,

Masalah Citarum, Masalah Kita Semua

Sungai merupakan miniatur kehidupan sekaligus menjadi pusat peradaban. Keberlangsungan hidup setiap makhluk berada di setiap alirannya. Dari hulu ke hilir nadinya mengalir air yang membasahi setiap yang gersang dan dari badannya menumbuhkan setiap yang hidup.

Itulah sedikit deskriptif tentang sungai sebagai sumber penghidupan. Namun, sekarang fenomena telah berubah sungai tak lagi indah juga ramah. Data menujukkan hampir 70 persen lebih sungai tercemar di wilayah Jawa Barat .

Sungai Citarum adalah sungai terbesar yang memiliki panjang sekitar 300 kilometer di tanah Sunda Jabar. Sungai dengan nilai sejarah yang kental akan perkembangan zaman ini, kini kondisinya masuk kedalam daftar salah satu sungai dengan tingkat ketercemarannya paling tinggi di dunia. Tingginya angka pertumbuhann industri di sekitar kawasan sungai menjadi awal mula perubahan lingkungan.

Persoalan Citarum merupakan permasalahan klasik yang dari tahun ke tahun terus terulang dari mulai tercemar sampah, limbah rumah tangga hingga limbah industri yang tak kunjung menemukan titik terang. Tak heran apabila sungai di berbagai wilayah rusak, sebab perkembangan manufaktur di Jabar paling tinggi yang mencapai 60 persen.

Banyak kalangan yang geram dengan kondisi Citarum, seperti kasus gugatan Koalisi Melawan Limbah (KLM) terhadap keputusan Bupati Sumedang yang memberikan IPLC (Izin Pembuanagan Limbah Cair)  kepada 3 perusahaan tekstil di Rancaekek, Kabupaten Bandung yang akan memasuki putusan akhir pada Selasa, (24/05/2016) mendatang di PTUN Bandung.

Sebelum memasuki persidangan Koalisi yang dimotori Greenpeace Indonesia, LBH Bandung, Walhi Jabar dan Pawapeling kembali melakukan aksi sebagai upaya penyadartahuan kepada publik terkait permasalahan Limbah Berbahaya Beracun (B3) di Citarum.

“Kita (KLM) mengadakan acara publik, kita namakan Sabtu Ngariung Dari Kita Untuk Citarum. Acara ini bertujuan untuk memberikan informasi secara luas terkait pencemaran limbah B3 Industri yang terjadi sangat masif di Sungai Citarum, khususnya di Rancaekek yang sudah mengakibatkan kerugian bagi masyarakat juga terhadap lingkungan,” kata Ahmad Ashove, Juru  Kampanye Detok Greenpeace Indonesia di Taman Musik, Jalan Belitung kota Bandung, Sabtu (21/05/2016).

Ashov mengungkapkan data kerugian ekonomi akibat dampak pembuangan limbah industri ke sungai di kawasan Rancaekek mencapai angka fantastis yakni Rp11,4 triliun lebih dalam kurun waktu tahun 2004 – 2015. Atau Rp1 triliun per tahun kerugian dari sektor ekonomi. Itupun belum dampak sosial dari persoalan limbah tersebut.

“Dalam Undang – Undang kita, sudah jelas bahwa industri yang mencemari harus bertanggung jawab dan harus memulihkan kerusakan yang telah terjadi. Jadi,jangan sampai mencemari itu murah. Kalo mencemari itu murah, industri akan terus seperti ini. Industri harus mentaati aturan dan aturan harus ditegakkan,” tegasnya disela – sela diskusi melawan limbah.

Seorang warga korban pencemaran limbah. Lahan pertanian rusak, tanaman pun mati. Tiga perusahaan membandel, KLH berencana menggugat. Foto: Kementrian Lingkungan Hidup
Seorang warga korban pencemaran limbah. Lahan pertanian rusak, tanaman pun mati. Tiga perusahaan membandel, KLH berencana menggugat. Foto: Kementrian Lingkungan Hidup

Berdasarkan data yang dihimpun Mongabay, ada sekitar 500 perusahan dan beberapa pertenakan yang berada di sekitar kawasan Citarum di wilayah Kabupaten Bandung. Ashov menuturkan kebanyakan perusahan belum optimal dalam mengelola limbah yang dihasilkan sesuai baku mutu yang telah ditetapkan.

Susah seharusnya, praktik kotor industri yang kebanyakan pabrik tekstil  dengan limbah B3 yang mencemari sungai dihentikan. Mereka haus berinovasi mengurangi bahan kimia menuju nol B3 tahun 2020.

“Kampanye Greenpeace dalam kurun waktu 2011 – 2015, kami sudah bisa mendorong terciptanya komitmen dari pihak pembeli,pihak suppliernya untuk mengurangi penggunaan limbah B3 pada 2020. Bahan B3 sebetulnya bisa di ganti dengan bahan yang lebih ramah lingkungan. Dan itu kami akan dorong. Tentunya harus ada inovasi dan itu akan selalu kami dukung,” paparnya.

Ashov mengatakan beberapa pihak sudah berkerjasama membuka perusahaan yang membuang limbah B3 ke sungai di seluruh dunia termasuk indonesia. Ada 31 brand internasional yang sudah komitmen.

Komitmen Bersama

Sementara itu,Wakil Gubernur Jabar, Dedy Mizwar yang hadir dalam diskusi tersebut mengatakan jika ingin melihat peradaban sebagian masyarakat Jabar lihatlah kondisi Citarum Cimanuk dan Ciliwung. Dia melanjutkan kehidupan masyarakat yang bergantung pada sungai kini sudah terbalik. Sungai dijadikan tempat membuang segala macam kotoran termasuk kotoran dirinya sendiri.

Menurutnya saat ini masyarakat Jabar yang menikmati air bersih itu cuma 67 persen saja. Sisanya hidup dibantaran sungai dengan keterbatasan.  Padahal jabar merupakan kawasan dengan curah hujan tertinggi di Indonesia.

Dia mengungkapkan Sungai Citarum menampung 100 ton tinja per hari. Belum lagi sampah dan limbah pabrik dan juga sedimentasi. Dia menambahkan tingginya alih fungsi lahan di Jabar yang luar biasa sekitar  8.311 hektar lebih lahan kritis mengakibatkan berbagai persoalan.

Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedy Mizwar menyampaikan pidato di acara Dari Kita Untuk Citarum di Taman Musik, Kota Bandung, Sabtu, (21/05/2016). Dalam Pidotonya Demiz berkomitmet membenahi Sungai Citarum yang tercemar berat akibat limbah. Foto : Donny Iqbal
Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedy Mizwar menyampaikan pidato di acara Dari Kita Untuk Citarum di Taman Musik, Kota Bandung, Sabtu, (21/05/2016). Dalam Pidotonya Demiz berkomitmet membenahi Sungai Citarum yang tercemar berat akibat limbah. Foto : Donny Iqbal

Melihat kondisi tersebut, Wagub menegaskan komitmennya untuk terus melawan kerusakan lingkungan di Jabar.  “Padahal dulu sungai itu begitu penting dalam membangun peradaban. Jika datang ke hulu sungai Citarum di danau Cisanti airnya melimpah dan tak ada habisnya. Airnya pun bisa langsung bisa diminum. Tetapi 200 meter ke bawah airnya sudah berwarna kuning dan hijau tercampur kotoran,” kata pria yang akab disapa Demiz.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar selama 3 tahun telah melakukan upaya perbaikan struktural dan non struktural bersama para ahli, pengusaha, aktivis dan akademisi dan masyarakat. Khusus untuk langkah struktural, katanya, telah dilakukan sanitasi.

“Yang terpenting adalah perbaikan non struktural karena memerlukan waktu tidak sebentar.Sebab ini berhubungan langsung dengan mindset masyarakat. Kita dorong sembari memberi edukasi atau pendidikan lingkungan karena penting dilakukan dalam memberikan wawasan lingkungan,” ucapnya.

“Saya pernah berbincang dengan orang Korea, untuk membenahi sungai Tang yang tercemar berat, perlu waktu 20 tahun. Tapi dulu tak secanggih sekarang, dengan teknologi yang ada kita bisa membenahi lebih cepat dan tak perlu menunggu 20 tahun. jika kita mau bersama,” tambahnya.

5 Aspek Penting

Pandangan lain juga muncul dari kalangan akademisi terkait Citarum, Asep Warlan selaku pengamat lingkungan mengatakan Undang-undang (UU) Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 tahun 2009 sudah cukup lengkap. Dia menambahkan arti perlindungan dan pengelolaan berimplikasi hukum luas satu diantaranya adalah tanggung jawab pemerintahan.

Asep menilai banyak persoalan – persoalan yang menjadi belenggu dalam konteks ini, antara lain budaya dan hukum. Namun, kata dia sudah ada upaya dari Pemerintah yaitu penegakan aturan dan komitmen. “Hemat saya, pemerintah sudah ada upaya mengatasi persoalan B3 terutama di Citarum. Yang terpenting adanya komitmen dan mari kita dukung bersama,” ujanya.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama LSM Greenpeace, Walhi Jabar, Pawapeling dan sejumlah tokoh masyarakat berfoto bersama sebagai bentuk komitmen melawan limbah B3 di Rancaekek. Foto Donny Iqbal
Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama LSM Greenpeace, Walhi Jabar, Pawapeling dan sejumlah tokoh masyarakat berfoto bersama sebagai bentuk komitmen melawan limbah B3 di Rancaekek. Foto Donny Iqbal

Dia menjelaskan ada 5 aspek yang perlu diperhatikan yakni pertama menjaga fisik sungai seperti air, udara dan tanah. Yang kedua, selain kondisi fisik, perlu ada aturan soal kegiatan di sungai.

“Untuk mengawasi aspek kegiatan jarang sekali diatur. Kebanyak fisiknya saja. Baku mutu pun itu sebetulnya fisik. Jarang sekali yang memunculkan itu,” paparnya.

UU tersebut mengatur sanksi pidana kepada pihak industri yang mengabaikan  pengawasan dan pemerintah yang memberi ijin usaha tanpa Amdal.

Dia melanjutkan aspek ketiga adalah sungai sumber daya kehidupan. Perlu ada hak mengembalikan atas sungai sebagai sumber daya kehidupan. “Hemat saya, tidak akan mudah hanya dengan mengedepankan satu program saja. Disana ada kehutanan, ada PU, pertanian dan pariwisata. Banyak sumber yang sebetulnya bisa mengembalikan sumber daya sungai tersebut,” paparnya.

Kemudian poin selanjutnya, kata Asep, adalah hak masyarakat mendapatkan manfaat sungai yang bersih serta tanggung jawab dari pemerintah selaku memiliki wewenang dalam mengatur dan mengawasi agar sungai tetap lestari.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,