, ,

Jull Takaliuang: Tambang Membuat Masyarakat Kehilangan Keseimbangan

Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa, adalah salah seorang aktivis yang bersama warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, ikut menolak pertambangan di sana.

Perjuangan itu berbuah manis setelah Mahkamah Agung memenangkan gugatan warga. Sejak awal penolakan, ia telah berada di pihak warga Pulau Bangka, sikap yang terus dipertahankannya hingga sekarang.

Keberpihakan kepada warga bukan pertama kali dilakukannya. Pada 2004, ia sudah terlibat aktif dalam membela hak warga Buyat ketika berhadapan dengan PT Newmont Minahasa Raya. Dalam kurun 2005-2006, ia kembali berjuang bersama warga menghadapi perseteruan dengan PT Meares Soputan Mining (MSM).

Semua perjuangan tersebut kemudian diapresiasi kalangan internasional. Belum lama ini, di kantor PBB, Jull Takaliuang menerima penghargaan N-Peace Awards 2015 dalam kategori Untold Stories: Woman Transforming their Communities.

N-Peace Awards yang diluncurkan pertama kali pada 2011 merupakan penghargaan untuk mengenal profil perempuan yang memperjuangkan perdamaian dan menciptakan perubahan dari akar rumput, hingga tingkat nasional di Asia.

Mongabay Indonesia berkesempatan mewawancarai Jull Takaliuang, di rumahnya pada awal Desember 2015. Wanita kelahiran 31 Juli 1969 ini, memiliki suara yang lembut namun sering kali memberi penekanan-penekanan tegas dalam tiap kalimatnya. Kritiknya tajam. Beberapa kali suaranya bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ada kenangan yang membuatnya terharu.

Berikut rangkaian wawancara Mongabay Indonesia dengan Jull Takaliuang.

Mongabay : Bagaimana ceritanya bisa memperoleh penghargaan N-Peace Awards?

Jull Takaliuang : Itu berawal dari usulan seorang teman dari Surabaya. Dia menyuruh saya membuat CV (Curiculum Vitae). Kemudian juga membuat cerita pengalaman advokasi, mulai dari pendampingan kasus warga Buyat, warga di sekitar tambang Maeres Soputan Mining (MSM), termasuk juga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Mongabay : Melalui penghargaan ini, apa yang anda harapkan dari pemerintah, khususnya berkaitan dengan hak-hak masyarakat?

Jull Takaliuang : Nah, itu dia. Dunia internasional melihat perjuangan ini sebagai sesuatu yang patut diapresiasi. Tapi, di tingkatan lokal hingga nasional kami sering dianggap sebagai musuh, menolak pembangunan dan berseberangan dengan pemerintah, apakah kemudian kita harus menyampaikan segala sesuatunya ke forum internasional?

Selama konsep kesejahteraan antara pemerintah dengan masyarakat tidak ketemu, di situ akan terjadi persoalan. Menurut pemerintah, suatu daerah maju bila ada tambangnya. Padahal, menurut masyarakat, mereka sudah sejahtera kalau bisa tangkap ikan, ada hasil kebun, bisa berjualan, serta anak-anak bisa sekolah hingga kuliah.

Jadi, saya harap ada perubahan paradigma dalam pengambilan keputusan, misalnya terkait pengelolaan sumber daya alam. Karena itu yang selama ini jadi persoalan.

Mongabay : Penghargaan ini bisa menjadi sesuatu yang memotivasi advokasi kedepannya?

Jull Takaliuang : Kita memang tidak bisa berhenti berjuang. Saya justru merasa sudah sangat perlu regenerasi untuk melakukan advokasi. Kita membutuhkan lawyer-lawyer muda yang punya potensi, dan yang paling penting rela tidak dibayar, karena berjuang untuk masyarakat miskin.

Jull Takaliuang ketika mendapatkan penghargaan N-Peace Awards 2015 dalam kategori Untold Stories: Woman Transforming their Communities. Foto : Facebook Jull Takaliuang
Jull Takaliuang ketika mendapatkan penghargaan N-Peace Awards 2015 dalam kategori Untold Stories: Woman Transforming their Communities. Foto : Facebook Jull Takaliuang

Mongabay : Sejak kapan melakukan advokasi lingkungan?

Jull Takaliuang : Tahun 2004 intens melakukan advokasi lingkungan. Saat itu, Yayasan Suara Nurani masuk di program perempuan, lalu terlibat melakukan pengobatan gratis di Buyat. Dari situ kemudian kasus Buyat terbongkar. Karena, setelah hasil pemeriksaan, dari 100-an orang yang diperiksa, 70% indikasinya adalah keracunan.

Setelah advokasi di Buyat, saya terlibat advokasi warga di sekitar tambang Maeres Soputan Mining (MSM). Di situ saya pernah jadi tahanan rumah.

Dari kasus-kasus tadi, saya melihat luar biasanya berperang melawan korporasi. Karena, mereka menggunakan seluruh kekuatan untuk menyerang balik perjuangan kami.

Mongabay : Bagaimana cerita awal advokasi di pulau Bangka?

Jull Takaliuang : Waktu saya masih intens advokasi warga di sekitar MSM, saya juga menangani kasus ilegal logging di Desa Lihunu, pulau Bangka. Waktu itu, warga kekurangan air, tiba-tiba ada yang melakukan ilegal logging. Itu sekitar tahun 2005-2006. Nah, dengan adanya kasus tambang sekarang ini, masyarakat sudah kenal saya.

