Sukamsi, Pendekar Mangrove dari Kebumen

Sejatinya, Sukamsi, 43, awalnya merupakan pendamping anak-anak penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Sejak tahun 2003, Sukamsi melakukan advokasi terhadap anak-anak jalanan di terminal, stasiun, tempat wisata, jalanan dan lainnya. Sebelum bersama anak-anak PMKS, Sukamsi juga pernah berkecimpung di koperasi nelayan bersama anak-anak yatim, karena tidak sedikit orang tua dari anak-anak itu hilang di laut.

“Jadi sebetulnya saya ini sejak muda sebagai pendamping mereka yang tersisihkan. Mulai dari koperasi nelayan hingga anak-anak PMKS. Karena ternyata banyak anak yang jadi pemulung, pengamen, gelandangan dan lainnya. Saya mulai mendampingi mereka sejak tahun 2003 memiliki rumah singgah di Gombong, Kebumen,”kata lelaki kelahiran Desa Karangduwur, Kecamatan Ayah, Kebumen, Jawa Tengah (Jateng) itu.

Namun, dalam perjalanannya, tahun 2005, dirinya tak lagi mempunyai dana untuk menyewa rumah singgah di Gombong. Akhirnya bersama dengan anak-anak jalanan, ia “bedhol desa” ke daerah Ayah, Kebumen. “Kami sengaja memindahkan rumah singgah ke Ayah untuk menghemat anggaran. Karena pada waktu itu, sudah tidak punya uang lagi untuk menyewa rumah singgah di Gombong. Ada sekitar 27 anak-anak jalanan yang ikut serta pindah ke Ayah,”ujar Sukamsi yang memiliki gelar sarjana dan master di bidang ilmu hukum pidana tersebut.

Ia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada anak-anak tersebut, terutama soal pendidikan mereka dan kebutuhan hidup sehari-hari. “Waktu itu, suasana sangat prihatin. Karena kami harus mencukupi kebutuhan harian dan memastikan mereka bersekolah. Sebab, ilmu dan pendidikan merupakan salah satu yang utama dalam kehidupan. Meski lewat kelompok belajar (Kejar) Paket, yang penting mereka mengeyam pendidikan,” tegasnya.

Dijelaskan oleh Sukamsi, meski sudah prihatin, namun mereka tetap bersyukur karena mereka bisa mendapatkan lauk dari ikan dan kepiting di sekitar Pantai Ayah. Tanpa diduga, ada bencana besar yakni gelombang tsunami yang menghantam perairan Kebumen pada tahun 2006. “Ketika pindah ke Ayah, sesungguhnya kondisi kami sudah berat. Ternyata, ada lagi cobaan yang kami alami, yakni bencana tsunami. Alhamdulillah, tidak ada korban jiwa, namun dampak tsunami terhadap lingkungan sangat terasa,”ungkapnya.

Menurutnya, dampak tsunami cukup dahsyat, lingkungan di sekitar Pantai Ayah atau Logending benar-benar rusak. “Bahkan, ikan, udang, dan kepiting pun entah ke mana. Kalau dihitung-hitung, ada sekitar dua tahun, nelayan mengalami paceklik. Paceklik yang terjadi pasca tsunami juga kami rasakan, karena tidak gampang lagi memperoleh ikan atau kepiting di sekitar Pantai Ayah. Benar-benar kami survival untuk menghidupi 27 anak-anak jalanan ketika itu. Karena untuk mendapatkan lauk saja sangat susah payah,”kata Sukamsi.

Tanam Mangrove

Di tengah kerusakan lingkungan yang terjadi, Sukamsi bersama anak-anak jalanan dampingannya kerap masih bisa mendapatkan ikan dan kepiting. “Nah, yang sering terjadi kenapa kepiting biasanya diperoleh pada akar pohon mangrove, terutama yang besar. Karena hal tersebut kerap kami jumpai, maka kesimpulan awal adalah mangrove adalah pohon yang cocok bagi habitat kepiting. Dari situlah, kami memulai gerakan menanam,” kata Sukamsi.

Kawasan hutan mangrove di pesisir Pantai Ayah dan pantai Logending, Kebumen, Jateng yang kini menjadi penahan tsunami dan kawasan wisata. Foto : L Darmawan
Kawasan hutan mangrove di pesisir Pantai Ayah dan pantai Logending, Kebumen, Jateng yang kini menjadi penahan tsunami dan kawasan wisata. Foto : L Darmawan

Bersama dengan anak-anak dampingannya, Sukamsi mengajak mereka untuk memulai tanam pohon mangrove jenis apapun. “Meski kami tidak memiliki secara khusus bibit mangrove, tetapi gerakan menanam kami lakukan. Ada saja kami mendapatkan bibit, terutama di sekitar mangrove yang masih tersisa. Gerakan ini kami lakukan mulai akhir 2007 silam. Pokoknya, kalau ada lahan kosong harus ditanami. Penanaman dilakukan saat air surut,”jelasnya.

Ketika mulai menanam, lanjut Sukamsi, dirinya sudah memiliki masterplan saat mulai menghijaukan kawasan Pantai Ayah dengan pohon mangrove. “Yang pasti, di lokasi setempat lahan ada, tenaga dari anak-anak juga siap dan sedikit-sedikit ada juga bibit. Sementara saya sudah menyiapkan masterplan. Mulai dari perencanaan pemberdayaan ekonomi, estetika agar bisa jadi wisata hingga sebagai mitigasi bencana. Kami bekerja bareng menghijaukan kawasan ini dengan membawa nama ‘kelompok mangrove’,” ujarnya.

