Siang itu, matahari terik. Warga dan petani mulai mendekat ke panggung kehormatan di atas tanah tegalan. Ibu-ibu tampak menggendong balita, sambil membawa payung melindungi dari dari sengatan matahari.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, ditunggu ribuan orang dalam ritual Among Tebal, atau selamatan memasuki tanam tembakau, di Desa Mranggen Kidul, Kecamatan Bansari, Temanggung.
Didahului arak-arakan tumpeng dan gunungan hasil bumi, sejurus Gubernur dan rombongan pejabat datang. Tiba di lokasi, Ganjar langsung menanam bibit tembakau, diikuti pejabat lain. Selesai itu, Ganjar bergeser ke panggung. Dia terlihat bertanya kepada Bupati Temanggung, Bambang Sukarno, yang duduk di sebelah kirinya. Tangan menunjuk gunung, arah depan panggung sebelah kanan. “Itu Sumbing, atau Sindoro?” tanya Ganjar. “Gunung Sumbing. Kalau Sindoro di belakang kita ini,” kata Bambang, Selasa (3/5/16).
Lereng Sumbing, Sindoro, dan Prau adalah sentra penghasil tembakau terbaik di Jateng. Pabrikan menguasai pasar rokok Indonesia seperti Gudang Garam dan Jarum memiliki gudang besar di sini. Sebagian besar hasil pertanian tembakau Temanggung diserap dua merek ini. Jika panen raya tiba, deretan truk pengangkut tembakau antre mengular di depan gudang.
Ganjar menyampaikan pesan kepada sekitar 4.000 petani tembakau yang hadir untuk menjaga kelestarian lingkungan, di kalimat-kalimat awal sambutannya.
“Menanamlah dengan cara baik, dirawat tanaman, juga hutan,” katanya dengan bahasa Jawa, tanpa tedeng aling-aling. “Kalau kalian tak merawat hutan, tak mau merawat mata air, saya tidak mau jadi senopati. Jadi hansip saja,” katanya seraya bergurau. Gubernur Jateng ini oleh kalangan petani dijuluki senopati tembakau karena kepedulian terhadap nasib petani tembakau.
Memasuki hutan lindung
Kepala Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Temanggung Perum Perhutani KPH Kedu Utara Yudi Noviar setuju pernyataan Ganjar. Terlebih hingga musim tanam tahun lalu masih dijumpai warga menanam tembakau di hutan lindung. Padahal, tindakan ini merusak alam dan menyalahi aturan.
“Di hutan lindung tak boleh ada pengolahan tanah intensif. Warga bisa menanam tetapi dengan jenis-jenis tanaman yang ada unsur konservasi,” katanya.
Tembakau dianggap bukan tanaman konservasi karena akar pendek. Usia tiga bulan daun sudah bisa panen. Usai panen batang, tanaman dicabut. Selama pertumbuhan, tembakau harus terus mendapat sinar matahari. Itulah mengapa di sekitar lahan tembakau tak ada pohon tegakan atau naungan. Kalaupun ada, petani biasa memangkas dahan dan ranting, atau memotong. Kondisi ini menyebabkan lereng Sumbing dan Sindoro terlihat gersang. Luas lahan kritis cenderung meningkat tiap tahun.
Untuk Sumbing, Sindoro, Perhutani menyarankan petani menanam kopi dan terong Belanda. Kopi bisa panen setelah tiga hingga empat tahun, terong Belanda delapan bulan.
“Cuma mereka beralasan, mau makan apa kalau itu belum panen? Akhirnya nekat menanam seperti tembakau.”
Untuk mencegah itu, BKPH Temanggung melakukan berbagai sosialisasi disertai surat pernyataan, tindakan represif dilakukan seperti pencabutan dan penangkapan yang menanam tembakau.
Yudi membeberkan data. Luas hutan di bawah pengelolaan BKPH Temanggung ada 5.430,46 hektar. Sebanyak 278,35 hektar tanaman semusim yakni tembakau. “Ini sebenarnya ilegal. Kami sudah berkali-kali sosialisasi, sampai represi berupa pencabutan dan penangkapan. Warga masih seperti itu.”
Tahun lalu, Perhutani Temanggung mencabut paksa tembakau di hutan lindung seluas 15 hektar. Antara lain di Desa Katekan, Giripurno, dan Canggal. Luas hutan lindung yang bisa dibebaskan dari tanaman semusim 170 hektar.
Mengajak petani berubah
Warga Lereng Gunung Sumbing, Sindoro, hingga kini belum bisa lepas dari tembakau. Data 2010-2014, luas lahan ditanami tembakau berkisar 12.000-15.000 hektar. Sebenarnya, sudah ada upaya pemerintah memberikan bibit kopi arabika untuk tanam di lereng gunung sejak 15 tahun lalu agar bertahap ada perubahan pola tanam.
