, ,

Hutan Kelola Masyarakat di Sumbar: Kebijakan Mendukung, Minat Tinggi, Realisasi Minim. Mengapa?

Pemerintah Sumatera Barat, mendukung pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) dengan menetapkan target 500.000 hektar. Berbagai kebijakan pendukung dibuat. Sayangnya, realisasi terbilang minim. Dalam lima tahun, 2012-2015, yang masuk proses ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, baru sekitar 20%.

Luas PHBMdi Sumbar,  40.647 hektar, terdiri dari SK penetapan areal hutan nagari 32.788 hektar, SK penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan (HKm) 4.098 hektar, dan hutan tanaman rakyat 6.935 hektar. Lalu, proses pengusulan di KLHK 49.249 hektar, dengan rincian usulan Hutan Nagari 34.869 hektar dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) 14.380 hektar.

Diki Kurniawan, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi mengatakan, minat masyarakat mengajukan PHBM di Sumbar, tinggi. Terlebih, setelah surat penetapan Hutan Nagari Simancuang dan Simanau pada 2011. “Semangat nagari-nagari lain terus bertambah,” katanya dalam rilis media.

Sumber: Warsi
Sumber: Warsi

Pemerintah Sumbar pun membuat berbagai kebijakan seperti road map target pencapaian PHBM, memasuk dalam rencana jangka panjang menengah daerah, sampai memiliki pusat layanan, data dan informasi dalam bentuk Kelompok Kerja Perhutanan Sosial.

Dukungan lintas sektoralpun ada. Ada kesepakatan antar dinas untuk pengembangan masyarakat yang memiliki Hutan Nagari, antara lain, kesepakatan Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan Kelautan, Dinas Peternakan.

Kebijakan ini, katanya, juga didukung Perda tentang Peran Serta masyarakat dalam Perlindungan Hutan. “Ini perda pertama di Indonesia yang lebih menjabarkan peran masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan.”

Meskipun minat warga tinggi dan begitu banyak kebijakan pendukung, kata Diki, tetapi realisasi minim. Pencapaian rendah ini, katanya, antara lain karena kabupaten belum maksimal dalam mengakomodir keinginan masyarakat dalam mengelola hutan.

Sumbar, katanya, memang memiliki Pokja PHBM guna memfasilitasi dan mengakomodir masyarakat. Sayangnya, pokja di provinsi ini kewalahan memfasilitasi karena banyak usulan masuk. “Harusnya saat kondisi seperti, pemerintah kabupaten juga mengambil peran dengan membentuk Pokja pada masing-masing kabupaten hingga semangat masyarakat mengelola sumber daya hutan bisa tercapai baik,” katanya.

Sumber: Warsi
Sumber: Warsi

Kabupaten, katanya, lemah dalam merespon PHBM kemungkinan karena keterbatasan sumber daya dalam memahami dan mendalami isu ini di masyarakat. Kalau soal pendanaan, kata Diki, hampir setiap kabupaten sudah mengalokasikan anggaran untuk PHBM.

Hambatan lain, katanya, terkait UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Proses pengusulan pengelolaan hutan dengan skema PHBM, makin melambat setelah ada UU ini. “Ini karena ada kehati-hatian pemerintah daerah dalam menafsirkan UU ini.”

Di dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru ini, terjadi perpindahan kewenangan, urusan kehutanan tak lagi menjadi kewenangan pemerintah kabupaten tetapi provinsi. Jadi, pemerintah kabupaten berhenti melayani proses perizinan skema-skema PHBM. “Ini menjadi persoalan baru mencapai target pengelolaan hutan PHBM di Sumbar,” ucap Diki.

Dia menyarankan, pemerintah terutama kabupaten lebih meningkatkan kapasitas tim hingga kearifan masyarakat mengelola hutan berjalan baik. “Ini sekaligus mendukung pengelolan hutan berkelanjutan.”

Pengelolaan hutan dan lahan dengan nilai-nilai adat dan pelibatan masyarakat, ucap Diki, terbukti mampu menjaga hutan, salah satu dari kebakaran hutan dan lahan.

Pepohonan di Hutan Nagari Simancuang. Foto: Warsi
Pepohonan di Hutan Nagari Simancuang. Foto: Warsi

“Menekan kebakaran hutan menjadi titik penting bagi Indonesia seiring komitmen Presiden menaikkan target penurunan emisi menjadi 29% pada 2030.”

Kebakaran hutan dan lahan tahun ini mencapai 2,6 juta hektar lebih menyumbang emisi besar. Sumbar, katanya, relatif tak menyumbang emisi dari kebakaran ini. “Malah berkontribusi penurunan emisi dari pengembangan PHBM,” ujar dia.

Jemput bola

Antusiasme masyarakat ikut PHBM tinggi. Salah satu, kata Diki, pada Desember ini, sudah 25 nagari meminta sosialisasi PHBM ke wilayah mereka. Di lapangan, sudah banyak masyarakat yang mengelola hutan dengan baik tetapi tak mendapat legalitas negara. Mereka juga tak tahu skema-skema PHBM. Adajuga, katanya, masyarakat tertarik PHBM tetapi belum mampu menyiapkan usulan. Dia meminta, pemerintah daerah menjemput bola hingga hambatan-hambatan ini bisa teratasi.

Sumber: Warsi
Sumber: Warsi
Sumber: Warsi
Sumber: Warsi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,