, ,

Sekolah di Kawasan Terdepan Tak Selamanya Tertinggal

Sayup-sayup suara musik terdengar dari lapangan SDN Mekartani di Desa Mendawai, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, akhir pekan lalu.  Suaranya tidak terlalu nyaring, tapi terdengar jelas sejak kaki baru melangkah keluar dari atas perahu cepat yang membawa saya dari pusat keramaian di Mendawai, atau sekitar 30 menit berperahu.

Suara musik tersebut terdengar semakin menggema begitu kaki mendekati lapangan sekolah yang berjarak sekitar 500 meter dari dermaga tempat perahu berlabuh. Bersamaan dengan itu, tepat saat memasuki gerbang sekolah yang luas tersebut, mata juga dimanjakan oleh tiga siswi yang berlenggok menarikan tari Giring-giring, tarian khas dayak, suku asli di Kalimantan.

Tarian yang dibawakan ketiga gadis cilik itu terlihat indah dan selaras dengan irama musik yang ternyata berasal dari sebuah pemutar suara. Baju merah dengan rumbai-rumbai berwarna kuning di pinggirannya, dipadu dengan ikat kepala khas berwarna kuning yang senada dengan celana selutut yang dikenakan ketiganya. Tak lupa, dua buah tombak tergenggam kuat di tangan ketiganya.

Menikmati sajian pemandangan tersebut, jiwa dan raga langsung terbuai jauh. Kenikmatan pun langsung mengepung seketika. Ditambah, pemandangan indah dan hijau terhampar di sekeliling sekolah. Ah, lengkap semua rasanya. Barisan orang yang sudah menunggu pun tak dipedulikan lagi. Gerombolan anak-anak yang tengah menunggu rapi pun sempat terabaikan.

Itu semua didapatkan saat Mongabay mengunjungi sekolah lawas tersebut bersama WWF Indonesia akhir pekan lalu. Indahnya bangunan sekolah, dipadu kreativitas siswa-siswinya, mengaburkan pandangan siapapun bahwa sekolah tersebut lokasinya ada di pedalaman. Ya, pedalaman Kalimantan Tengah.

Berlokasi di tengah kawasan transmigrasi, keberadaan sekolah tersebut menjadi sangat penting. Namun, jangan pernah bayangkan sekolah tersebut seperti di perkotaan. Di sana, sekolah tersebut berdiri kokoh berjauhan dengan bangunan lain milik pemerintah. Tidak hanya itu, tepat di belakang sekolah, kawasan yang terlihat hanya hutan dan hutan.

Pendidikan Berkelanjutan

Pada mulanya, SDN Mekartani tak ubahnya seperti SDN lainnya di pedalaman Negeri Indonesia ini. Gambaran sebagai sekolah kumuh, terbelakang, miskin prestasi, dan jauh dari peradaban modern, sangat melekat kuat. Namun, gambaran tersebut mulai luntur sejak WWF masuk ke sekolah tersebut sebagai pendamping.

Marsini, Kepala SDN Mekartani yang berasal dari DI Yogyakarta, mengaku pesimis saat WWF pertama kali masuk. Melihat sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, dia tahu diri bagaimana kondisi sekolahnya. Namun, dorongan kuat untuk maju, kemudian mengubah rasa pesimis dan apatis tersebut.

“Hanya motivasi ingin maju dan membawa generasi dari sini lebih baik lagi. Itu saja harapan awalnya. Karena kami sadar, lokasi kami ada di pedalaman. Orang sangat susah menjangkaunya. Jadi, jangan berharap ada kemajuan kalau tidak dimulai dari kita sendiri,” ucap Marsini mengenang perjuangannya di awal sekitar 2009 lalu.

