Tiong Emas, Si Peniru Suara Manusia yang Ulung

Inilah salah satu burung yang paling dikenal oleh publik. Di Indonesia, burung sejenis jalak berwarna hitam berkilau dengan piala kuning di kepalanya ini umum dijumpai di hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan, termasuk pulau-pulau kecil di sekitarnya hingga ke Nusa Tenggara. Burung ini digemari karena mampu menirukan suara manusia.

Tiong emas (dalam bahasa Inggris disebut Common Hill Myna atau Talking Myna) tersebar dari India timur, China selatan, Indochina, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Hutan di Pulau Jawa dan Bali dulu juga memiliki jenis ini dalam jumlah besar, namun kini penangkapan dan kerusakan hutan menyebabkan tiong emas sulit ditemui di alam. Menurut penelitian Feare (1999) spesies ini namun telah diperkenalkan dan berhasil ditangkarkan di daerah lain, terutama Florida, Hawaii, Jepang, hingga Puerto Ric0.

Konvensi internasional perdagangan jenis terancam punah (CITES) mencatat burung bernama latin Gracula religiosa ini marak diperdagangkan dalam jumlah besar di pasar domestik maupun internasional. “Salah satu anak jenis tiong emas yang banyak diburu di Indonesia yaitu tiong emas dari Nias yang dikenal oleh masyarakat dengan nama beo nias,” ujar Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia.

Jika tiong emas mampu menirukan suara manusia, rahasianya terletak pada syrinx yang dimiliki burung ini. Syrinx ini menyerupai tenggorokan manusia. Pada dinding syrinx terdapat tonjolan tulang rawan yang disebut labium eksternal. Salah satu labium eksternal tersebut bekerja mirip pita suara manusia dan bertanggung jawab dalam menyuplai energi penghasil suara.

Hasilnya, tiong emas mampu menghasilkan serangkaian nada-nada suara yang berbeda seperti suara peluit, jeritan, degukan, bahkan ratapan yang mengalun merdu dan terkadang terdengar seperti suara manusia. Setiap individu tiong emas memiliki tiga hingga 13 tipe suara.

Uniknya, populasi tiong emas yang berjarak 14-15 km tidak memiliki tipe suara yang mirip satu sama lain, artinya dalam rentang jarak tersebut populasi tiong emas tidak dapat saling menirukan suara panggilan yang diciptakan tetangganya.

Berbeda dengan srigunting batu (Dicrurus paradiseus) yang kerap menirukan suara jenis burung lain, tiong emas tidak melakukannya. Namun di penangkaran, tiong emas memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mempelajari dan menirukan suara, terutama suara manusia.

Di alam, musim kawin tiong emas sedikit bervariasi, tetapi kebanyakan berkembang biak pada bulan April-Juli. Sepasang monogami mencari lubang kecil di pohon di tepi hutan. Pasangan burung ini mengisi lubang dengan ranting, daun, dan bulu. Betinanya menghasilkan rata-rata 2 telur yang berwarna biru dengan bercak kecoklatan.

Umumnya tiong emas hidup di daerah perbukitan antara 300 hingga 2.000 m dpl. Burung ini memilih habitat yang memiliki curah hujan dan kelembaban tinggi, termasuk ekosistem hutan hujan tropis. Di beberapa tempat, dilaporkan burung ini juga dapat hidup di tepi hutan, area perkebunan budidaya seperti kopi dan daerah kebun-hutan lainnya.

“Kemampuan tiong emas yang mengagumkan ini menyebabkan banyak manusia memburunya. Mereka berlomba-lomba memiliki burung ini untuk dirinya sendiri,” ujar Jihad.

Selain kerusakan habitat yang menurunkan populasi tiong emas di alam, penangkapan dan perburuan untuk diperdagangkan hingga ke pasar internasional tersebut menyebabkan populasinya cenderung menurun di seluruh rentang persebarannya.

Dalam artikel kerjasama antara Mongabay-Indonesia dan Burung Indonesia bulan Januari 2016 ini, Anda bisa mengunduh kalender digital untuk gadget atau komputer anda. Silakan klik tautan ini dan simpan dalam perangkat anda.

tiong emas - burung indonesia

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,