Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) adalah mamalia langka di dunia. Jumlahnya tak lebih dari 70 individu, yang kini bertahan hidup di area terbatas di ujung barat Pulau Jawa, yakni Taman Nasional Ujung Kulon. Inilah sisa terakhir badak jawa setelah badak jawa terakhir di Vietnam mati ditembak pemburu pada 2010. Meski disebut badak jawa, dulunya satwa ini tidak terbatas hidup di Pulau Jawa saja, namun di berbagai tempat di Asia Tenggara hingga India.
Ada yang meyakini bahwa letusan dahsyat Krakatau pada 1883 tak hanya menewaskan ribuan orang di Ujung Kulon, tapi juga membunuh semua badak jawa di wilayah tersebut. Masih menurut para ahli, badak jawa yang menghuni Ujung Kulon saat ini adalah keturunan dari badak jawa dari wilayah di luar Ujung Kulon pasca-malapetaka Krakatau.
Hal ini dinyatakan Dr. Prithiviraj Fernando, Direktur Centre for Conservation and Research (CCR), Srilanka pada 2006. Namun, banyak yang meragukan pendapat ini. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Nico J. van Strien dan Kees Rookmaaker, dinyatakan pendapat yang berbeda.
Selama bertahun, Ujung Kulon telah diteliti oleh Andries Hoogerwerf (1906-1977), yang pada 1931 hingga 1937 bekerja di Botanical Garden of Buitenzorg (Kebun Raya Bogor) sebagai Kepala Departemen Perburuan dan Konservasi Alam. Sejak 1937, dia diangkat mengepalai program konservasi alam di Hindia Belanda.
Hoogerwerf mengunjungi Ujung Kulon beberapa kali pada dekade 30-an hingga awal 40-an. Observasinya dideskripsikan dalam berbagai tulisan yang menggarisbawahi buruknya kondisi satwa-satwa di Ujung Kulon. Hingga, terbitlah karyanya yang populer, ‘Udjung Kulon, the land of the last Javan rhinoceros’, yang dipakai sebagai bahan utama mempelajari kawasan Ujung Kulon hingga jauh hari setelahnya. Studi tentang ekologi dan sifat-sifat badak jawa kemudian dilakukan oleh seorang ahli biologi Swiss, Rudolf Schenkel (1914-2003) dan istrinya.
Ujung Kulon sebelum letusan Krakatau 1883
19 Januari 1752, seorang pendeta yang juga naturalis dari Swedia, Pehr Osbeck, berhasil mencapai Pulau Peucang. Dia mencatat, sangat berbahaya bagi siapapun waktu itu untuk mencapai pantai karena banyaknya batu karang. Dia juga menyatakan, ia berjalan di tepi pantai di pinggiran hutan sangat lebat. Basah, dan berbahaya karena dia meyakini akan banyaknya harimau dan karnivora lain. Meski begitu dia tidak menemukan satupun dari mereka, termasuk badak jawa.
Titik barat Pulau Jawa tersebut memang belum tereksplorasi hingga awal abad ke-19. Pada 1807, ada upaya dari pemerintah kolonial Belanda untuk membangun pelabuhan laut kecil untuk Angkatan Laut Belanda waktu itu, di pantai seberang Pulau Peucang, atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Tapi, upaya tersebut dihentikan.
Pada 1816, Kapten Basil Hall yang berlabuh di Teluk Peucang menulis: “Ketika dua orang pegawai saya berusaha memasuki hutan, mereka sama sekali tak mampu menembusnya karena lebatnya hutan. Tiba-tiba seluruh hutan ‘bersuara’ dengan burung-burung yang terbang dan mengeluarkan suara bersahutan. Singkatnya, hutan ini sama sekali belum tersentuh, dan tidak ada penghuni di dalamnya, ataupun pernah dikunjungi oleh siapapun selama ini.”
Dua ekspedisi selanjutnya dilakukan pada 1853 dan 1854 oleh “Koninklijke Natuurkundige Vereeniging” (Royal Society for Natural History) untuk mengeksplorasi daerah tersebut. Tidak ditemukan perkembangan apapun, termasuk keberadaaan badak. Waktu itu, hanya ada satu pemukiman penduduk, sebuah kampung bernama Djungkulan atau Djungkulon dekat Pulau Peucang.
Pada 1857, Arthur Adams yang juga berkunjung ke Pulau Peucang berhasil masuk ke dalam hutan yang lebat tersebut. Dia menyebutkan, terdapat air terjun kecil sekitar tiga kilometer dari kampung Djungkulon. Di tulisannya, dia menyatakan penduduk setempat mengatakan bahwa seekor badak mengejar para pelaut yang berlabuh di wilayah tersebut beberapa waktu sebelumnya. Adams juga menemukan tanah yang masih membekas sisa-sisa tapak kaki hewan yang besar dan berat itu.
