“Danau Limboto ini adalah salah satu oasis terbesar yang ada di Gorontalo.”
Kalimat tersebut diucapkan oleh Iksan, konsultan untuk Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Danau Limboto. Ia memberikan materi dengan judul, “Danau Limboto The Great Oasis Gorontalo” dan menjelaskan tentang zona penanganannya.
Menurut Iksan, berdasarkan RPJMN 2015 dinyatakan bahwa arahan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah Sulawesi adalah pengembangan kawasan perkotaan dan perdesaan, di antaranya pengembangan kawasan Danau Limboto untuk rehabilitasi dan revitalisasi waduk demi terwujudnya swasembada pangan. Juga penanggulangan bencana seperti banjir.
Iksan juga menyebut Perda Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengelolaan Danau Limboto yang telah menetapkan zonasinya, yaitu zona sempadan, zona budidaya, zona penyangga, dan zona lindung. Namun menurutnya, regulasi tersebut tidak secara rinci menjelaskan wilayah zonasinya sehingga perlu penyempurnaan perda.
“Untuk itu kami membuat visi misi penataan kawasan danau, yaitu menciptakan Danau Limboto sebagai kawasan strategis dari sudut pandang lingkungan hidup, sebagai lokomotif dalam pengembangan ekonomi sosial budaya dan kawasan wisata di Gorontalo,” kata Iksan.
Ia mengatakan potensi yang ada di Danau Limboto antara lain suplai ikan air tawar, transportasi, permukiman perdesaan, lahan pertanian sawah, lahan pertanian hortikultura, ruang terbuka hijau, permukiman perkotaan, sejarah, pariwisata dan rekreasi.
Dalam pemaparannya, Iksan menampilkan ilustrasi Danau Limboto sebagai jalur pedestarian, taman kota, jalan lingkar danau, ruang terbuka hijau, ilustrasi wisata sejarah dan budaya, serta ilustrasi pola ruang kawasan pertanian dan perkebunan.
Irwan Bempah, Sekretaris Forum DAS Limboto menimpali penjelasan konsultan tersebut. Menurutnya, dalam proses kebijakan ia melihat ini adalah regulasi atau calon peraturan daerah (perda) gagal. Jika belajar dari perda sebelumnya yang gagal, Irwan melihat ada kemiripan dari proses yang dibangun.
“Dari sisi substansi yang disampaikan, harusnya konsultan berikan naskah akademik, karena itu jantungnya regulasi. Tapi ini tidak ada,” tandas Irwan.
Menurutnya, dalam persoalan draf ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) ini, selain sebagai calon perda gagal, kemudian yang ia khawatirkan malah akan menjadi perda kanibal. Artinya malah akan membunuh perda-perda yang lain. Sebagai contoh, Irwan menyebut Perda Nomor 11 tahun 2014 tentang Rencana Pengelolaan DAS.
“Ini Perda Provinsi Gorontalo tentang Pengelolaan DAS, namun tak satu pun disebut dan tidak diakomodir. Harusnya yang dibahas sebuah ekosistem yang utuh dan keterkaitan antara hulu, tengah, dan hilir. Bukan hanya bicara genangan saja.”
Menurut Irwan lagi, delianasi atau rancangan yang dibahas masih bersifat administratif dan kondisinya tidak menggambarkan sebuah ekosistem danau. Ia lalu menyarankan zoning harus berdasarkan kriteria dan indikator sosial, ekonomi, dan ekologi. Paling tidak, katanya, zona lindung harus berinteraksi dengan zona yang ada di sekelilingnya. Sehingga punya alasan kuat mengapa menetapkannya sebagai zona lindung.
“Jika hanya berdasarkan eksisting genangan danau, saya pikir masih mentah. Karena dalam imajinasi arsitektur, saya melihat zona lindungnya tidak saling berkaitan. Bahkan saling membunuh antara satu zona dengan zona yang lain, ” kata Irwan yang juga akademisi pada Universitas Gorontalo.
Rosyid Azhar, fotografer dari MFG (Masyarakat Fotografi Gorontalo) ikut menambahkan bahwa penanganan Danau Limboto tersebut tidak memberikan ruang pada upaya menyelamatkan biodiversiti danau. Dari hasil identifikasi awal mereka, Rosyid mengaku menemukan 36 jenis burung migran yang berasal dari Siberia, Alaska, dan belahan dunia lain yang setiap tahun singgah ke Danau Limboto.
“36 burung migran itu hanya identifikasi awal, artinya masih banyak lagi yang belum ditemukan. Sementara burung residen atau sudah menetap di danau ada banyak spesiesnya, dan sebagian masuk satwa dilindungi. Itu baru dari sisi burung, belum satwa yang lainnya,” ungkap Rosyid.
Menurutnya, jika melakukan sesuatu di Danau Limboto, paling tidak pemerintah ikut mempertimbangkan alasan biodiversitasnya, karena ini adalah kekayaan Danau Limboto. Selain itu, wilayah danau merupakan salah satu yang paling penting dan mereka mulai mencoba memperkenalkannya sebagai kawasan pengamatan burung internasional.
“Ini bisa dijadikan sebagai potensi wisata. Mulai tahun kemarin sudah ada catatan dari kelompok pengamat burung migran di dunia. Dan beberapa data dari foto kami sudah diakses di Australia.”
“Saya sendiri sudah mendokumentasikan burung kedidi golgol yang ada benderanya di Danau Limboto. Ternyata burung itu merupakan tanda dari burung Victoria di Australia,” ujar Rosyid.
