Selama 2015 ini, kita disuguhi berita-berita yang cukup mencengangkan tentang satwa liar dilindungi di Indonesia ini. Satwa yang seharusnya dilindungi karena populasinya makin sedikit justru terancam karena perburuan dan perdagangan. Dari mulai jenis burung, primata, serangga, hingga satwa kharismatik seperti harimau dan gajah.
Perdagangan dan perburuan terjadi dari wilayah barat, tengah, hingga timur Indonesia, mulai dari harimau dan produk turunannya, gading gajah, serta berburuan terhadap banteng. Selain itu, populasi kakatua jambul kuning diprediksi mengalami penurunan secara drastis akibat perdagangan internasional (Wawandono, et al. 2012).
Traffic melaporkan pada 12 Februari 2015, Polisi Sumatera Selatan, BKSDA, serta WCU menangkap pedagang yang telah menjual lebih dari 100 bagian harimau selama lebih dari 10 tahun terakhir ini ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan penampung di Jakarta.
Pada 22 Januari 2015, pihak Karantina dan Inspeksi Ikan Timika dan Denpasar menangkap penyelundupan 6500 anakan kura-kura moncong babi, sekitar 1226 diamankan pada koper menuju penerbangan ke Denpasar dan sisanya sebanyak 5284 ditangkap di Denpasar.
Sementara itu, pada November 2014 telah ditangkap 103 kg bagian manta dari Pengambengan Negara-Bali dan di Bandara Internasional Surabaya diamankan 226 kg bagian manta atau sama dengan 80 ekor manta ray dewasa.
Beberapa bulan lalu, beberapa jenis satwa liar dilindungi yaitu kukang dan lutung berusaha diselundupkan menuju ke Filipina melalui Sangihe, Sulawesi Utara yang kemudian terdeteksi oleh petugas dan kemudian dibawa kembali ke habitatnya.
Irfan Rosyadi dari Burung Indonesia mengatakan hasil kajian mereka pada 2012, mendeteksi 180-an penangkap dan 20 pengumpul burung di Maluku Utara serta titik keluarnya burung. Kasturi ternate Lorius garrulus merupakan jenis yang paling sering ditangkap (16.233 individu) selama setiap tahunnya, disusul kakatua putih Cacatua alba (1.152), nuri bayan Eclectus roratus (474), dan nuri kalung-ungu Eos squamata (137).
“Target keluar daerah di Tobelo, Ternate, Buli, Jarajara, Pelita sebagai titik-titik keluar” ungkap Irfan.
Jenis yang dilindungi meliputi bayan Eclectus roratus, sedangkan kakatua Cacatua alba, kasturi ternate Lorius garrulous. Harga lokal kakatua putih Rp150.000-350.000, kasturi ternate Rp50.000-150.000, dan bayan Rp75.000- 150.000, serta nuri leher ungu sekitar Rp50.000.
“Motivasi pemburu profesional karena lancar jual beli, sedangkan pemburu lain sebagai sampingan karena panen kopra 4 bulan sekali, sehingga disela-sela itu mereka berburu. Permintaan tinggi di tingkat lokal maupun luar, dan perkiraan tujuan satwa ke Philipina,” tambah Irfan.
Sedangkan di Jawa Tengah, data Kanopi Indonesia bersama WCU menunjukkan bahwa perdagangan kukang dan satwa liar lainnya pada Januari – Mei 2013 ditemukan sebanyak 86 kukang dan 64 elang di beberapa Pasar Karimata di Semarang dan Pasar Pon Ambarawa.
Ma’ruf Erawan dari Yayasan Kanopi Indonesia menyampaikan bahwa pemicu perdagangan satwa dari mulai faktor ekonomi, hobi-gaya hidup, kemudahan menjual, dan penegakan hukum yang masih lemah.
Di Papua, cenderawasih, kakatua raja, kakatua jambul kuning, dan nuri masih diperdagangkan. Burung “surga” cenderawasih dijual Rp1,5-1,7juta/burung awetan, selain kura-kura moncong babi.
“Ada oknum aparat yang terlibat dan hal tersebut sulit untuk diberantas,” ungkap Christian Mambor dari BKSDA Papua.
