Sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dipimpin perempuan tangguh Susi Pudjiastuti, berbagai terobosan sudah diterapkan. Dari penegakkan kebijakan illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing hingga pelarangan beroperasinya kapal-kapal asing di lautan Indonesia, dan termasuk juga penerapan peraturan menteri (Permen) KP yang menuai kontroversi pro dan kontra.
Semua kebijakan itu berhasil dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan menghasilkan implementasi positif dan negatif. Mongabay Indonesia pada tulisan ini akan membahas kebijakan yang sudah dibuat Susi Pudjiastuti dan mencari tahu sejauh mana kebijakan tersebut berdampak positif atau negatif.
Dalam tulisan berseri ini, Mongabay Indonesia akan menceritakan industri perikanan dan kelautan yang ada di Provinsi Aceh, terutama di Kota Sabang yang ada di Pulau Weh dan Kota Banda Aceh yang berlokasi di Pulau Sumatera. Berikut adalah tulisan pertama yang disajikan oleh penulis M. Ambari.
********
Minggu (1/5/2016), sejumlah kapal tradisional nelayan terlihat sedang terparkir di dermaga perikanan yang ada di Pantai Pasiran, Pulau Sabang, Aceh. Tak jauh dari perahu-perahu tersebut, terlihat banyak nelayan dan warga yang sedang sibuk menghitung ikan-ikan yang menjadi tangkapan perahu-perahu tersebut.
Tak ada rasa khawatir ataupun gembira berlebihan dari mimik muka warga dan nelayan yang beraktivitas di atas dermaga itu. Namun, sesekali, mereka terlihat sibuk berbincang seperti sedang tawar menawar harga. Pemandangan itu bisa disaksikan oleh siapapun di kawasan tersebut, setiap pagi, setiap hari, sepanjang tahun.
Ikan-ikan seperti tuna, cakalang, dan dencis, menjadi primadona hasil tangkapan pada pagi itu. Terutama dencis, yang terlihat disajikan dalam bentuk wadah-wadah besar dan dijual per wadah yang berisi dalam jumlah banyak. Semua itu bisa didapat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang ada di Pantai Pasiran.
Di tengah hiruk pikuk aktivitas jual beli itu, terlihat Haris Syahputra yang sangat sibuk melayani calon pembeli. Dia adalah seorang agen penjual atau dalam sebutan warga lokal adalah toke bangku. Pagi itu, Haris tampak sibuk karena harus melayani pembeli yang berasal dari masyarakat.
“Mereka beli untuk konsumsi keluarga, tapi ada juga yang untuk dijual lagi,” ucap dia membuka percakapan kepada Mongabay Indonesia.
Selain dibeli oleh warga lokal, Haris menceritakan, ikan hasil tangkapan di laut juga biasanya dikirim langsung ke Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh yang letaknya ada di Aceh daratan dan menyatu dengan Pulau Sumatera.
“Tak hanya Banda Aceh, saya juga biasa mengirimnya ke Medan. Dari sana, biasanya ikan dari tangkapan kami diekspor ke negara tujuan,” jelas dia.
Haris mengatakan, sebagai nelayan tradisional yang sudah lama memanfaatkan sumber daya laut di Pulau Weh, dia biasa mendapatkan tangkapan rerata 3 ton. Biasanya, jumlah tangkapan tersebut didapat setiap kali melaut pada siang dan malam hari.
Kata Haris, kalau hasil tangkapan lagi bagus, ikan yang dikumpulkan bisa mencapai 5 ton dari setiap kapal. Namun, jika tangkapans sedang sepi, hasilnya maksimal hanya 3 ton saja. Ikan-ikan tersebut ditangkap menggunakan kapal tradisional berbobot 6 gros ton (GT).
“Khusus untuk (melaut) malam, kapal yang digunakan berbobot 8 GT. Ya karena memang malam hari biasanya butuh usaha yang lebih banyak untuk menangkap ikan,” tutur dia.
Untuk sekali melaut, Haris bercerita, dia biasanya mengeluarkan biaya minimal Rp300 ribu dengan penghasilan kotor rerata Rp300 ribu. Biaya tersebut termasuk kecil, karena jarak tempuh saat melaut tidak terlalu jauh.
“Di Sabang itu kita biasa menangkap ikan dalam jarak yang dekat,” sebut dia.
Karena terbiasa mendapatkan ikan yang mudah, menurut Haris, industri perikanan dan kelautan di Sabang tidak terpengaruh sama sekali dengan kondisi di kota lain. Termasuk, tak terpengaruh dengan kebijakan yang dikeluarkan Menteri Susi Pudjiastuti.
“Disini biasa saja. Tak ada pengaruhnya. Sudah sejak lama tangkapan di sini banyak,” tambah dia.
Hal senada juga diungkapkan Yusuf, nelayan perantauan dari Bireun, Aceh daratan. Menurut dia, sejak merantau ke Pulau Weh beberapa tahun lalu, kondisinya tidak ada yang berubah signifikan. Menurutnya, jumlah tangkapan ikan dari dulu sampai sekarang masih sama dan banyak.
“Itu memang kenyataan. Kita biasa mendapatkan ikan yang banyak setiap hari. Memang ada kalanya ikan sedikit bahkan paceklik, tapi itu biasanya karena pengaruh musim angin. Biasanya, kalau musim angin barat sudah ada, ikan di laut akan sedikit,” jelas dia.
Jika sudah demikian, harga ikan yang dijual ke masyarakat juga akan mengalami kenaikan signifikan. Kata Yusuf, kondisi itu biasa dialami warga dan nelayan di Sabang. Jadi, jika ikan sedang langka, biasanya masyarakat akan mengurangi konsumsi harian.