Danang Purwanto, Kepala Bidang Statistik dan Litbang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Temanggung, menjelaskan, masyarakat pertembakauan mencapai 51.958 jiwa. Petani memiliki kopi arabika baru 8.559 orang. Dibanding mereka masih bergantung tembakau, jumlah kecil, hanya 15%. “Masyarakat tembakau masih sulit berubah menanam komoditas lain,” katanya.
Penikmat besar uang tembakau itu pedagang
Masalah lain, idealnya petani tembakau bisa langsung menjual ke pabrik. Tujuannya, agar petani paling banyak menikmati harga tembakau pada musim panen. Tahun lalu per kg bisa mencapai Rp250.000.
Data Bappeda menunjukkan, harga daun tembakau basah petani hanya Rp5.000 per kilogram. Industri rajangan tembakau Rp40.000, pengepul Rp50.000. Rantai niaga bertambah karena ada Gabungan Kelompok Tani. Gapoktan bermitra dengan perwakilan pabrikan, sebelum komoditas ini berakhir di tangan grader pabrikan untuk dinilai kualitas dan harga.
Memutus rantai niaga tembakau agar lebih pendek sampai sekarang belum bisa dilakukan– untuk tak mengatakan mustahil. Sebab, petani cenderung tak mau rebut masalah naik turun harga, transportasi, dan proses jual beli di gudang pabrik yang memakan waktu.
“Petani lebih suka ngopeni (merawat) ladang. Saat menjual hasil panen lebih suka menjual daun,” kata Dwi Obaja, pedagang tembakau yang sudah 10 tahun menekuni bisnis ini. Selain memasok tembakau untuk pabrik, dia kerap bermitra dengan petani. Obaja memberi bantuan modal tanam dan pengolahan kepada belasan petani saat musim tanam tembakau.
Menurut dia, hanya petani yang berpikiran maju dan punya modal besar mengolah daun tembakau jadi rajangan kering, masuk dalam keranjang lalu siap dijual ke pabrik.
“Menanam tembakau risiko tinggi terutama faktor alam. Kalau masih hujan saat menanam, bibit bisa busuk, harus ganti baru,” katanya. “Pabrik juga minta kemloko, jenis ini perawatan sulit. Akhirnya petani memilih jenis lain yang mudah tumbuh dan perawatan gampang.”
Dia membenarkan masih banyak petani memakai tanah Perhutani. Umumnya mereka petani yang tak punya tanah sendiri. Untuk itu, kerap terjadi kebakaran hutan di Lereng Sumbing dan Sindoro.
“Setelah dibakar, didiamkan satu hingga dua tahun. Setelah itu ditanami tembakau,” katanya.
Efek ganda ekonomi
Memutus ketergantungan tembakau masih sulit. Terlebih banyak orang menggantungkan penghasilan dari komoditas ini, seperti pembuat rigen, yaitu alat dari bambu dianyam sebagai tempat tembakau rajangan dikeringkan.
Dusun Letih, Desa Mergowati, Kecamatan Kedu, sudah lama dikenal sebagai sentra pembuatan rigen.
Riswanto, warga Mergowati mengatakan, di tangan perajin satu rigen Rp30.000, ukuran 95cm x 2,25m, lebih kecil 80cm x 2m Rp25.000. Bahan bambu ukuran 12 meter, bisa menghasilkan dua rigen, dengan lama pengerjaan dua hari. Orang yang terlibat dua sampai tiga orang.
“Kalau pas panen raya harga bisa Rp40.000.”
Meski bukan musim tembakau, Desa Mergowati selalu membuat rigen. Warga membuat untuk disimpan, dijual pada musim tembakau. “Biasanya sambilan, terutama pas masa sepi tandur,” katanya.
Samudi, warga Mergowati mengatakan, dalam tiga bulan mampu membuat 50 rigen. Dia kerjakan tiap hari.
Ada juga warga mendapat tambahan penghasilan dari membuat keranjang tembakau. Satu keranjang tembakau kering 60 kg bisa Rp180.000. Keranjang tembakau dari anyaman bambu dilapisi gedebog atau pelepah batang pisang yang dikeringkan. Gedebog rata-rata Rp800 per lembar. Satu keranjang membutuhkan 90 lembar. Di banyak tempat gedebog pisang dibuang.
Dari data Bappeda lima tahun terakhir, tembakau masih andalan sektor pertanian Temanggung meski berpotensi mengancam konservasi lahan. Tembakau dianggap mendorong sektor barang dan jasa tumbuh. Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) pada 2016, berkontribusi Rp32,02 miliar. Pendapatan asli daerah (PAD) tahun yang sama “hanya” dipatok Rp205,658 miliar.