BKSDA sendiri sudah koordinasi dengan pimpinan berbagai lembaga mengatasi perdagangan satwa di Papua. “Perdagangan satwa dilindungi melibatkan sindikat yang tersusun rapi, sehingga kerjasama para pihak sangat diperlukan,” tambah Christian.
Sementara itu, Profauna melaporkan perdagangan satwa dari daerah Indonesia timur seperti Sorong, Ambon, dan Ternate untuk dikirim menggunakan kapal dan pesawat ke daerah lain seperti di Jawa maupun ke luar negeri.
“Perdagangan baru di level bawah yaitu pemburu ke pengepul kemudian kirim ke kota besar ke Jawa (Jakarta, Bali, Surabaya). Sebagian besar nuri, kakatua” ungkap Swasti Prawidya Mukti, Campaign Officer Profauna. Satwa dijual dengan harga puluhan ribu di daerah asal sampai jutaan rupiah di tempat tujuan.
Menurut catatan Profauna, perdagangan satwa liar pada 2015 meliputi 96 ekor trenggiling hidup, 5.000 kg daging trenggiling beku, dan 77 kg sisik trenggiling yang terungkap di Medan pada April 2015.
Juga penyelundupan 10 kg insang pari manta, 4 karung berisi campuran tulang hiu dan pari manta, 2 karung tulang hiu dan 4 buah sirip hiu di Flores Timur pada Juli 2015.
Dan penyelundupan 1 kontainer 40 feet cangkang kerang kepala kambing senilai Rp20,422 miliar pada Agustus 2015 di Tanjung Priok, Jakarta, yang akan diekspor ke Cina.
Dari jenis satwa yang diperdagangkan sebanyak 17 kasus (25%) kasus melibatkan satwa laut (penyu, pari, hiu, dan lainnya). Kelompok satwa lainnya yaitu jenis kucing besar (harimau, kucing hutan, dan lain-lain) sebanyak 16 kasus (24%), burung paruh bengkok 12 kasus (18%), primata 11 kasus (16%), dan berbagai jenis burung berkicau ada 10 kasus (15%) (Profauna, 2015).
Hal ini patut menjadi perhatian semua pihak, bahwa keterancaman satwa laut pun tidak bisa dianggap sebelah mata, karena 25% perdagangan satwa merupakan satwa laut.
Vonis Ringan
UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pada pasal 21 ayat (2) huruf d disebutkan setiap orang dilarang memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
Sedangkan ketentuan pidana pasal 40 ayat (2) dijelaskan bahwa barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00.
Apakah penanganan perburuan dan perdagangan satwa dilindungi sudah sesuai aturan undang-undang yang ada?
Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan mengeluarkan fatwa tentang pelestarian satwa langka untuk menjaga keseimbangan ekosistem, yang menyatakan perburuan dan/atau perdagangan ilegal satwa langka hukumnya haram.
Beberapa waktu sebelumnya, WCU telah berhasil membantu menangani kasus perdagangan liar dengan setidaknya 41 kasus masuk pengadilan pada 2008-2013, termasuk penangkapan terbesar di Indonesia untuk harimau dan bagian-bagiannya (Panthera, 2014).
Pada 27 January 2015, Pengadilan Cirebon menghukum pedagang manta selama satu tahun empat bulan dan denda USD 5000. Ini merupakan penegakan hukum yang pertama dilakukan untuk manta ray setelah dilindungi pada 2014 dan menghentikan perdagangan penangkapan dan perdagangan ikan illegal (Traffic, 2015).
Isu perdagangan satwa 2014-2015 mendapatkan porsi yang tinggi, karena perdagangan satwa liar oleh beberapa lembaga dianggap sebagai prioritas mereka dan hal ini dapat berkontribusi terhadap terangkatnya kasus-kasus perdagangan satwa liar dilindungi saat ini.
Meski begitu, Dwi Nugroho dari WCU/WCS mengatakan bahwa untuk penegakan hukum dirasakan masih lemah jika dikaitkan dengan pelaksanaan UU No. 5/1990.
