Sejumlah jejaring bidang konservasi menyimpulkan ada peningkatan penyelundupan penyu ke Bali. Setidaknya 8 kasus penyelundupan dengan lebih 170 ekor barang bukti digagalkan pada tahun 2016. Jumlah kasus ini terbanyak dalam 16 tahun terakhir.
Kasus pada tahun lalu ini lebih banyak dibanding pada 2001 sebanyak 7 kasus dan 6 kasus pada 2003. Sementara jika dibanding 30 tahun sebelumnya, pada tahun 1960-an Bali disebut menjadi pusat perdagangan penyu. Pada puncaknya perdagangan penyu tidak kurang dari 10.000 ekor per tahun pada 1999.
Data-data ini dirangkum WWF Indonesia, Universitas Udayana, Ditpolair Bali, dan media. Disajikan dalam diskusi dengan wartawan di Denpasar oleh kolaborasi WWF Indonesia, Universitas Udayana, dan Indonesian Aquatic Megafauna. “Data itu khusus untuk penyelundupan dengan tujuan akhir diduga untuk konsumsi. Saya tidak masukkan data untuk wisata,” ujar Dwi Suprapti, Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia.
Diyakini kasus penyelundupan yang diketahui hanya sebagian kecil. Istilahnya fenomena ‘gunung es’, yang terlihat di permukaan jauh lebih kecil dibanding dasarnya. Indikasinya seperti pengakuan tersangka/terdakwa adalah tertangkap basah setelah beberapa kali berhasil menyelundupkan penyu ke Bali.
Hal ini dianggap membahayakan kelangsungan upaya konservasi penyu dan jika tak ditanggulangi bisa kembali ‘mewabah’ seperti pada era sebelum tahun 2000. Kenapa perdagangan penyu masih terjadi? Apakah penangkapan dan penegakan hukum yang telah dilakukan sebelumnya tidak menimbulkan efek jera bagi para penangkap, pengangkut, maupun penadah (cukong) penyu?
Contoh kasus yang dipaparkan misalnya Wayan Sutirta alias Mangku Tirta, di Pulau Serangan sudah dikenal sebagai seorang pemangku sekaligus pedagang kuliner penyu dalam bentuk sate, lawar dan serapah setidaknya lebih dari 10 tahun. Kemudian Wayan Suweca alias Alex seorang nelayan yang juga berprofesi sebagai kurir/jasa pengangkutan penyu dan residivis kasus penyu dengan tiga kali ditangkap.
Sejumlah rekomendasi yang ditawarkan di antaranya menggencarkan aktivitas penegakan hukum di Bali, lokasi asal penangkapan penyu, dan di jalur-jalur perlintasan pengangkutan penyu. Kedua, melakukan ‘penataan realistik’ terhadap taman-taman penyu di beberapa tempat karena berpotensi dijadikan tempat penampungan penyu-penyu selundupan.“Penataan terkait dengan penertiban perijinan yang sesuai prosedur, terdata jumlah, jenis dan ukuran penyu di taman-taman tersebut sehingga keluar masuk penyu terkontrol,” jelas Dwi.
Ketiga, melakukan koordinasi yang baik dengan penegak hukum yang menangani kasus-kasus tindak pelanggaran terhadap konservasi sumberdaya alam, sehingga putusan hukum (vonis) bisa menimbulkan efek jera. Keempat, mengoptimalkan pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan Konservasi penyu.
Bagi warga diharapkan tidak mengkonsumsi dan mempromosikan kuliner penyu dan wisatawan tidak mendukung dan mempromosikan praktik wisata yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi
Bisa juga terlibat aktif sebagai informan (watch dog) dan mengajukan clash action (proses pengawalan kasus pidana penyu)
Merunut sejarahnya, di Bali penyu hijau cenderung dikonsumsi. Waktu itu salah satu alasannya untuk salah satu kelengkapan upacara adat. Sampai ada upaya pemuka adat dan agama Hindu di Bali mengajak warga dan umatnya mengendalikan pemanfaatan satwa langka untuk keperluan upacara adat dan agama.
Windia Adnyana, aktivis perlindungan penyu senior dan kini dosen di Universitas Udayana merangkum dinamikanya sebagai berikut. Masyarakat Hindu di Bali menggunakan penyu untuk upacara Yajña yang tergolong utama umumnya menggunakan sesajen (banten Catur), karena kepala atau daging penyu diyakini merupakan salah satu unsur untuk kelengkapan sarana upacara atau banten tersebut.
UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang telah melarang pemanfaatan penyu sebagai satwa langka untuk dimanfaatkan menjadi dasar aparat penegak hukum menindak para pedagang penyu pada saat itu. Keresahan timbul karena upacara adat dan agama membutuhkan namun aturan nasional melarangnya. Ditambah lagi adanya oknum-oknum yang memperdagangkan daging penyu dengan mengatasnamakan upacara agama dan adat. Tidak kurang dari 10.000 ekor penyu per tahun diperdagangkan di Bali pada tahun 1999.
WWF bersama para pihak dari perguruan tinggi, pemerintah daerah dan pusat menggandeng pemuka agama Hindu di Bali dan Lombok untuk mencari jalankeluar. Kebutuhan upacara agama tidak seharusnya dibenturkan dengan hukum nasional. Melalui pertemuan-pertemuan diupayakan menyepakati adanya pemanfaatan secara bijak.
Para pemuka agama Hindu (pedanda) melalui Pesamuhan Agung, pada tahun 2005, memutuskan suatu Bhisama mengenai Tata Cara Penggunaan Sumberdaya Hayati Langka dan/atauTerancam Punah dalam Upacara Keagamaan Hindu. Diatur mengenai ukuran penyu yang boleh dimanfaatkan dan jenis upacara apa yang perlu memanfaatkan penyu.
Untuk menggunakan penyu dalam upacara agama, umat Hindu di Bali harus mendapatkan ijin dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan mengajukannya ke Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) setempat. Melalui kesepakatan ini maka pemanfaatan penyu yang berlebihan dapat dicegah.
Data di Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Bali, pintu pengeluaran untuk keperluan adat menunjukkan pemanfaatan penyu untuk upacara agama 10 tahun belakangan tidak lebih dari 100 ekor pertahunnya (48 ekor per tahun 2015).
Pemanfaatan satwa langka dan dilindungi oleh kelompok masyarakat tradisional/ adat ataupun agama tertentu di Indonesia tidak hanya terjadi di Bali. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 22 Januari 2014 juga telah mengeluarkan Fatwa No. 4 Tahun 2014 Tentang “Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem”.
Fatwa ini dapat digunakan sebagai penuntun bagi umat Muslim Indonesia yang jumlahnya sekitar 200 juta jiwa dapat mengambil langkah aktif melindungi spesies-spesies langka dan terancam punah seperti harimau, badak, gajah dan orangutan termasuk penyu.
“Upaya perlindungan satwa langka tersebut perlu secara bijakmemperhatikan pelestarian budaya dan mempertimbangkan hakmasyarakat adat,” ujar Adnyana. Untuk itu dialog secara intensif antara pemuka adat danagama agar pemanfaatan tersebut dapat terkendali dan mampu mencegah terjadinya kepunahan perlu dilakukan.
Dengan bersama-sama mencegah kepunahan satwa langka tersebut berarti diyakini juga untuk melestarikan hak-hak masyarakat adat dan agama untuk menjalankan tradisinya yang telah dijalankan secara turun temurun.
Penyu hijau secara Internasional telah dimasukkan dalam Appendix 1 CITES, hal ini berarti bahwa penyu telah dinyatakan sebagai satwa yang terancam punah dan tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun.
Direktur Polair Polda Bali Kombes Pol. Sukandar menyebut pihaknya punya program LIBAS, Bali Bebas Perdagangan Satwa yang dilindungi. “Konotasinya sapu bersih,” jelasnya. Tahun lalu didominasi kasus penyelundupan penyu dan Bali dinilainya sebagai konsumen. Baru pembawa penyu yang ditindak, belum sampai saudagar atau pengolah daging penyu.