Siti Maimunah, Akademisi yang Berjuang untuk Terwujudnya Hutan Adat Ulin Mungkubaru

Pohon ulin (Eusideroxylon zwageri), kayu asli Kalimantan semakin hari semakin sulit dijumpai. Baik karena faktor alihfungsi lahan maupun pembalakan yang terjadi secara masif. Namun siapa sangka di batas Kota Palangkaraya dan Kabupaten Gunung Mas, Kalteng masih terdapat kawasan hutan adat yang menyimpan banyak pohon ulin.

Ulin yang lestari masih dapat dijumpai di kawasan Mungkubaru, di area seluas sekitar 400 hektar yang termasuk dalam zona High Conservation Value Forest (HCVF) HTI PT Taiyoung Engreen. Saat ini, baik masyarakat setempat maupun pihak perusahaan berkomitmen untuk menjaga kawasan hutan ulin.

Kesadaran masyarakat Mungkubaru tak lepas dari peran seorang akademisi bernama Siti Maimunah, Dekan Fakultas Kehutanan dan Pertanian Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, yang bertahun-tahun setia mendampingi warga Mungkubaru. Siti pula lah yang mendorong agar hutan ulin Mungkubaru dapat diakui sebagai hutan adat dan dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat.

Perempuan kelahiran Wonosobo, 31 Januari 1976 menyebutkan bahwa keterlibatannya dengan hutan adat Mungkubaru terjadi secara kebetulan. Hutan ulin Mungkubaru lokasinya terletak di dekat hutan pendidikan yang dikelola oleh kampus tempat ia mengabdikan diri.

“Mulai awalnya survey keanekaragaman hayati kawasan hutan pendidikan. Saat itu saya sampaikan pada tokoh masyarakat bahwa mereka punya hutan adat namun legal statusnya belum jelas,“ ujar Siti Maimunah kala dihubungi Mongabay awal Juli ini.

Menurut Siti, sebelumnya masyarakat mudah diperdayakan dan diiming-imingi oleh pihak yang berharap mendapat keuntungan dari hutan tersebut.

“Sebelum kami masuk, ada LSM yang mulai menggerakkan masyarakat, namun belum jelas arahnya. Padahal hakekat hutan adat seharusnya dikelola oleh masyarakat adat sekitar, bukan LSM. Kita coba kembalikan hak kelola ke masyarakat yang sesungguhnya, untuk dilestarikan. Bukan untuk dirusak,” paparnya.

Saat itu, kekuatiran Siti adalah modus penguasaan kawasan tersembunyi lewat mobilisasi penggerakan masyarakat. Fenomena yang sering terjadi di beberapa tempat di Kalteng, termasuk Palangkaraya. Ujung-ujungnya kawasan tersebut jadi milik pribadi.

Siti sedang melakukan diskusi bersama masyarakat di sekitar hutan ulin Mungkubaru. Dok pribadi Siti Maimunah
Bersama tokoh masyarakat di sekitar hutan ulin Mungkubaru untuk menggali sejarah pengelolaan lahan hutan. Dok pribadi Siti Maimunah

Sementara dia berharap agar masyarakat Mungkubaru lah nanti yang dapat mengelola hutan ulin tanpa mengubah bentang alamnya. Untuk itu, Siti mencoba menyadarkan masyarakat lewat rangkaian diskusi agar masyarakat mau menjaga hutan ulin. Siti sendiri mulai mendampingi warga Mungkubaru sejak tahun 2012.

“Kawasan adat bakal terancam punah jika hutan tidak diperhatikan secara benar. [Awalnya] masyarakat menganggap bahwa hutan ulin milik mereka dan sesuka mereka untuk mengelolanya. Bagi sebagian warga, mereka bukan melihat ulin untuk tetap lestari tapi untuk pengadaan lahan semata,” tutur Siti.

Namun upaya yang dilakukan oleh Siti tak selamanya berjalan dengan mulus. Termasuk penggunaan isu perbedaan keyakinan yang dianut oleh Siti oleh oknum tertentu dalam rangka untuk menghasut warga setempat. Bahkan saat keberhasilan pengurusan izin sudah mulai tampak, ada saja upaya untuk menyingkirkan Siti dan teman-temannya.

