Soal SP3 Perusahaan: dari Kejaksaan Tak Tahu Proses Penyidikan sampai Polda “Jual” Nama Saksi Ahli

Panitia Kerja Kebakaran Hutan dan Lahan (Panja Karhutla) Komisi III yang  membahas surat perintah penghentian penyidikan (SP3) perusahaan,  di Riau dan Sumatera Selatan  serta Jambi, pada Selasa (11//10/16), memanggil Kejaksaan. Dalam rapat dengar pendapat ini terungkap, kalau Kejaksaan Riau dan Sumsel, tak pernah tahu proses penyidikan kasus karhutla perusahaan yang di-SP3 itu.

”Kejati sama sekali tak tahu proses penyidikan sejumlah perusahaan yang ditetapkan tersangka oleh Polda. Dalam hal ini Polda Sumsel, terutama Riau,” kata Benny K. Harman, Ketua Panja Karhutla Komisi III, di Jakarta (11/10/16).

Datang dalam rapat Panja Karhutla ini Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, Uung Abdul Syakur dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumsel, Agus Susdiyanto. Sebenarnya panja juga memanggil Kajati Jambi, tetapi tak hadir hanya perwakilan.

Proses hukum yang tak transparan menyimpulkan penetapan SP3 jelas tak profesional. Adapun, indikasi pelanggaran terhadap UU berlaku mulai tercium, meski Komisi III maupun Kejaksaan mengelak untuk mengatakan itu.

”Kami tak mengatakan (terjadi pelanggaran atau tidak-red). Ini bisa menjadi rekomendasi dari Komisi III,” ucap Uung.

Dari 15 perusahaan yang mendapatkan SP3 di Riau, katanya, 12 tanpa ada surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri. Proses yang dilalui Kapolda adalah menetapkan perusahaan sebagai negara dan dimulai tanpa memberitahu Kejaksaan.

Selama ini, Kejati dinilai belum berperan aktif dalam mengawal kasus karhutla khusus korporasi. ”Kami akan mulai berkoordinasi dengan Kapolda lebih cerdas dan baik dalam penyidikan,” kata Uung.

Serupa Riau, Kejati Sumsel pun tak tahu ada putusan SP3 kepada perusahaan.

Jual nama saksi ahli?

Sebelum rapat dengan Kajati, Komisi III menggelar pertemuan bersama Kapolda Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Papua. Kapolda Kalbar dan Papua diwakilkan. DPR merasa undangan tak dihormati, pimpinan rapat meminta kedua perwakilan meninggalkan ruangan.

Sesi pertama, Kapolda Kalteng dan Kalsel memaparkan soal SP3. Di Kalteng, ada tiga perusahaan PT Globalindo Alam Perkasa, PT Persada Era Agro Kencana (PEAK) dan PT Katingan Mujur Sejahtera) dan satu perorangan terima SP3.

SP3 keluar dianggap tak memiliki alat bukti cukup. Dalam paparan, Kapolda Kalteng, Brigjen Pol Fakhrizal menyebutkan telah serius menangani permasalahan karhutla.

Bahkan, seakan ingin menguatkan kalau penanganan karhutla serius, dia menyebut-nyebut mendatangkan para saksi ahli seperti Prof Bambang Hero, Basuki Wasis, Alvin Syahrin, dan Nyoto Santoso.

”Hasil penyidikan lapangan membuktikan perkara tak mampu dipertanggungjawabkan kepada korporasi,” katanya.

Ketiga perusahaan dianggap tak terbukti membakar sengaja dan dinilai patuh menjaga kawasan dari api. Bahkan, dia bilang perusahaan memiliki standar operating prosedure (SOP) lengkap dalam pemadaman kebakaran.

Komisi III Asrul Sani mengapresiasi paparan ini. ”Saya percaya karena meyakini kredibilitas dari pakar yang dipilih pada kasus karhutla di Kalteng.”

Ahli kecewa

Apa kata saksi ahli?  Kala konfirmasi, Bambang Hero, Guru Besar Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor, kecewa. Dia tahu perusahaan, seperti PEAK dapat SP3 saat Mongabay menghubungi melalui telepon. Sebelumnya, GAP dia menolak untuk SP3.

”Saya kecewa. Ini kita jadi dianggap main-main, kami diundang resmi tau-tau SP3. Ini sebuah tamparan. Kalau mau seirus, ya serius. SP3 jangan dijadikan sebagai andalan bagi mereka,” katanya.

Tak hanya Kalteng, Bambang juga jadi saksi ahli di Riau. Semua perusahaan yang diteliti, katanya, memberikan sinyal positif bahwa kebakaran sengaja.

Bila dirunut proses berlaku, seharusnya keputusan penyidik diketahui para pengumpul bukti di lapangan, salah satu saksi ahli.

”Kami memang tidak tahu, GAP saya sempat protes di Bareskrim, namun hingga kini tak ada kejelasan.”

Dia merekomendasikan, guna menuntaskan perkara SP3 perusahaan perlu ada pedoman penyelesaian karhutla. Tujuannya, kata Bambang, agar proses penyidikan transparan dan memiliki kesamaan persepsi dalam melihat pelanggaran lingkungan hidup.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,