Marsini, Kepala SDN Mekartani Desa Mendawai, Katingan, Kalsel menjelaskan bagaimana proses belajar di sekolahnya. SD ditepi Taman Nasional Sebangau ini merupakan sekolah peraih Adiwiyata Nasional yang mengajarkan kearifan alam sebagai salah satu mata pelajarannya. Foto : M Ambari
Marsini, Kepala SDN Mekartani Desa Mendawai, Katingan, Kalsel menjelaskan bagaimana proses belajar di sekolahnya. SD ditepi Taman Nasional Sebangau ini merupakan sekolah peraih Adiwiyata Nasional yang mengajarkan kearifan alam sebagai salah satu mata pelajarannya. Foto : M Ambari

Dengan motivasi seperti itu, SDN Mekartani perlahan mulai berevolusi untuku mengejar ketertinggalannya dari sekolah-sekolah dasar lain di negeri ini yang lebih baik. Revolusi yang paling mendasar dilakukan sekolah dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Sebelum 2009, KBM hanya menggunakan metode ceramah saja.

Tapi, Marsini bercerita, setelah itu sekolah mulai menerapkan metodolologi KBM dengan berbagai metode, seperti diskusi, wawancara, dan praktek. Dengan metode campuran seperti itu, guru memiliki kesempatan untuk bisa memindahkan tempat KBM dari ruang kelas ke alam terbuka. Metode tersebut, diakui dia, ternyata disukai pengajar dan siswa.

“Siswa jadi bisa menyegarkan suasana belajarnya. Begitu juga guru tidak lagi monoton mengajak siswa untuk memahami pelajaran. Ini saling menguntungkan dan semuanya positif,” tutur dia.

Buah kerja keras dan semangat yang pantang menyerah dari siswa dan guru, akhirnya menghasilkan penghargaan Adiwiyata Nasional. Penghargaan tersebut menjadi simbol dari kesuksesan pengembangan metode pendidikan di tingkat nasional oleh sebuah sekolah atau lembaga pendidikan.

Sekolah Garis Depan

Staf Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Bidang Pengelola Pemangku Kepentingan, M Chozin Amirullah mengaku takjub bisa menyaksikan kemajuan sebuah sekolah yang lokasinya ada di pedalaman Indonesia. Dia kagum dengan kreativitas guru dan siswa yang ada di sana.

Suasana SDN Mekartani Desa Mendawai, Katingan, Kalsel. SD ditepi Taman Nasional Sebangau ini merupakan sekolah peraih Adiwiyata Nasional yang mengajarkan kearifan alam sebagai salah satu mata pelajarannya. Foto : M Ambari
Suasana SDN Mekartani Desa Mendawai, Katingan, Kalsel. SD ditepi Taman Nasional Sebangau ini merupakan sekolah peraih Adiwiyata Nasional yang mengajarkan kearifan alam sebagai salah satu mata pelajarannya. Foto : M Ambari

Dia menyebutkan, apa yang sudah dilakukan SDN Mekartani tersebut mematahkan mitos bahwa sekolah di pedalaman itu tertinggal dan tak berprestasi. Itu juga menjadi role model untuk semua sekolah dasar yang ada di Tanah Air ini.

“Ini juga sejalan dengan Kemendikbud yang sekarang sedang menggagas sekolah di garis depan. Itu adalah sekolah yang lokasinya di kawasan terdepan di Negara ini. Jadi, walau lokasinya jauh, tapi kualitas pendidikan tetap terjaga baik,” ucap dia.

“Sekolah itu harus jadi taman yang menyenangkan bagi siswanya. Ini yang harus bisa dipahami oleh semua sekolah di seluruh Indonesia. Dengan demikian, metode belajar juga akan diterapkan tidak monoton lagi,” tambah dia.

Bagi WWF Indonesia, keberadaan sekolah tersebut tidak hanya untuk kesejahteraan masyarakat sekitar di masa depan, tapi juga untuk meningkatkan hubungan sekolah dengan masyarakat dan alam. Hal itu, karena di sekitar sekolah, terbentang luas Taman Nasional Sebangau yang dilindungi Negara dan menjadi habitat bagi Orang Utan beserta satwa langka lainnya.

“Tidak hanya itu, di sekitar sekolah juga masih banyak hutan. Jadi diharapkan nanti masyarakat dan generasi mudanya bisa memiliki kesadaran tentang pentingnya menjaga hutan. Jangan sampai ada kebakaran lagi,” jelas Rini Ratna Andriani, Education for Sustainable Development Coordinator WWF-Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,