Benteng terakhir satwa endemik Sulawesi, Suaka Margasatwa (SM) Nantu, diusulkan naik status menjadi Taman Nasional Nantu Boliyohuto. Secara administrasi, Nantu saat ini masuk dalam wilayah administrasi tiga kabupaten: Gorontalo, Boalemo, dan Gorontalo Utara.
Usulan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui mekanisme revisi rencana tata ruang wilayah, yang saat ini tinggal menunggu persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kami sudah mengirimkan usulan perubahan SM Nantu menjadi Taman Nasional Nantu Boliyohuto kepada menteri. Posisinya tinggal menunggu persetujuan,” ungkap Kepala Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Provinsi Gorontalo, Husen Al Hasni, pada Mongabay, awal Februari 2016.
Menurut Al Hasni, mengingat Nantu satu-satunya hutan perawan dan juga terkait dengan DAS (Daerah Aliran Sungai) Paguyaman, perlu satu pemikiran untuk menaikan statusnya menjadi taman nasional. Sebab, selama ini hutan Nantu dikelola oleh Lynn Clayton, konservasionis asal Inggris, yang statusnya sebagai peneliti.
“Kita ingin kawasan ini dibakukan dalam satu lembaga balai bernama taman nasional. Dengan adanya balai, diharapkan pengelolaannya akan lebih baik. Sebab selama ini kita hanya bagian kecil dari seksi konservasi, karena semuanya berada di Sulawesi Utara. Padahal, untuk Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, kita punya wilayah yang lebih luas, yakni 110 ribu hektar.”
Gorontalo memiliki BKSDA dan Balai Taman Nasional, namun statusnya hanyalah seksi wilayah dua, dengan kantor utamanya di Sulawesi Utara. Terkait perubahan tata ruang ini, gubernur juga terus mendorong status SM Nantu menjadi taman nasional, termasuk mengeluarkan izin restorasi ekosistem, dan juga beberapa izin seperti hutan tanaman industri (HTI).
“Mengenai HTI, kenapa masuk kawasan hutan karena dia menanam. HTI agak sedikit tersendat saat ini. Ada sekitar dua hektar dia membangun pabrik dan membutuhkan sekitar 8 ribu tenaga kerja. Kawasan hutan itu sudah diambil kayunya. Dan kita sudah atur, sudah kita tata. Namun masalahnya dengan masyarakat, itu yang perlu kita sosialisasikan lagi.”
Kepala BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Seksi Wilayah Dua Sulawesi Utara, di Gorontalo, Syamsudin Hadju, berharap perubahan status dari suaka margasatwa ke taman nasional segera terwujud. Ia mengaku kewalahan dengan status BKSDA saat ini yang masih perpanjangan tangan dari Sulawesi Utara dan harus menjaga kawasan konservasi yang begitu luas.
“Yang kami awasi lima kawasan konservasi dengan luas sekitar 100 ribu hektar dan personilnya hanya 10 orang. Kami sangat kesulitan.”
Menurut Syamsudin, selain berharap SM Nantu menjadi Taman Nasional Nantu Boliyohuto, ia juga mendorong BKSDA Gorontalo bisa berdiri otonom, berpisah dari Sulawesi Utara. “Sejak 2007, kami ajukan menjadi balai sendiri, namun sampai dengan saat ini belum terwujud.”
Sejarah
SM Nantu ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan bernomor 573/Kpts-II/1999 tanggal 22 Juli 1999 seluas 31.215 hektar. Sebelumnya, Nantu merupakan kawasan hutan lindung seluas 13.500 hektar, hutan produksi terbatas (14.830 hektar), hutan produksi (1.695 hektar), dan hutan produksi yang dapat dikonversi (1.190 hektar).
Namun pada 2010, berdasarkan SK 325/Menhut-II/2010, SM bertambah luasannya, sehingga luasan saat ini menjadi 51.507,3 hektar. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo ditetapkan menjadi persiapan calon Taman Nasional Nantu Boliyohuto
Pada 2013, kawasan Nantu juga ditetapkan sebagai wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Nantu berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan nomor SK 990/MENHUT-II/2013.
Hutan Nantu sendiri merupakan salah satu wilayah kerja BKSDA. Namun bagi masyarakat Gorontalo, sebagian besar mengatakan bahwa orang yang paling identik dengan hutan Nantu adalah Lynn Clayton. Pada 1988, untuk pertama kalinya Lynn menginjakan kakinya di hutan Nantu. Jika dihitung hingga tahun 2016 ini, sudah 28 tahun ia ikut menjaga hutan Nantu dan mencatat banyak perubahan hutan tropis yang pernah dijarah perusahaan HPH ini, menjadi rumah terbaik bagi satwa endemik seperti babirusa dan anoa.
Lynn juga, bersama dengan tim IPB, LIPI, PHKA, mendorong dan memprakarsai hutan Nantu sebagai kawasan Suaka Margasatwa pada 1999. Menanggapi alih status hutan Nantu dari suaka marsatwa ke taman nasional, Lynn mengatakan bahwa dirinya tidak ada masalah.
“Yang penting dari saya adalah hutan Nantu dan seluruh isinya benar-benar lestari sebagai aset Gorontalo,” ungkap Lynn pada Mongabay.
Pelik
Hutan Nantu saat ini menghadapi masalah pelik. Di wilayahnya terdapat pertambangan rakyat atau pertambangan emas tanpa izin (PETI), perburuan satwa dilindungi, dan perambahan yang sering dilakukan oleh masyarakat sekitar. Ancaman terbaru, perkebunan kelapa sawit yang kini berhadapan dengan Nantu.
Berdasarkan data BKSDA seksi wilayah dua Gorontalo, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar Nantu, jumlah penduduknya adalah 26.626 jiwa. Yang berprofesi sebagai petani 12.356 jiwa, pedagang 725 jiwa, buruh 188 jiwa, pengrajin 166 jiwa, yang berberprofesi sebagai pegawai negeri sipil, polisi, dan TNI adalah 125 jiwa. Tingkat pendapatan rata-rata masyarakatnya adalah Rp755.000 per bulan.
Rahman Dako, aktivis lingkungan di Gorontalo mengatakan, sebenarnya dengan status konservasi cagar alam aturannya lebih ketat. Tapi lihatlah, tiga cagar alam di Gorontalo yang rusak, seperti Tanjung Panjang, Panua, dan Tangale. Namun, SM Nantu relatif terjaga, bukan karena statusnya, tapi karena ada Lynn Clayton. “Saya setuju dengan kerja-kerja Lynn, tapi tetap perlu dikritisi karena keberadaan Brimob.”
Sebelumnya, dalam setiap kesempatan Lynn Clayton sering mengatakan, ancaman terbesar Nantu selain penggundulan hutan dan perburuan liar, adalah pertambangan emas ilegal yang meracuni daerah aliran sungai yang digunakan oleh 15.000 warga di desa hilir.
“Jika Suaka Margasatwa Nantu naik status menjadi Taman Nasional maka sudah tentu jaminan anggarannya akan naik. Sewajarnya, kondisi ini diiringi dengan integritas dan pengelolaan yang baik pula,” kata Rahman Dako.