“Banyak hasutan yang menganggap kami ini seperti Gafatar atau aliran sesat. Namun hal itu tidak berdasar. Karena saya banyak mengarahkan masyarakat untuk bertani dan mandiri. Sementara masyarakat sendiri kurang info,” ujarnya. Kendala lapangan yang ada malah semakin membulatkan tekad Siti untuk membantu masyarakat.

“Saya berusaha meyakinkan masyarakat bahwa kami di Universitas Muhammadiyah Palangkaraya merupakan lembaga resmi dan selalu mendampingi masyarakat tanpa pandang agama untuk maju. Tapi atas kesamaan niat untuk melestarikan ulin dan tradisi yang hampir punah,” jelas Siti.

Beberapa waktu yang lalu, ia mencoba memfasilitasi pertemuan antara warga, PT Taiyoung dan Dinas Kehutanan Kalteng. Hasil pertemuan itu cukup menggembirakan. Sebab semua pihak sepakat untuk menjaga hutan ulin Mungkubaru. Respon pemerintah pun cukup baik, dari Bupati hingga kepala desa.

“Saya jalan terus untuk bisa membuat masyarakat percaya akan tujuan saya. Beberapa tokoh masyarakat mendukung saya termasuk kepala desa. Saya janji untuk membantu mereka dapatkan legal status dan saya yang akan menjadi penghubung dengan pihak PT Taiyoung,” ujarnya.

Pada tahun 2014, Siti bersama Tim MSF yg dipimpin Dr Herrie Saksono aktif melobi Bupati Gunung Mas untuk bisa menerima masyarakat adat Mungkubaru sebagai pengelola hutan ulin. Sebab, meskipun Mungkubaru berada dalam kawasan administratif Kota Palangkaraya, hutannya sendiri masuk kawasan administratif Kabupaten Gunung Mas.

Hasilnya menggembirakan. Bupati Gunung Mas kala itu mendukung pelestarian hutan ulin Mungkubaru dan tak mempermasalahkan soal wilayah administratif. Pemda pun percaya dengan usulan Siti dan teman-temannya.

Satu hal yang diingat oleh Siti, ketika dia ditanya oleh Siun Jarias, Setda Provinsi Kalteng, mengapa dia mau berjuang untuk hutan adat Mungkubaru, padahal dia bukan orang setempat. “Saat itu pak Setda tanya pada saya, Maaf apa ibu orang Dayak? Saya jawab, saya orang Indonesia. Saat itu Pak Setda tersenyum. Saya peduli karena saya orang Indonesia.”

Siti Maimunah (tengah), bersama para pakar kehutanan dari UGM. Dok pribadi Siti Maimunah
Siti (tengah), bersama para pakar kehutanan dari UGM. Dok pribadi Siti Maimunah

Memang perjuangan Siti belum usai. Status hutan adat ulin kini masih belum diakui oleh Pemerintah. Masih banyak hal yang harus ia dan rekan-rekannya lakukan demi memperjuangkan hak masyarakat adat Mungkubaru dalam mengelola hutan ulin mereka.

“Kesepakatan antar pihak yang difasilitasi oleh Dishut Provinsi Kalteng lalu diusulkan ke Gubernur Kalteng. Untuk kemudian diberi rekomendasi dan diusulkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di KLHK saya bisa melobi ke bagian yang membidangi ini karena saya punya jalur dan teman yang kompeten yang juga tertarik dengan hutan adat ini,” jelas Siti.

Siti menamatkan pendidikan S1 Kehutanan di Institut Pertanian Stiper Yogyakarta pada tahun 1999. Sementara pendidikan S2 Ilmu Kehutanan ia selesaikan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 2005.

Pada tahun 2014, Siti mendapatkan penghargaan Green Award dari USAID IFACS atas perannya membangun Hutan Pendidikan Rakumpit yang luasnya mencapai lima ribu hektar. Kini hutan pendidikan tersebut, selain sebagai kawasan penelitian, juga dijadikan tujuan ekowisata.

Selain itu, Siti juga pernah mendapatkan penghargaan dari PT Hutan Amanah Lestari atas keberhasilan riset ujicoba Aerial Seeding di Hutan Kota Palangkaraya. Pada tahun 2016, ia lolos seleksi ICCTF Project sebagai Direktur Proyek untuk bidang mitigasi lingkungan untuk pengelolaan hutan lahan gambut di Kalteng.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,