Ketuk Nurani Hakim soal Tambang Kendeng, Para Akademisi Kirim ‘Surat Cinta’ ke Mahkamah Agung

Puluhan akademisi dan lembaga riset mengajukan pendapat hukum atau sahabat peradilan (amicus curiae) atas peninjauan kembali Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang dan putusan PTUN Surabaya. Kedua pengadilan ini menyidangkan gugatan masyarakat atas izin lingkungan PT. Semen Indonesia. Amicus curiae telah diserahkan ke Mahkamah Agung pada Rabu (24/8/16).

Herlambang P. Wiratraman, pakar dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga mewakili pengaju amicus curiae, kepada Mongabay,  mengatakan, nurani mereka terusik karena ada pembangunan pabrik semen di Rembang dan pertambangan lain di berbagai wilayah.

Keadaan ini, katanya, bakal menghilangkan sebagian mata pencaharian petani. Apabila warga tak bisa bertani, pengangguran di Indonesia akan bertambah. Padahal,  negara belum bisa membuat atau memberikan lapangan kerja bagi rakyat.

“Saat negara belum mampu memberikan lapangan pekerjaan kepada rakyat, justru merugikan dengan merampas mata pencaharian mereka,” katanya Sabtu, akhir Agustus lalu.

Melalui amicus curiae ini, katanya, memberikan pertimbangan hakim dalam menangani perkara. Ini diajukan oleh lembaga dan individu yang menaruh perhatian terhadap masalah lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia.

Amicus ini untuk majelis hakim yang akan memeriksa gugatan warga Rembang terhadap izin lingkungan pendirian pabrik semen dan pertambangan batukapur di Pegunungan Kendeng.

Dalam masukan pendapat itu, ada sembilan pemikiran mendasar agar dipahami hakim. Pertama, pengadilan harus mempertimbangkan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), mengingat gugatan warga Rembang muncul berawal dari ketidaktaatan Pemerintah Rembang terhadap UU itu.

Kedua, ada salah tafsir daluwarsa. Ketiga, terjadi kekeliruan dalam putusan majelis hakim. Keempat, tambang sama sekali tak berpihak perlindungan nasib petani. Kelima, pengabaian perlindungan atas kearifan lokal masyarakat setempat.

Kelima, tambang berdampak pada pemanasan global. Ketujuh, ada pelanggaran hukum tata ruang dan Amdal tak valid.

Kedelapan, terjadi kebobrokan amdal PT. Semen Indonesia.

“Perlu hakim mempertimbangkan dampak sosial budaya dari pembangunan pabrik Semen di Rembang,” katanya.

Dalam dokumen amicus curiae, disebutkan, rencana pembangunan pabrik Semen di Rembang terkait hajat orang banyak. Dengan “penggusuran” lahan warga dan eksploitasi alam yang berdampak pada kerusakan lingkungan.

Pemerintah Rembang, katanya, seharusnya membuka segala informasi terkait pembangunan dan perencanaan kepada masyarakat luas. Terutama, mereka yang tinggal di daerah proyek, di Pegunungan Kendeng. Kenyataan, masyarakat Kendeng merasa tak diikutsertakan.

“Ini kesalahan fatal oleh Pemerintah Rembang. Seharusnya informasi diberikan (bukan hanya dibuka) sejak awal, sebelum pembangunan pabrik.”

Kesembilan, beberapa surat keputusan Bupati Rembang mengenai segala proses menyangkut pembangunan pabrik semen, ternyata tak diketahui warga masif. Meskipun Pemkab Rembang,  berdalih memberikan informasi kepada warga melalui beberapa sosialisasi kepada warga.

Aksi tutup mulut warga dan mahasiswa, berharap keadilan dan save Rembang. Foto: Tommy Apriando
Aksi tutup mulut warga dan mahasiswa, berharap keadilan. Foto: Tommy Apriando

Eko Cahyono Direktur Sajogyo Institute mengatakan, Pemkab Rembang terlalu ceroboh, karena bertemu dan berkomunikasi dengan warga ketika proyek sudah mau berjalan.

