ForBALI Menuntut Presiden Jokowi Batalkan Perpres Teluk Benoa

“Sebelum Perpres dicabut, pantang mundur. Sing batal sing suud (jika tak dibatalkan, tak akan berhenti aksi),” demikian yel-yel yang terus bergema dalam aksi puluhan ribu massa di Sanur, Denpasar, Bali, pada Minggu (18/07/2016),

Yel-yel Sing Batal Sing Suud ini bahkan sudah disablon di kaos-kaos, terekam dalam berbagai karya seperti spanduk, baliho, poster, dan meme di media sosial. Kalimat itu juga menguatkan, apa pun dokumen yang dibuat pejabat seperti surat izin lokasi pada investor, Amdal, dan lainnya tak akan menyurutkan gerakan massa. Tujuannya satu, rencana reklamasi ini dibatalkan secara permanen. Karena itu, tuntutan sepenuhnya ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Aksi ini memperlihatkan kolaborasi makin solid antara desa pekraman (adat), anak muda, seniman, musisi, dan lainnya. Para pengaman tradisional seperti pecalang mendominasi keamanan sehingga polisi tak banyak terlihat. Pecalang bahkan yang menjaga perempatan utama, salah satu tersibuk yang menjadi pusat aksi dan orasi deklarasi 3 desa di Sanur yakni desa adat Sanur, Intaran, dan Penyaringan.

Para pecalang menjaga beberapa persimpangan menuju jalur aksi dan mengarahkan pengendara ke jalan lain agar tak terjebak kemacetan. Sekitar 1 km jalanan raya Bypass Ngurah Rai Sanur penuh massa, dengan pakaian adat seperti kain, selendang, dan udeng untuk laki-laki.

Belum ada data resmi, apa langkah politis atau hukum yang akan diambil istana negara. Apakah akan merevisi Perpres yang dibuat SBY yang mengubah zona konservasi menjadi zona pemanfaatan di Teluk Benoa atau membuat Perpres baru. Atau terus membiarkan gelombang aksi massa terus membesar.

Dalam long march menuju pusat sakral Catus Pata Desa Adat Sanur, massa membentangkan lelancing dan kain putih, merah, hitam (tridatu) sepanjang 70 meter. Dua kain sepanjang 70 meter tersebut merupakan lambang luas wilayah yang akan direklamasi pihak PT TWBI dengan luas 700 hektar.

Perempatan utama atau Catus Pata Desa Sanur ini steril kendaraan hampir lebih dari 30 menit. Bayangkan berapa kilometer kemacetan yang terjadi dari dua arah jalan dari yang menghubungkan Selatan dan Timur Bali ini.

Massa aksi menyumbangkan uang untuk dilarung sebagai simbol "membeli" area Teluk Benoa, Bali, yang mau direklamasi investor. Foto : Anton Muhajir
Massa aksi menyumbangkan uang untuk dilarung sebagai simbol “membeli” area Teluk Benoa, Bali, yang mau direklamasi investor. Foto : Anton Muhajir

Satu demi satu pimpinan adat 3 desa berorasi. Dipimpin Wayan Swarsa, Bendesa Adat Kuta yang jadi ketua Pasubayan (persatuan) 38 desa adat yang sudah secara resmi nyatakan penolakannya.

“Sanur adalah desa kebangkitan adat bali, kami sudah ke Jakarta dan pemerintah menjamin tidak penodaan tanah Bali,” kata Swarsa melaporkan hasil kunjungan ke kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kantor Staf Presiden, awal pekan lalu.

Ia meyakinkan massa bahwa ruang dan waktu masih berpihak pada warga. “Kemenangan pasti ada. Jangan sampai melakukan kekerasan,” ingatnya.

Anak Agung Kompiang Raka, Bendesa Adat Desa Intaran menyatakan Teluk Benoa adalah kawasan konservasi dan kawasan suci dan tidak ada yang boleh mengutak-atik kawasan tersebut.

Sementara Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) I Wayan Suardana aka Gendo menyatakan sudah tak percaya dengan Menteri Susi Pudjiastuti yang tak kunjung beri jawaban atas permintaan izin lokasi dari PT TWBI. Walau salah satu Dirjen yang menemui ForBALI di Jakarta akan mengkaji sampai batas waktu 25 Agustus.

Namun Gendo menyimpulkan sampai 14 hari surat permohonan perpanjangan izin lokasi tak dijawab, Susi sudah memberi sinyal menyetujui izin lokasi sampai dua tahun ke depan.

“Kami tidak percaya Susi berpihak pada rakyat Bali. Membiarkan surat tak dijawab sampai 14 Juli. Saya kira dia menteri berani. Kalau izin lokasi diperpanjang tak menyurutkan perlawanan. Harapan satu-satunya  presiden Jokowi. Pertemuan dengan Teten Masduki mengatakan presiden mengkaji serius. Apapun pahit getirnya harus dihadapi,” Gendo membakar massa.