Efek letusan Krakatau 1883
Ketika Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883, gelombang tinggi menerjang cepat dari Selat Sunda menuju pantai-pantai di Jawa. Menurut para sejarawan, penduduk desa yang tinggal di Ujung Kulon berkumpul di atas mercusuar (40 m) dan selamat. Meski desa-desa di sekitar pantai terdampak hebat akibat letusan Krakatau dan tsunami yang mengikutinya, banyak ahli yang mengatakan bahwa dampak jangka panjang terhadap kehidupan satwa di Ujung Kulon tidak terlalu besar. Selain itu, ombak tsunami tak masuk terlalu dalam ke hutan.
Badak jawa hidup di berbagai tempat di Pulau Jawa setidaknya hingga awal 1900-an, baik di area yang kini masuk wilayah Banten maupun wilayah yang kini masuk Jawa Barat. Waktu itu, seringkali badak ditembak di Banten Selatan. Dua orang Belanda, Van Weede dan W. Boreel memburu dan menembak badak di Cikepuh, sebelah timur Pelabuhan Ratu pada 1908 dan menyatakan penyelesalannya setelah mengetahui bahwa populasi badak sangat menurun.
Pada 1914, seekor badak betina berukuran besar ditembak di wilayah Banten barat daya oleh V. De Sturler, yang kemudian mendonasikan spesimennya ke Zoological Museum di Bogor. Akhirnya, badak jawa terakhir di Jawa bagian selatan ditembak di Tasikmalaya oleh P.F. Franck pada 31 Januari 1934 dan spesimennya kini juga berada di Zoological Museum di Bogor.
Perburuan dan pembunuhan badak jawa di Pulau Jawa sepenuhnya dilarang pada 1909 oleh pemerintah kolonial Belanda. Hukuman maksimal bagi pelaku adalah kurungan 8 hari atau denda 100 guilder. Meskipun perburuan berlanjut secara sporadis dan diam-diam, populasi badak meningkat di barat daya Pulau Jawa, khususnya Ujung Kulon.
16 November 1921, Pemerintah Belanda menetapkan Ujung Kulon sebagai cagar alam. Hal ini mempertegas aturan larangan membunuh, menjebak, menangkap satwa apapun di kawasan Ujung Kulon. Termasuk pembangunan kawasan permukiman. Meski begitu, tidak ada supervisi untuk memastikan bahwa hukum benar dipatuhi, dan waktu itu memang memasuki kawasan hutan di Ujung Kulon tidak dilarang.
Waktu itu, banyak laporan dan bukti bahwa badak dan satwa lain tetap saja diburu di Ujung Kulon pada 1930-an. Pada Februari 1930, seorang warga Tionghoa ditangkap karena menembak dan membunuh setidaknya dua badak di Ujung Kulon, meski kemudian dilepaskan. Hingga 1935, banyak laporan yang menyebutkan sejumlah besar badak jawa telah dibunuh secara ilegal di Ujung Kulon. Perburuan terus terjadi setidaknya saat Jepang menguasai Indonesia hingga 1945.
Dari para pemburu yang tertangkap, diperoleh keterangan bahwa perburuan badak semata-mata didasari pada tingginya permintaan akan cula untuk dijadikan obat, dan perdagangan cula ini menyebar ke berbagai tempat di Jawa.
Kesimpulan
Dampak dari letusan Kratatu terhadap kehidupan alam liar di Ujung Kulon tak dapat dipastikan secara pasti. Bisa jadi memang ada korban, atau bisa jadi satwa-satwa besar seperti badak mampu bertahan dari hantaman ombak, jika memang ombaknya jauh ke dalam hutan.
Tentu saja, ada dampak terhadap tumbuhan di hutan, karena masuknya air garam ke dalam tanah, namun apakah hal ini juga berdampak bagi turunnya populasi hewan di Ujung Kulon, juga tidak diketahui.
Tidak diketahui secara pasti populasi badak sebelum letusan Krakatau, dan laporan-laporan mengenai penampakan badak memang sangat jarang. Apakah populasi mereka yang terdampak hebat karena letusan tersebut, juga tidak diketahui karena tidak adanya literatur mengenai hal tersebut.
Namun, sejak letusan Krakatau, laporan penampakan badak jawa masih sering didapatkan secara reguler. Secara singkat, bisa disimpulkan bahwa kecilnya populasi badak jawa bukan karena letusan Krakatau 1883, namun karena perburuan dan pembunuhan. Untuk diambil culanya.
Sumber Tulisan: