Perusahaan sawit banyak bercokol di Merauke, Papua, terlebih sejak ada Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dimulai era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menyadari berbagai dampak bisa timbul dari masalah lingkungan sampai konflik sosial dari bisnis ini, Bupati Merauke Frederikus Gebze, akan membatasi investasi sawit di daerah itu.
Dia mengatakan, pembukaan lahan sawit memicu pelepasan karbon. Hutan Papua, katanya, perlu diselamatkan dan perlu peran semua pihak termasuk pemilik hutan. Apalagi, katanya, proyek nasional rentan menyebabkan penebangan hutan.
Gebze mengatakan, sejak dulu, orang Marind tak lepas dari hutan, budaya, dan adat. ‘’Sejak leluhur alam dan lingkungan telah membentuk manusia Marind mengenal lumbung pangan masyarakat adat setempat,” katanya, saat menerima kujungan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guérend, Juni lalu.
Diapun bertekad mencanangkan pembangunan daerah berkelanjutan, misal, dalam membangun infrastruktur dasar dengan perhitungan rendah emisi.
Orang Papua, katanya, rajin menjaga alam. Demi tujuan serupa, diapun akan membatasi investasi sawit di Merauke. Bahkan, meminta perusahaan mengembangkan kebun sawit rendah emisi.
“Semua harus sepakat membatasi investor sawit. Pembukaan hutan besar-besaran untuk sawit harus memperhitungkan tanah ulayat, tempat keramat.”
Konsorsium World Agroforestry Center (INCRAF) dan dan ParCimon ada proyek pembangunan rendah emisi empat tahun di Merauke. Dubes UE datang terkait urusan ini. Gebze berharap, proyek ini tetap berlanjut.
Adapun beberapa perusahaan sudah beroperasi di Merauke, antara lain Korindo Group (PT Dongin Prabhawa, PT. Berkat Cipta Abadi, PT. Papua Agro Lestari); PT. Agripima Cipta Abadi, PT Bio Inti Agrindo, PT. Agri Prima Persada Mulia, masuk grup Daewoo Internasional Coorpartion. Ada juga Ganda Group.
Harus jelas
Anselmus Amo, Direktur Sekretriat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, mengapresiasi pendapat bupati. “Beliau memberikan perhatian khusus kepada suku Marind, pemilik adat. Kebijakan membatasi pembukaan lahan sawit Merauke sangat wajar,” katanya.
Perusahaan sawit di Merauke, ada mengantongi izin dan belum dapat izin maupun yang sudah beroperasi. “Bupati Merauke mau membatasi perusahan sawit yang mana? Apakah yang ada sekarang, mau diberitahu pengurangan lahan, misal, izin 30.000 an jadi 10.000-an hektar. Yang terlanjur di bibir kali, hutan konservasi, dikurangi. Inilah yang harus jelas dalam surat keputusan bupati,” katanya.
Dia menyarankan, dalam menjalankan pembatasan sawit, bupati mesti menkaji dan mengevaluasi perizinan dari awal. “Kalau proses salah, melanggar aturan, perusahaan harus kena sanksi tegas. Bukan hanya sawit, semua izin. Apkah mereka telah berbicara baik dengan pemilik hutan? Atau mereka culik orang kampung bawa ke Jakarta dan menandatangani surat pelepasan hutan?”
Kunjungan Duta Besar Uni Eropa, katanya, penting sebagai bentuk perhatian karena hutan Papua paru-paru dunia. Namun, terpenting bagi Orang Papua, hutan ini sebagai tanah, dan budaya. Hutan merupakan tempat hidup Orang Papua. “Mereka tergantung lingkungan hidup, punya ikatan erat antara utan, budaya, dan manusia Papua.”
PT Korindo Group, salah satu perusahaan yang memiliki banyak usaha sawit di Papua, termasuk Merauke. Johanes Rettob, Humas Korindo Group mengatakan, tak ingin bersinggungan dengan Pemda Merauke. Pembatasan lahan kebun sawit oleh Bupati Merauke sejalan dengan rencana moratorium oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam menjalankan bisnis, katanya, perusahaan sudah berusaha keras memenuhi beragam peraturan, tetapi belum tentu lancar, salah satu terhambat masalah ulayat. “Secara administrasi belum jelas aturan dari pemerintah. Soal pembayaran ulayat misal ganti rugi, pinjam pakai dalam bentuk apapun.” Dia berharap, ada aturan jelas dari pemerintah.