Saya orang pulau, saya sayang orang pesisir. Jadi, secara emosional, ada perasaan dalam diri. Kalau bukan saya, siapa yang mau membela?

Mongabay : Sejak 2004 hingga sekarang, apa yang membuat Anda tetap kuat dan yakin untuk berjuang bersama masyarakat dan melibatkan diri dalam advokasi lingkungan?

Jull Takaliuang: Pertambangan memiliki dampak yang bisa merasuk ke semua sendi kehidupan. Setelah lingkungan rusak, manusia juga akan terkena dampaknya. Jadi, menurut saya penting tetap ada orang yang konsisten, harus ada orang yang komitmen berjuang menyelamatkan lingkungan. Kalau tidak tulus, maka tidak pernah ada advokasi untuk masyarakat yang berjalan baik.

Mongabay : Ada beberapa kasus kriminalisasi, penculikan bahkan juga pembunuhan terhadap aktivis. Anda tidak takut?

Jull Takaliuang : Saya pernah dicekik oleh anggota paramiliter saat kasus Buyat. Itu terjadi di saat putusan pengadilan Rignolda Djamaluddin, tahun 2007. Kemudian, di kasus MSM, saya jadi tahanan rumah. Waktu itu juga saya sering bawa mobil sendiri. Pernah diserempet hingga nyaris masuk got. Mobil saya juga pernah diancam dibakar.

Tapi, saya percaya, Tuhan melindungi, dan semua orang pasti akan mati. Rasa takut hanya akan membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, kita tetap perlu waspada.

Mongabay: Dari tahun ke tahun, apakah anda melihat adanya perubahan positif terkait kebijakan lingkungan?

Jull Takaliuang: Peraturan hukum, meski masih ada celah, sebenarnya sudah bagus. Tapi, dalam kerangka besar kebijakan, tidak ada hal signifikan yang berubah. Sebab, masyarakat selalu diperhadapkan dengan keputusan final yang harus dijalankan. Tidak ada, misalnya, rencana pertambangan di pulau Bangka dimulai dari rapat RT, kemudian meningkat pada putusan Bupati.

Jull Takaliuang dalam suatu kesempatan aksi advokasi lingkungan. Foto : Facebook Jull Takaliuang
Jull Takaliuang dalam suatu kesempatan aksi advokasi lingkungan. Foto : Facebook Jull Takaliuang

Mongabay : Sering ada klaim bahwa industri pertambangan identik dengan investasi. Sejauh mana sebenarnya sektor ini mendatangkan keuntungan bagi masyarakat?

Jull Takaliuang: Saya tidak pernah lihat keuntungannya. Kalau merugikan, iya. Masyarakat hanya dijanjikan bahwa tambang akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan, akan membuka akses jalan.

Saya tidak melihat adanya kesempatan masyarakat untuk bertumbuh sesuai dengan kemampuannya. Dengan tambang, masyarakat akan kehilangan keseimbangan.

Mongabay : Kalau tidak ada menguntungkan buat masyarakat kenapa sektor pertambangan terus dipertahankan?

Jull Takaliuang : Mari kita lihat itu. Sekarang di mana transparansi royalti pertambangan? Siapa yang terima dan dimanfaatkan untuk apa?

Kalau bicara royalti pertambangan, saya tidak yakin. Lihat saja di daerah-daerah lain yang banyak industri pertambangannya, Kalimantan, Bangka-Belitung hingga Papua, sejauh mana masyarakat di sana sejahtera?

Bukan berarti kita tidak mensyukuri tambang yang ada. Tapi, di saat teknologi kita belum bisa mereduksi dan mengatasi dampak buruk tambang bagi lingkungan dan masyarakat, kenapa harus dipertahankan?

Sekarang masih ada sektor-sektor yang lebih ramah lingkungan yang bisa dimajukan. Di Sulut, misalnya, potensi perikanan bisa mencapai Rp900 miliar per tahun. Itu belum dikembangkan.

Mongabay: Bagaimana penegakan hukum terkait lingkungan, berdasarkan pengalaman Anda selama ini?

Jull Takaliuang : Itu parah. Laporan kami itu menumpuk di Polda Sulut, dengan bukti-bukti yang kuat, tidak pernah diproses. Apalagi, kalau sudah bersentuhan dengan kebijakan pemerintah daerah yang sudah bersatu dengan investor.

Hingga saat ini, masyarakat masih harus terus banyak berjuang supaya keadilan bisa diperoleh, karena mafia hukum ada di mana-mana.

Mongabay : Apa hikmah berjuang bersama rakyat melawan korporasi-korporasi besar?

Jull Takaliuang : Kesederhanaan masyarakat itu yang membuat saya semakin berupaya untuk menolong mereka dalam semua situasi. Itu membuat saya menjadi kuat. Terkadang, saya merasa tidak mampu dan buntu. Tapi, ketika melihat orang berurai air mata, dalam ketidakmampuannya, saya pasti akan jadi lebih kuat dari dia.

Jadi, N-Peace Awards ini hanya semacam tonggak saja. Tapi, penghargaan dari orang-orang yang berjuang bersama.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , ,