, ,

Ribuan Orang Bali Serukan Puputan Selamatkan Kawasan Suci Benoa. Ada Apa?

Kota Denpasar pada Minggu pagi (23/05/2016) terlihat semarak oleh ribuan orang yang berkumpul. Tua, muda, remaja terlihat mengenakan kamen (kain) dan selendang serta udeng (penutup kepala) untuk laki-laki. Mereka berjalan kaki beberapa kilometer di jalur perjuangan Puputan Badung, menuju ke nol kilometer Kota Denpasar, Bali.

Mereka menambahkan ikatan pita hitam di lengan kiri, sebagai penghormatan dan mendoakan Ida Pedanda Gede Made Gunung, yang awal pekan lalu meninggal. Beliau pendeta dan juga tokoh Hindu yang menolak keras rencana reklamasi Teluk Benoa.

Pita hitam juga sebagai tanda duka atas bebalnya pemerintah daerah dan pusat merespon gelombang penolakan yang hampir tiap pekan melakukan aksi di tiap desa.

Sudah empat tahun warga Bali menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Pemerintah pusat yang kini punya wewenang masih belum memberikan putusan jelas. Sampai akhirnya kata puputan atau berjuang habis-habisan diteriakkan di pusat perjuangan rakyat Bali melawan penjajah Belanda,

Mereka melakukan longmarch dimulai dari simbol-simbol kehidupan dan perjuangan, yakni Setra (kuburan) Badung, Puri Pemecutan, kawasan heritage Jalan Gajah Mada, kemudian berkumpul di Patung Catur Muka, area di titik nol kilometer Denpasar. Di sini ada Lapangan Puputan Badung, jejak perjuangan rakyat Bali melawan penjajah dengan cara puputan. Parade ini mengular panjangnya sampai satu kilometer.

Penyarikan (sekretaris) Desa Pekraman Denpasar A.A Putu Gede Wibawa mengatakan bahwa desa adat Denpasar yang menaungi 105 banjar adat telah menggelar  paruman  (rapat) Desa Pakraman tanggal 26 Maret 2016 yang menyatakan Desa Pakraman Denpasar menolak reklamasi Teluk Benoa.

Sejumlah alasan yakni menjunjung tinggi filosofi tiga keseimbangan alam, manusia, dan pencipta (Tri Hita Karana), mendukung kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan suci, dan mendesak agar kawasan Teluk Benoa dikembalikan menjadi kawasan konservasi.“Para pengambil kebijakan di pusat dan Bali harus mendengarkan aspirasi masyarakat Bali dan menyabut Perpres No. 51 tahun 2014,” katanya di depan massa.

Salah satu keturunan raja Denpasar, Cokorda Pemecutan yang juga orasi menyebut warga akan puputan. “Kita berdiri di titik nol, satukan tekad habis-habisan berjuang,” serunya menyemangati. Sementara I Wayan “Gendo” Suardana koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) mengingatkan sejarah Puputan Badung.

“Leluhur kita berani lawan intimidasi dan agresi militer. Lawan siapa pun yang berani menurunkan baliho memberangus suara-suara rakyat,” seraya menyentil aparat Kodam Udayana yang berada di sekitar lapangan ini.

Sebelumnya sejumlah tentara menurunkan baliho-baliho tolak reklamasi di bberapa titik jalan yang dilalui presiden Joko Widodo saat hadiri Munaslub Partai Golkar di Nusa Dua. Pengeruskan baliho tolak reklamasi juga marak terjadi tiap kali mantan presiden SBY ke Bali. Hal ini pernah dilaporkan sejumlah kelompok warga yang membiayai sendiri baliho-baliho ini ke Komnas HAM.

Baliho yang dirobohkan tentar, berisi sambutan kedatangan Presiden jokowi di Bali sekaligus meminta untuk pencabutan Perpres tentang reklamasi Teluk Benoa Bali. Foto : ForBALI
Baliho yang dirobohkan tentar, berisi sambutan kedatangan Presiden jokowi di Bali sekaligus meminta untuk pencabutan Perpres tentang reklamasi Teluk Benoa Bali. Foto : ForBALI

Eskalasi makin memuncak karena aksi-aksi penolakan kini makin masif dan dikoordinir desa adat. Jika di tahun-tahun awal gerakan penolakan massa dimobilisasi para musisi atau anak band, maka kini pimpinan desa adat mulai menggerakkan karena mereka dianggap berada di pihak rakyat.

Pita hitam

Meninggalnya pendeta Ida Pedanda Gede Made Gunung yang konsisten menolak reklamasi karena sakit, meningkatkan eskalasi suara penolakan karena di dalam organisasi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali ada friksi tentang kesepakatan Teluk Benoa sebagai kawasan suci.

Sejumlah pengurus dan tokoh agama dalam organisasi payung umat Hindu ini menyatakan pro rencana reklamasi. Misalnya I Ketut Wiana, Ketua harian PHDI pusat dengan alasan reklamasi akan membersihkan kawasan teluk yang saat ini menurutnya kotor.

Secara kasat mata kawasan ini sudah termasuk kawasan suci, dibuktikan dengan sekitar 70 titik suci seperti pura di area Teluk Benoa. Bahkan Bhisama Kesucian Pura menyatakan lebih global bahwa kawasan suci adalah gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai), pantai, laut diyakini memiliki nilai kesucian. Oleh karena itu, di sekitarnya ada tempat suci untuk mendapatkan wahyu.

Putusan PHDI pada 1994 ini dianggap konsepsi pelestarian sumber air dan pesisir, serta menjadi landasan peraturan tata ruang daerah. Namun, pro-kontra terjadi karena ada dua pihak berbeda kepentingan di PHDI. Sampai dibuat tim khusus, Tim 9 untuk mengkaji hal ini.

Sampai akhirnya pada 9 April lalu, PHDI mengeluarkan putusan Pesamuhan Sabha Pandita PHDI tentang Kawasan Suci Teluk Benoa. Landasannya Bhisama 1994 itu dan hasil riset dan pemetaan tim Planologi mahasiswa UNHI Denapsar dan ForBALI yang membuat peta 70 titik suci di sekitar Teluk Benoa.

Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir
Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir

Secara teknis, pelestarian kawasan suci juga dijabarkan dalam Perda Provinsi Bali No 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang memberi panduan sampai 2029. Kawasan perlindungan ini luasnya hampir 3% dari Pulau Bali atau 1.113 hektar.

Dalam putusan ini dipaparkan Teluk Benoa dalam jejak sejarah sebagai kawasan maritim Kerajaan Bali Kuno. Salah satu kawasan teluk adalah Pulau Serangan yang pada 1990an direklamasi menjadi empat kali lipat lebih besar oleh investor keluarga Cendana saat era orde baru. Dan kini mangkrak setelah penimbunan laut yang merusak ekosistem hingga sekarang.

Pulau Serangan disebut pelabuhan kuno yang ramai di masa lalu (sekitar 700-1000an masehi) dengan bentang alam yang indah. Ada sejumlah lontar atau artifak tentang penataan Serangan oleh Sri Kesari Warmadewa, pendiri dinasti Warmadewa yang berkuasa di awal masa sejarah di Bali.

Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi tercantum dalam Perpres 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Kemudian diubah peruntukannya sebagai kawasan pemanfaatan terbatas oleh Susilo Bambang Yudhoyono melalui Perpres 51/2014. Namun Perpres ini tak mengubah ketentuan umum Perpres 45 perihal Kawasan Suci.

Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa, ketua Dharma Adhyaksa PHDI Pusat meminta tokoh dan umat Hindu bersatu menjaga kesucian Pulau Bali dengan menjaga tempat-tempat yang termasuk kawasan suci. “Agar dapat dimanfaatkan dan diolah untuk kesejahteraan rakyat,” katanya. Misalnya nelayan pencari ikan.

Butir rekomendasi lain putusan ini adalah tokoh Hindu diminta terus bersikap kritis memberikan sumbangsih sikap dan pemikiran dengan dialektika berdasar petunjuk kitab suci (sastravadin), kebijaksanaan intelektual (buddhivadin), dan kasih sayang (premavadin). Selain itu agar tidak terprovokasi dan bijak menyerap informasi agar tak terjadi gesekan vertikal dan horizontal.

Ada 9 butir rekomendasi yang ditandatangani 9 pandita atau pimpinan agama dalam putusan ini. Pimpinan agama, pimpinan desa, dan masyarakat adat sudah berseru melakukan penolakan pengurugan teluk sekitar 7000 dari 1300-an hektar ini, tapi ternyata belum cukup. Presiden Joko Widodo belum menunjukkan keberpihakannya pada perairan zona konservasi yang rencananya diurug menjadi kawasan resor wisata ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,