Produsen Cokelat
Karena kualitasnya yang lebih bagus itu, maka biji kakao Belanda dari Papua pun menjadi incaran produsen cokelat dari Swiss, Original Beans. Sejak 2012, WWF Indonesia Program Papua menjembatani penjualan kakao Belanda dari Papua ke produsen cokelat tersebut.
Menurut riset Original Beans, biji kakao Belanda memiliki keunggulan antara lain berat per seratus biji kakao Belanda adalah 122,50 gram sesuai standar kualitas dunia yaitu tidak melebihi 130 gram. Selain itu, tingkat keasaman biji kakao Belanda adalah 5,15 – 6,10 persen. Angka ini masih masuk standar pH kakao yaitu 6 – 7 persen.
Terakhir kadar air biji kakao Belanda berkisar 5,7 – 6,7 persen. Angka ini masih masuk standar internasional yang tidak boleh melebihi 8 persen.
Karena keunggulannya tersebut, kakao Belanda dari Papua pun dibutuhkan oleh produsen cokelat. Namun, petani setempat masih menghadapi beberapa tantangan. Termasuk di antaranya adalah masih banyaknya pohon kakao yang rusak setelah berganti ke kakao Jember. Selain itu, kurangnya perawatan pun berdampak terhadap kurangnya jumlah panen.
Setelah menemukan pembeli tetap dan bahkan mengenalkan produk akhir dark chocolate Kerafat 68%, kini petani seperti Nathaniel dan Stefanus makin termotivasi mengembangkan lagi kakao Belanda.
Lahan-lahan mereka di tepi hutan kini mulai dibersihkan. Mereka juga makin intensif melakukan sambung samping dan sambung pucuk. Pohon-pohon kakao Jember yang sudah besar mereka biarkan namun disambung dengan bibit baru kakao Belanda.
Petani yang semula bekerja sendiri-sendiri pun mulai berkelompok termasuk di Kampung Suaib. Mereka pun menjual bersama-sama melalui kelompok. “Murah juga tidak apa-apa. Yang penting tetap lewat kelompok,” kata Yulianis Nasa, petani lainnya.
Petani di Kampung Suaib juga makin peduli kepada kualitas pascapanen, hal yang tak pernah mereka perhatikan sebelumnya. Sebuah para-para tempat menjemur biji kakao basah dan ruang fermentasi kini sudah ada di desa mereka. Petani-petani perempuan yang dulu tidak diikutkan dalam proses, kini terlibat dalam rantai kakao terutama dalam penjemuran dan fermentasi.
Bagi petani di pedalaman Papua, mengembalikan kakao Belanda ternyata berdampak pula pada keterlibatan perempuan, hal yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.