Dana 3 Triliun
Usai pertemuan di hotel Maqna itu, keesokan harinya, Minggu, 2 April 2016, digelar lagi pertemuan di ruang audotorium Bappeda Provinsi Gorontalo. Pertemuan itu bertajuk Rapat Koordinasi Grand Strategy Penanganan Danau Limboto melalui perencanaan yang holistik, integratif, dan tematik.
Wempie Waroka, dari Balai Wilayah Sungai Sulawesi II, menjelaskan tentang perencanaan greenbelt atau sabuk hijau Danau Limboto dan detail desain bangunan penangkap sedimen. Wempi memperlihatkan bagaimana pekerjaan pengerukan danau dan pembuatan tanggul. Namun menurutnya, rencana pembangunan tanggul tersebut sudah banyak difungsikan sebagai lahan perkebunan, dan masyarakat pada umumnya meminta ganti rugi lahan.
Dalam diskusi itu, Rahman Dako, aktivis lingkungan mengatakan, sebaiknya revitalisasi danau ini juga harus transparan dan dibuka ke publik berapa anggaran untuk Balai Wilayah Sungai, karena terlalu banyak tuduhan kepada balai sebagai pemegang proyek, sementara instansi lain mengeluh. Selain itu, menurutnya, Balai wilayah sungai tidak hanya sebatas sosialisasi saja, tapi juga ikut melakukan pendampingan pada masyarakat.
“Warga harus dititipkan masalah ekologi disetiap desa. Sekarang tidak bisa lagi bicara politik, kita harus sepakat pendekatannya adalah ekologi bukan administrasi,” ujar Rahman.
Sementara itu, anggaran pembangunan revitalisasi Danau Limboto, berdasarkan booklet Danau Limboto yang dikeluarkan oleh Balai Wilayah Sungai, menyebutkan angka total sebesar Rp3.968.192.060.120 atau sekitar Rp3,9 triliun.
Sedang rincian pekerjaan yang sudah dilaksanakan yaitu pada 2012 pembangunan groundsill 10 buah. Pekerjaan pda tahun 2013; pembangunan check dam Sungai Bulota 1 buah, pembangunan check dam Sungai Pohu 1 buah, pembangunan groundsill 3 buah, pembangunan revetment dan parafet sepanjang 960 meter, pembangunan tanggul 1.250 meter, pengerukan Danau Limboto seluas 10 hektar, perbaikan alur sungai Barakati sepanjang 149 meter, perbaikan alur sungai Tabongo sepanjang 1950 meter, perbaikan alur sungai Widya Krama sepanjang 1000 meter, dan perbaikan tebing sungai Alo sepanjang 90 meter di Desa Botumoputi
Pada 2014, pekerjaan yang dilakukan dalam proyek itu adalah pengerukan danau seluas 10 hektar, tanggul danau sepanjang 5,6 kilometer, pembangunan groundsill 2 buah, pembangunan chek dam 1 buah, pembangunan revetment tanggul danau 600 meter, pembangunan revetment sungai Alopohu sepanjang 700 meter, pembangunan plat dekker 1 buah.
Sementara pekerjaan yang dilaksanakan pada 2015 yaitu, pekerjaan tanggul danau, pekerjaan drainase, pekerjaan finishing pintu Tapodu. Pekerjaan yang dilaksanakan 2015-2017 (Multi Years Contract) adalah pengerukan Danau Limboto, pekerjaan kanal outlet Danau Limboto 2 kilometer, pekerjaan tanggul Danau Limboto, pekerjaan bangunan pengendali sedimen 3 unit, pekerjaan pembangunan jembatan 2 unit, serta pemeliharaan jalan akses.
Rustamrin Haris Akuba, Direktur Politeknik Gorontalo yang ikut dalam pertemuan tersebut mengatakan, apa yang dilakukan oleh Balai Wilayah Sungai tersebut lebih pada pendekatan tata ruang kota, bukan tata ruang danau, karena tidak memperhatikan aspek ekologinya.
Dalam pertemuan yang melibatkan akademisi itu menghasilkan rekomendasi, yaitu membentuk Unit Kerja Gubernur Badan Otorita Danau Limboto. Badan ini diketuai oleh Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo, dan ketua hariannya adalah Kepala Bappeda. Tugasnya adalah mendorong terbentuknya Badan Otoritas Nasional Danau Limboto.
Rekomendasi lainnya adalah memberlakukan status Danau Limboto menjadi daraurat bencana ekologi. Juga mendorong perbaikan Perda Nomor 1 tahun 2008 tentang Pengelolaan Danau Limboto sambil menunggu Perda KSP (Kawasan Strategis Provinsi). Mendorong penganggaran khusus penyelamatan Danau Limboto bagi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta kementerian terkait.
Rekemondasi selanjutnya yaitu percepatan ground check lapangan untuk tapal batas Danau Limboto dan mendesak pihak BPN Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk segera menyerahkan foto copy peta induk kepemilikan lahan di kawasan Danau Limboto. Serta peninjauan kembali semua perizinan di wilayah DAS Limboto dan moratorium alih fungsi lahan.
Bagi Sutarjo Polontalo, pembahasan Danau Limboto itu sudah sangat bagus, dan ia sangat setuju jika penetapan zonasi segera dilakukan. Namun, yang terpenting baginya adalah pemerintah juga bisa menyelesaikan persoalan tanah di atas Danau Limboto yang memiliki bukti kepemilikan lahan.
“Setuju dengan apa yang telah dibuat oleh pemerintah, tapi juga harus menyelesaikan persoalan lahan yang ada bukti sah kepemilikan oleh rakyat,” katanya.
Bagian awal tulisan ini dapat dibaca pada judul berikut: