,

Konser Seni Manusia Tanah untuk Hari Bumi

Perempuan itu meronta. Kedua tangannya mengepak, memaksa terbang. Namun kakinya tertahan. Lima perempuan temannya, tak bisa berbuat. Yang ada hanya ratapan kesedihan melihat kejadian di depan mata mereka. Tangan-tangan coba dijulurkan untuk membantu rekan mereka itu dari kemalangan. Sayang, sang pemburu dengan segenap kekuatan berhasil menangkapnya.

Fragmen di atas adalah pentas tari yang bercerita tentang perburuan burung dan satwa lainnya di Gorontalo. Enam orang perempuan dan satu laki-laki, dengan kostum hitam putih, berhasil memukau penonton yang datang malam itu. Penari-penari ini adalah mahasiswa dari jurusan Seni, Drama, Tari, dan Musik (Sendratasik) Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo (UNG).

Sebelumnya, dipentaskan juga tari yang menceritakan maraknya penebangan hutan di Gorontalo. Ketujuh orang penari dengan kostum hitam hijau itu menyampaikan pesan tentang bumi yang buruk rupa akibat tangan-tangan manusia.

Pementasan ini merupakan rangkaian perayaan peringatan Hari Bumi yang digelar setiap 22 April. Perayaan ini digagas berbagai organisasi, seperti Burung Indonesia, AJI Kota Gorontalo, Kantor Bahasa Gorontalo, Pendidikan Sentratasik, Masyarakat Fotografi Gorontalo, dan Wire-G yang merupakan LSM perempuan di Gorontalo. Tajuknya “Manusia Tanah, Merajut Bentang Bumi Gorontalo”.

Pentas itu digelar di halaman Fakultas Sastra dan Budaya UNG, Kamis, 21 April 2016 malam. Setingan panggung dan pencahayaan dibuat sederhana, namun menampilkan pertunjukan tari dan juga menyuguhkan musikalisasi puisi dari Beranda Etnika, serta penampilan Hulondalo String Orchestra yang berhasil menghibur pengunjung. Dalam perayaan hari bumi ini, selain pementasan seni, juga ada testimoni kondisi lingkungan hidup di Gorontalo.

Amsurya Warman Asa, Koordinator Program Burung Indonesia untuk Gorontalo mengatakan, filosofi dari tema manusia tanah adalah, manusia berasal dari tanah, dan tanah artinya bumi, sehingga manusia jangan lupa dengan bumi. Banyak manusia yang lupa dengan tanah dan enggan bersentuhan dengan tanah. Bahkan menurutnya, seharian banyak manusia yang tidak menyentuh tanah.

“Turun dari mobil pakai sepatu tidak menyentuh tanah. Pada malam hari inilah kami mengingatkan kembali siapa kita. Karena tanah itu bumi, di atas tanah ada hutan, pohon sebagai pasaknya. Hutan itu mendatangkan air. Air adalah sumber kehidupan. Tanpa hutan, tanpa bumi, tidak ada kehidupan,” ungkap Amsurya.

“Sebaiknya kita meninggalkan mata air untuk anak cucu, jangan meninggalkan air mata.”

Menurut Amsurya, bicara tentang isu lingkungan atau penyelamatan bumi, tidak harus dari orang yang memahami ilmu sains, ilmu kehutanan, atau ilmu lingkungan sendiri. Tapi lewat pentas seni dan budaya, pesan yang ingin disempaikan akan lebih terasa sentuhannya kepada khalayak. Pentas seni dan budaya lebih mengena dibandingkan dengan tiga sampai tujuh kegiatan seminar lingkungan.

“Melalui pentas seni budaya malam ini, kita dapat merenungi dan juga merajut kembali apa yang sudah terjadi dengan bumi Gorontalo,” kata Amsurya.

Danau Limboto, danau bersejarah yang saat ini dangkal dan sebagian besar permukaannya dipenuhi eceng gondok. Foto: Christopel Paino

Harto Malik, Dekan Fakultas Sastra dan Budaya UNG mengatakan, dengan pendekatan seni dan budaya, kita ikut menyelamatkan generasi-generasi manusia nanti dan berupaya menyelamatkan masa depan bumi.

“Ada perubahan besar di Gorontalo, seperti kita mandi bukan pada saatnya, yaitu kita mandi berkeringat. Sudah tak ada lagi pohon-pohon. Sampah di mana-mana. Suhu bumi sekarang telah berubah,” katanya.

Debby Hariyanti Mano, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo ketika memberikan testimoni mengatakan, dalam perspektfi media, ia merasa media memiliki hutang besar dan punya banyak dosa terhadap alam dan lingkungan. Karena pemberitaan media dengan porsinya yang masih sangat minim.

Debby melihat selama ini banyak media hanya intens memberitakan persoalannya pada bagian hilirnya saja, seperti bencana atau peristiwa-peristiwa alam, yang sifatnya reaktif. Sementara, persoalan hulunya tidak diliput dan tidak memberikan edukasi kepada masyarakat luas.

“Untuk membayar dosa-dosa terhadap alam itu,  kami di AJI Kota Gorontalo mendorong agar media memberikan kanal khusus untuk lingkungan,” ungkap jurnalis LKBN Antara itu.

Bentang alam Gorontalo dari sekitar Limboto ke Tilamuta, Boalemo yang diambil saat fly over 2013. Foto: Farid Zulfikar/Burung Indonesia

Testimoni lain disampaikan Rahman Dako, aktivis lingkungan dari Perkumpulan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda). Menurutnya, di Gorontalo ada yang salah pemahamannya dalam pembangunan. Sebab, identik dengan berdirinya gedung ber-ac atau pembuatan jalan, tapi yang terjadi di depan mata adalah kerusakan bumi.

“Kita harus melihat kembali konsep pembangunan yang kita lakukan saat ini, dan harus ada yang berani melakukan kerja-kerja revolusioner. Kalau tidak ada yang berani mengkritik ide-ide pembangunan itu, kita akan tergerus pembangunan itu sendiri. Pada satu saat, pembangunan itu akan runtuh dengan sendirinya dan akan menelan kita semua,” ucapnya.

Perayaan hari bumi tersebut ditutup dengan penampilan Beranda Etnika, band yang mengkolaborasikan musik modern dan musik tradisional Gorontalo. Band ini menyanyikan lagu berjudul “Manusia Tanah” dengan musikalisasi puisi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,