Meski upaya penanaman telah dilakukan sejak tahun 2007, namun pihaknya masih tetap kesulitan memperoleh bantuan bibit dari proposal yang diajukan. “Kami sadar, kalau anak-anak jalanan seperti ini sukar memperoleh kepercayaan. Jangankan kepercayaan dari pemerintah, orang tua mereka saja sulit memberi kepercayaan. Walau begitu, kami tetap bersemangat untuk terus menanam. Anak-anak melakukan penanaman, saya yang berfikir konsep ke depan,”kata dia.

Baru kemudian di tahun 2010, Pemerintah Desa Ayah mengakui keberadaan kegiatan tersebut. Sehingga dari sebelumnya, kelompok yang dinamakan “kelompok mangrove” berubah menjadi Kelompok Pecinta Alam Pantai Selatan (KPL Pansela). “Nah, tahun 2010 jugalah ada tawaran penghijauan dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Yang unik dari proposal yang kami ajukan adalah, pohon yang kami tanam tidak akan ditebang. Inilahnya mengapa kemudian, KPL Pansela menjadi salah satu kelompok yang memperoleh kepercayaan mendapatkan bantuan bibit,”ujar Sukamsi.

lokasi-pembibitan-pohon-mangrove di di pesisir Pantai Ayah, Kebumen, Jateng. Foto : L Darmawan
lokasi-pembibitan-pohon-mangrove di di pesisir Pantai Ayah, Kebumen, Jateng. Foto : L Darmawan

Dengan program Kebun Bibit Rakyat (KBR) tersebut, pada tahun itu juga KPL Pansela mulai menghijauan kawasan sekitar Pantai Logending. Jika sebelumnya hanya sedikit jumlah bibit yang ditanam, maka dengan adanya KBR, KPL Pansela mendapatkan kesempatan untuk menanam dengan jumlah 50 ribu bibit mangrove. Ada setidaknya 5 hektare lahan yang bisa dihijaukan.

“Selain menanam, kami juga terus membuat pembibitan, sehingga semakin banyak pohon mangrove yang dapat ditanam. Hingga kini setidaknya ada sekitar 35-50 ha lahan mangrove di wilayah ini. Kami menghijaukan tidak hanya di perairan Kebumen, tetapi juga di Cilacap, daerah yang berbatasan persis dengan Pantai Logending. Yang paling penting adalah menanam mangrove. Semakin luas kian bagus, karena tidak akan mengalami kerugian kalau terus menanam,”tambahnya.

Dampak Positif

Pada awalnya melakukan penanaman, anak-anak jalanan yang tergabung dalam KPL Pansela itu dicibir. Bahkan, sampai sekarang juga masih ada yang berpikiran negatif. Namun, upaya yang baik tentu saja harus terus berjalan. “Kalau itu baik, kenapa tidak. Apalagi, hingga kini dampak positif telah dirasakan oleh warga dan nelayan sekitar,”ungkap Sukamsi.

Dengan adanya mangrove yang mulai tumbuh dan berkembang hingga puluhan ha tersebut, maka dampak positifnya mulai dirasakan. “Misalnya saja warga di sekitar Pantai Logending khususnya petani bisa tanam padi. Sebab, dengan adanya hutan mangrove, maka air laut tidak lagi masuk ke sawah, sehingga sawah airnya tawar. Selain itu, angin dari laut tidak lagi membawa titik-titik air yang membuat korosi barang milik warga,”jelasnya.

Di sisi lain, nelayan juga mendapat keuntungan. Sebab, dengan adanya hutan mangrove, maka lumpur dari Kali Bodo yang biasanya langsung masuk ke laut tertahan di kawasan mangrove. “Lumpur yang bisa ditahan di area hutan mangrove, maka terumbu karang bisa bertumbuh. Setidaknya ada tiga titik yang kini terumbu karangnya berkembang. Sebab, dengan pertumbuhan terumbu karang, lobster bakal juga muncul,” kata dia.

Kawasan hitan mangrove yang berada disekitar Pantai Logending dan Pantai Ayah, Kebumen, Jateng. Foto : L Darmawan
Kawasan hitan mangrove yang berada disekitar Pantai Logending dan Pantai Ayah, Kebumen, Jateng. Foto : L Darmawan

Menurut Sukamsi, hutan mangrove juga menjadi tempat perkembangbiakan ikan. Bahkan, ikan bawal putih atau baramundi yang sempat hilang, kini sudah muncul lagi. “Ikan baramundi merupakan ikan khas payau tersebut biasa ditemukan di sekitar mangrove. Harganya cukup lumayan mencapai Rp50 ribu per kilogram (kg). Ikan jenis lain juga muncul, serta kepiting gampang dicari. Ternyata dengan mangrove tumbuh baik, secara ekonomi juga bisa meningkatkan pendapatan nelayan karena tangkapan melimpah,”ungkapnya.

Sukamsi menuturkan hutan mangrove berfungsi juga sebagai penahan laju gelombang tsunami. “Dengan adanya pengalaman gelombang tsunami tahun 2006, maka diperlukan hutan mangrove sebagai penahan gelombang tsunami. “Khusus hutan mangrove di Pantai Logending ini juga telah menjadi destinasi wisata selain pantai. Sudah banyak yang datang ke sini menikmati kawasan mangrove. Tidak hanya berasal dari Kebumen, tetapi juga Cilacap, Purworejo, Purwokerto dan lainnya. Pengelola wisata oleh KPL Pansela. Ongkos naik perahu juga murah hanya Rp10 ribu, sedangkan masuknya ditarik Rp5 ribu. Itu belum formal, hanya sebatas sumbangan saja,”tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,