Suatu sore gerimis, sekelompok nelayan bertemu dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bangka Belitung, di Pangkalpinang. Mereka sedang mempersiapkan rencana aksi protes tambang timah laut. Tangkapan ikan berkurang, kata mereka. Kapal-kapal isap, keruk dan pontoh-ponton timah bermunculan di Perairan Bangka. Air laut makin keruh. Laut rusak. Ikan makin menjauh.
Tak hanya laut, daratan Bangka-Belitung, telah lebih dulu hancur. Galian timah menyerupai danau dan limbah galian menggunung bak padang pasir. Setiap orang yang mengunjungi Bangka dan Belitung akan lihat lubang tambang menganga. Tak ada reklamasi atau upaya pemulihan. Setiap orang yang mengunjungi Bangka dan Belitung akan lihat lubang tambang menganga. Sawit, juga jadi salah satu produk monokultur yang memenuhi daratan Bangka-Belitung.

Mereka protes dengan putra-putra Bangka sendiri yang silau harta. Jual tanah agar cepat kaya. Tak berpikir soal anak cucu. PT Timah, perusahaan timah ketiga terbesar dunia, salah satu muara dari penambangan timah di Bangka-Belitung. Pulau Belitung, terutama Belitung Barat, kondisi laut relatif lebih baik karena pemerintah daerah melarang tambang laut berkat penolakan keras warga.
Padahal Bangka Belitung, daerah indah nan subur. Pantai-pantai menawarkan panorama indah. Ada bebatuan granit berumur jutaan tahun. Turis suka selfie dengan granit. Ada novel dan film “Laskar Pelangi” karya Andre Hirata. Ada Pulau Lengkuas dan Pulau Memperak. Ada mie sampai gulai ikan. Jangan lupa kedai kopi Kong Djie di Tanjungpandan atau Tung Tau di Sungailiat. Atau masjid sampai kelenteng tua.

Produk pangan dari laut juga jadi salah satu andalan, seperti otak-otak, empek-empek, terasi dan beragam kerupuk ikan.
Hasil kebun dan pertanian juga beragam, dari durian, mangga, rambutan, cempedak, langsat, manggis, dan lain-lain. Pemerintah daerah juga berkoar-koar menjual sektor pariwisata, tetapi sisi lain membiarkan tambang merajalela merusak keindahan alam mereka. Sektor pariwisata bisa mati pelahan kala keindahan alam ini hancur.
Pada 1995, ekonom Jeffrey Sachs dari Universitas Harvard menulis analisis kemiskinan di negara-negara yang punya sumber daya alam. Pertumbuhan ekonomi di tempat-tempat itu lebih lambat daripada negara-negara tanpa sumber daya alam. Dia sudah memperhitungkan kebijakan perdagangan maupun pendapatan per kapita. Perlu keajaiban buat daerah dengan sumber daya mineral untuk lepas dari “kutukan”. Bangka-Belitung, merupakan salah satu pulang penghasil timah terbesar dunia.

Selama hampir dua minggu, kami ke Belitung dan Bangka, namun resource curse bikin mimpi buruk sekeluarga. Dari Pangkal Pinang, sampai Muntok, dari Tanjungpandan sampai Manggar, Bangka dan Belitung, bopeng dengan lubang-lubang tambang.
Suwito Wu, guru di Muntok, mengeluh wabah malaria berkat kolam-kolam air bekas tambang. Lubang tak ditimbun atau ditanami pohon kembali. “Air tanahpun susah didapat, walau saat musim hujan.”
Presiden Joko Widodo, ketika berkunjung ke Bangka Juni 2015, meminta kegiatan penambangan ilegal dihentikan. Namun perintah Presiden hanya diindahkan beberapa bulan. Ketika kami berkunjung Desember 2015, kapal-kapal isap dan keruk, maupun ponton-ponton beroperasi lagi.





Lubang tambang makan sekitar 64 persen dari seluruh permukaan tanah di Pulau Bangka dan Belitung, menurut Jaringan Advokasi Tambang. Jumlahnya, minimal 6,000 lubang, berserakan di setiap jalan. Mayoritas tak ditutup lagi sehingga jadi padang pasir. ©Sapariah Saturi