Hukuman bagi pelaku level menegah ke atas, penampung provinsi dan nasional, belum banyak menimbulkan efek jera, karena rata-rata hukuman kurang dari dua tahun dan denda kurang dari Rp30.000.000.
Sedangkan pada level kecil yaitu pemburu dan penampung lokal sudah menimbulkan efek jera karena mereka tidak punya cukup modal dan jaringan tidak cukup besar.
“Tetapi penampung besar, memiliki modal besar dan keuntungan tinggi serta jaringan luas sehingga hukuman yang pendek serta denda yang kecil belum menimbulkan efek jera,’ ungkap Dwi.
Setidaknya, data yang didapatkan oleh Mongabay Indonesia dari WCU dan non WCU meliputi 91 kasus pada tahun 2015 ini yaitu dan yang mendominasi adalah kasus perdagangan satwa dilindungi sebanyak 36 kasus, perburuan sebanyak 9 kasus, backing perdagangan 1 kasus, perdagangan online 15 kasus, pengangkutan 2 kasus dan penyelundupan sebanyak 25 kasus.
Dari kondisi di atas, WCU melakukan pendampingan terhadap kasus sebanyak 55 kasus dengan pelaku sebanyak 55 orang, dengan rincian 1 sanksi administratif, 1 surat penyitaan, 2 melarikan diri, 35 orang dalam proses penyidikan dan siding, 13 orang telah divonis dan 3 orang dijadikan saksi untuk pelaku utama.
WCU juga mencatat bahwa kerugian Negara akibat praktek perdagangan satwa tersebut mencapai Rp.9 triliun/tahun. Bukan angka yang sedikit tentunya
Kondisi sekarang yang terjadi adalah penangapan satwa liar dilindungi meningkat namun pada tataran sanksi putusan pengadilan belum menimbulkan efek jera.
“Masih jauh dari tingkat hukuman dan denda dari UU No. 5/1990. Kadang-kadang, nilai barang bukti diukur dari nilai satwa, misalnya kakatua kecil, kucing, yang diperdagangkan kenapa harus dihukum tahunan?” tambah Dwi.
Profauna juga menilai penegakan hukum belum maksimal, meski ada penurunan jumlah kasus dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 78 kasus pada 2014 menjadi sekitar 67 kasus pada 2015. Tetapi rata-rata volume jumlah satwa yang diperdagangkan dan kerugian Negara tersebut lebih tinggi.
Sebagian besar masih besar masih belum diketahui kelanjutan prosesnya, namun ada yang yang sudah divonis misalnya pada kasus 5 ton trenggiling dan perdagangan orang utan. Tetapi hukuman yang diberikan oleh hakim belum menimbulkan efek jera.
“Setidaknya terdapat 6 vonis yang dijatuhkan kepada pelaku perdagangan satwa liar, dengan rentang hukuman penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun, dan denda antara Rp500 ribu hingga Rp50 juta. Vonis terberat diterima oleh terdakwa pelaku perdagangan tiga ekor orangutan, dua ekor elang bondol, satu ekor burung kuau raja, dan satu awetan macan dahan, yang dihukum penjara 2 tahun dan denda Rp50 juta subsider 3 bulan penjara oleh PN Langsa pada bulan November 2015,” ungkap Swasti.
“Seharusnya, pelaku internasional atau domestik yang telah melakukan bisnis perdagangan satwa dilindungi sejak lama perlu mendapat hukuman dan denda yang tinggi”, tambah Swasti.
Solusi Penegakan
Saat ini, berbagai aparat penegak hukum telah mulai menyoroti perdagangan satwa dilindungi dengan serius. Beberapa tahun sebelumnya, didominasi oleh Kementerian Kehutanan, namun saat ini berbagai lembaga telah ikut terlibat aktif dalam upaya mengurangi bahkan menghentikan praktek perdagangan satwa liar dilindungi meluputi Bea Cukai, Balai Karantina, Kepolisian. Artinya, sinergitas dan strategi bersama untuk memerangi kejahatan terhadap satwa liar sangat diperlukan.