Dalam sosialisasi, terkesan ada pemaksaan kehendak oleh pemkab kepada warga. Seharusnya, masyarakat diberitahu dari awal mengenai perencanaan, rakyat menanggapi dengan kata setuju atau tidak disertai alasan. Hingga komunikasi dua arah bukan satu arah.

Untuk menciptakan musyawarah dua arah itu, katanya, masyarakat diberikan bahan-bahan sebelum sosialisasi. Hal ini sudah ada dalam UU KIP, terkait informasi-informasi wajib disediakan berkala seperti keputusan bupati.

Informasi berkala ini, katanya, wajib disampaikan kepada masyarakat dengan cara mudah terjangku dan dipahami.

Ketidaktaatan Pemkab Rembang terhadap asas-asas keterbukaan informasi publik terlihat ketika sosialisasi.

Sosialisasi dilakukan Pemkab hanya melalui website. “Tentu saja tak bisa jadi upaya sosialisasi baik, terlebih kondisi masyarakat terdampak belum sepenuhnya bisa mengakses website.”

Pemkab, katanya, tak bisa menjalankan fungsi sebagai badan publik yang memberikan informasi dengan baik, sesuai amanat UU KIP.

Eko mengatakan, warga Kendeng ingin terus bertani sekaligus ikut menjaga keseimbangan alam.

“Bertani itu tak bisa jauh dengan perairan. Mau tidak mau warga Kendeng harus pandai menjaga keseimbangan alam, supaya alam bisa memberikan cadangan berupa air.”

Pembangunan pabrik semen Kendeng, katanya,  akan mematikan sumber mata air  mereka.

Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan Semarang Caver Association (SCA) telah meneliti lapangan langsung guna memperoleh data valid, tak seperti tertuang dalam Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), banyak manipulasi.

JMPPK menemukan 49 goa tersebar di sekitar Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih dan empat goa yang memiliki sungai bawah tanah aktif. Terdapat 109 mata air tersebar di CAT Watuputih sebagai mata air parenial yang mengalir di sepanjang kemarau dan penghujan.

“Sumber mata air ini memberikan sumbangan besar terhadap keberlangsungan petani Kendeng.”

Selain itu, katanya, ada bukti nyata diperlihatkan alam kepada pemerintah. Pada 18 Juni 2016, banjir bandang di Tegaldowo, Rembang, salah satu desa terkena pembangunan pabrik semen.

“Memang daerah ini sudah beberapa kali banjir ketika hujan turun deras, tetapi banjir kali ini beda.  Banjir bawa lumpur dan kerikil hingga terjangan arus berbeda.”

Untuk itu, katanya, pendirian pabrik semen dan eksploitasi batu kapur sebagai bahan baku semen di Pegunungan Kendeng walaupun tak bersinggungan langsung dengan tanah petani, perlu dibatalkan. Sebab, akan memberikan dampak sosio-kultural kepada masyarakat.

“Dampak langsung secara ekologis berupa keterancaman ketersediaan air yang sangat dibutuhkan.”

Hariadi Kartodihardjo, pakar  kehutanan Institute Pertanian Bogor dihubungi terpisah mengatakan, amicus curiae bukan untuk mengintervensi hakim, namun upaya memberikan bantuan kepada hakim dalam menggali lebih dalam kasus ini.

Harapannya, putusan hakim bisa lebih holistik, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lebih lengkap, mendalam, dan menggunakan pendekatan menyeluruh.

Penggalian nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat, katanya, merupakan kewajiban para hakim sebagai bahan  putusan.

Dokumen Sahabat Peradilan (Amicus Curiae)

Warga Rembang Tolak Tambang dan Pabrik Semen PT Semen Indonesia membawa hasil pertaniannya sebagai bukti bahwa lahan mereka subur dan sudah sejahtera dari hasil bertani. Foto: Tommy Apriando
Warga Rembang Tolak Tambang dan Pabrik Semen PT Semen Indonesia membawa hasil pertaniannya sebagai bukti bahwa lahan mereka subur dan sudah sejahtera dari hasil bertani. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,