Ia mengingatkan lagi jika pemerintah membiarkan kondisi seperti akan berisiko rakyat melakukan langkahnya sendiri.

Pemimpin desa adat melarung sesajen dan uang hasil sumbangan ke laut dalam aksi menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali. Foto : Anton Muhajir
Pemimpin desa adat melarung sesajen dan uang hasil sumbangan ke laut dalam aksi menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali. Foto : Anton Muhajir

Sampai kini, suara-suara protes rencana reklamasi ini masih dilakukan dalam aksi damai longmarch, budaya, dan ritual. Misalnya dengan persembahyangan di Teluk Benoa, memasang bendera raksasa, dan lainnya.

Demikian juga dalam aksi kali ini. Tiga desa adat melarung uang dalam bentuk koin dan kertas hasil sumbangan ke laut sebagai simbol reklaim, berupaya “membeli” laut yang akan dibeli investor.

Para musisi juga konsisten bersuara melalui lirik lagu. Empat band bermassa besar, Superman Is Dead (SID), Navicula, Johny Agung and Double T, dan Suicidal Sinatra berhasil menahan massa yang sudah lelah longmarch dan orasi di pantai Sanur sampai petang.

Wisatawan asing yang lalu lalang terlihat ikut menikmati dengan melambaikan tangan ke massa atau merekam dengan ponselnya. Alunan gamelan tradisional berkolaborasi dengan musik rock, reggae, dan metal.

Menari-menari, ikuti nuranimu,” didendangkan Johny Agung, vokalis band reggae berpengaruh ini yang membuka panggung bersuara ini. Massa mengacungkan bendera, poster, dan lainnya. Pantai Segara, Sanur sesak. Sebuah patung nelayan menatap lautan dengan khidmat menyimbolkan laut sebagai area publik dan sumber rejeki.

Suicidal Sinatra melanjutkan dengan salah satu lagu kebangsaan. Kemudian melanjutkan dengan lagu bernada nasionalisme. “Berkibar bendera di tanah airku untuk semua, di antara bintang-bintang angkasa. Beribu budaya hidup di tanah surga.”

Kemudian Robi, vokalis Navicula yang cakap berargumentasi mengingatkan kebanggaan jika terlibat. “Momen berharga ini tak hanya untuk sekarang tapi generasi mendatang. Ini suara mayoritas, suara berbagai elemen seperti musisi, akademisi, politisi, kolaborasi yang membuatnya kesatuan,” serunya.

Band Navicula mendendangkan lagu lingkungan dalam aksi menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali di pesisir Sanur. Foto : Luh De Suriyani
Band Navicula mendendangkan lagu lingkungan dalam aksi menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali di pesisir Sanur. Foto : Luh De Suriyani

Lagu pertama Busur Hujan membuat suasana pantai berangin ini syahdu dan memandu. “Warna warni kita menjadi satu. Busur hujan di cakrawala, kau rayu hatiku menuju ke sana…”

Kemudian lagu baru yang mengapresiasi Nyepi, peringatan tahun baru Saka di Bali yang membuat Bali berhenti dari pikuk setahun sekali.  Robi juga mengatakan reklamasi di Bali Selatan tak sesuai kebijakan moratorium.

Pemerintah Provinsi Bali membuat kebijakan penghentian sementara (moratorium) penerbitan izin dan pembangunan akomodasi untuk hotel berbintang dan hotel melati di kawasan Bali Selatan meliputi Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Gianyar. Melalui surat nomor 570/1665/BPM tertanggal 27 Desember 2010 yang ditandatangani oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika ditujukan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dengan alasan overload kamar karena sekitar 90 ribu dari 130 ribu kamar numplek di Bali Selatan.

“Moratorium karena sudah overload untuk menampung manusia secara sehat, kenapa ada izin reklamasi perluasan 800 hektar?” teriak Robi.

Lagu tentang Bali berani berhenti ini mengalun. “Ini cinta dalam diam. Bila cinta perlu berkorban oh cinta untuk semua dan masa depannya. Beri aku waktu sesaat basuh jiwa agar suci lagi, meski hanya sehari. saat dia datang kurasa tenang, meski gelap malam. Saat semua smakin cepat Bali berani berhenti dan menyepi…”

“Ini sejarah agar Bali tak menjadi metropulutan atau metropletan,” Robi terkekeh.

SID mendorong semangat bergerak dengan sejumlah lagunya yang diikuti koor. Misal Jangan Menyerah,  Sunset di Tanah Anarki, dan Jadilah Legenda.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,