Selain itu, upaya memperbaiki UU No. 5/1990 perlu didorong implementasinya. Pada RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati yang sedang diproses saat ini telah dimunculkan larangan dan sanksi yaitu pasal 207 tentang setiap orang yang menawarkan satwa dilindungi dalam keadaan hidup atau mati dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Kemudian dilanjutkan Pasal 208 bahwa setiap orang yang memasukkan, menawarkan, menghadiahkan, menerima hadiah, dan/atau mengumpulkan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati beserta dengan spesimennya ke wilayah yuridiksi Indonesia dengan cara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling banyak 15 tahun dan denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar.
Perlu dipertimbangkan kembali bahwa bagaimana dan kepada siapa hukuman dan denda minimal atau maksimal akan diterapkan dengan benar dan adil. Akan menjadi PR yang tidak mudah untuk implementasinya.
Disisi lain, masih diperlukan pengendalian yaitu pada tataran pencegahan meliputi upaya peningkatan kepedulian masyarakat dan penegakan hukum. Penegakan hukum terhadap satwa dilindungi perlu ditingkatkan dengan mendorong peraturan di tingkat daerah dan pusat untuk perlindungan jenis-jenis yang belum masuk dalam status dilindungi, misalnya memperbaiki atau menambah jenis-jenis yang dilindungi yang belum masuk dalam PP No.7/1999.
Intensitas penegak hukum diperlukan kehadirannya dari hilir hingga ke hulu, proteksi perlu ditingkatkan seperti proteksi habitat dan pintu keluar. Sementara itu, peningkatan kapasitas bidang kehutanan juga penting misalnya melalui patroli sistematis, frekuensi, startaegi patrol, pengamanan pintu keluar.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah dukungan ketegasan dari pimpinan kepolisian dan militer bahwa seluruh anggotanya untuk tidak terlibat dalam perdangangan dan perburuan satwa liar dilindungi di tempat mereka bertugas.
Permasalahan ekonomi yang sering menjadi alasan dapat disiasati dengan penggalian potensi yang bisa dikembangkan dan masyarakat dapat menjadi pelaku utama dalam proses-proses pengembangan ekonomi alternatif tersebut.
Perlu aturan yang jelas dalam perdagangan satwa, terutama yang masuk dalam CITES Appendix II, yang tentunya dikontrol dengan ketat melalui kuota dengan melibatkan LIPI selaku scientific authority.
“BSDA di Papua sedang mengupayakan untuk kura-kuran moncong babi (belum masuk dilindungi) bisa masuk menjadi untuk satwa buru dengan SK Menteri. Survey pendukung populasi sudah dilakukan dan melalui kuota dapat membantu control pengawasan,” tambah Christian
Masih menjadi tugas berat untuk mewujudkannya, namun dengan semangat dan tekad yang serius, tentu upaya mengurangi atau menghentikan praktek perburuan dan perdagangan satwa liar dapat dikurangi secara bertahap. Kepedulian semua pihak agar satwa liar dilindungi dapat hidup tenang di habitat aslinya. Semoga…
Referensi
Panthera. 2014. Procedings of The 7th Annual Tigers Forever Meeting. Jakarta, Indonesia Juli 14th-17th, 2014.
Profauna. 2015. Press Release. Keleidoskop Perdagangan dan Perburuan Satwa Liar Tahun 2015 : 5000 kasus perdagagnan satwa liar dan 370 kasus perburuan satwa liar. Profauna-Malang.
Rosyadi, I. 2012. Status penangkapan dan jalur perdagangan burung paruh bengkok di Maluku Utara Indonesia 2010-2012. Burung Indonesia
Traffic Bulletin. Vol. 27 No. 1. April 2015. Traffic International 219a Huntingdon Road, Cambridge, Cambs., CB3 0DL, UK
Universitas Nasional Jakarta. 2014. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Pusat Pengajian Islam, Universitas Nasional Jakarta.
Wawandono, N.B., Sutito, A.S.B., Mardiastuti, A., Anugrah, N., Muin, A., Setiawan, I., Greenbury, A. 2012. Peta Jalan Peningkatan Populasi 14 (Empat Belas) Spesies Prioritas Utam Terancam Punah. Direktorat Jenderal PHKA.