Dendang Sampah dan Sawah dari Bali Utara

“Cantiknya ku pandang, hijau yang membentang. Oksigen sejuk terhela, nuansa damai terasa

Ooo….Punakawan pangan, tersungkurkan hutang. Raksasa industri, tabur beton pencakar langit

Barisan padi serasa tak penting lagi, Semua mudah terbeli. Sawah hilang petani berhutang.
Rakyat kecil kelaparan. Nyanyian kecil untuk sawah… “

Dendang ini dilantunkan Relung Kaca, band trio dari Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Mini albumnya bertajuk “Pang Ping Pung” dirilis akhir pekan lalu, di ibukota Buleleng, Singaraja pada 19 Januari dan Kota Denpasar pada 22 Januari.

Berlangsung meriah dengan aksi pungut sampah di Singaraja, didukung banyak pesohor dan lembaga lingkungan. Di antaranya Walhi Bali, JRX SID & Sony B, Rio Sidik, Dadang Pranoto (Navicula & Dialog Dini Hari), Sandrayati Fay, Made Mawut & The Stomp, Igo & the Blados’s, Rarekual Bondres, Sanggar Tabuh Gita Sunari, Mata Jendela, Rastafara Cetamol, Paku Lima, dan lainnya. Albumnya direkam di Antida Studio, dan video klip pertama lagu “Nyanyian untuk Sawah” di atas dibuat videografer Erick Est.

Trio pegiat LSM lingkungan dari Yayasan Manik Bumi ini menggunakan seni sebagai strategi utama kampanye lingkungan di Buleleng. Mereka fokus penyadaran sampah dengan program kampung Sarase.

“Sampah, aku, rumah, sumber daya alam, dan ekonomi kreatif,” seru I Komang Aristiana Gunawan, vokalis/gitaris Relung Kaca dan ketua Yayasan Manik Bumi pada 2013-2016 ini tentang apa itu Sarase. Pria yang bernama panggung Aristiana Jack ini menciptakan sebagian lagu dalam album perdana ini sebelum aktif sebagai pengelola LSM. Ia guru ekstrakurikuler seni di sekolah dan sedang melanjutkan studi S2 di jurusan Sastra Inggris Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.

Dua personil Relung Kaca saat ini adalah Komang Agus Herman Swihartana Giri alias Konot pada vocal dan gitar, serta Pande Narwastu pada vokal dan kajon. Relung Kaca adalah perwujudan gerakan dan komunitas seni. Salah satunya mendekatkan masalah lingkungan menjadi perhatian keseharian. Jack mencontohkan soal sampah, di mana saja sampah plastik khususnya menyisakan masalah. Demikian juga di sungai.

Manik Bumi menjadikan sebuah kampung di Singaraja yang menjadi hulu Tukad (sungai) Buleleng sebagai ruang pendidikan dan kreativitas seni. Mereka mengajak warga sekitar dan anak muda merasakan sampah, membuat gerakan pembersihan sungai, pendidikan, dan event. “Lewat musik ada meresapi maknanya, terutama teman-teman muda yang mau juga ikut dalam komunitas peduli lingkungan,” seru pria berambut keriting ini.

Personil band Relung Kaca terlibat langsung dalam kampanye olah sampah Plastikologi di sebuah event Mabesikan Project, Art for Social Change pada 2016. Foto Luh De Suriyani

Pengalaman proses belajar mengetahui dan menyadari ini yang terasa di lagu bertajuk Proses Bijak. Sebuah refleksi menggunakan idiom lokal sebagai penarik perhatian.

“Satu pohon tumbang membusuk untuk kesuburan tunas-tunas mungil pohon lainnya. Kumbang kupu-kupu beterbangan dari satu putik sari ke putik sari lainnya. Mekarkan bunga-bunga yang indah…Segarkan jiwa-jiwa yang lelah…
Burung-burung terbang arungi angkasa sembari tebarkan benih-benih suci tumbuhan. Pertiwi muliakan peranan kotoran hewan penuhi tanggung jawab suburkan sang bumi. Mekarkan bunga-bunga yang indah…Segarkan jiwa-jiwa yang lelah…

Pang ping pung, jaje gipang plaibang bikul, mita-mita gigi ponggang, layah lumbang jit megook” (Pang ping pung, jajan gipang dilarikan tikus, gigi ompong, lidah lebar, pantatnya dalam).”

Yayasan Manik Bumi kampanye Save Menjangan Island di event Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, 2016. Foto Luh De Suriyani

Perlindungan Lumba-lumba

Tak hanya Relung Kaca yang unjuk suara lewat lagu mengenai tantangan lingkungan dan tekanan pariwisata dari Bali Utara. Event rilis album ini juga memperkenalkan band Mata Jendela yang mengampanyekan perlindungan lumba-lumba dari wisata dolphin watching di Lovina.

Lumba-lumba di habitatnya, perairan obyek wisata Lovina adalah maskot utama dan denyut nadi wisata Buleleng. Tiap hari puluhan perahu bermesin membawa turis ke tengah laut, sekitar 2-3 km dari pantai untuk melihat lumba-lumba beraktivitas. Nelayan dan pemerintah daerah sedang menata prosedur wisata ini agar lebih berkelanjutan.

“Dolphin yang dikejar hanya untuk kesenangan turis. Pastikan kelestarian dolphin,” ujar vokalis band ini mengenalkan lagunya yang mengampanyekan ini.

Musisi-musisi ini bersama komunitas seni tradisional seperti Bondres Rare Kual juga aktif ikut aksi-aksi Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa dan Save Menjangan. Tahun lalu, sebuah resor wisata direncanakan dibangun di pulau Menjangan yang sejauh ini tak dihuni manusia. Pulau kecil ini indah dengan panorama bawah laut, tempat hidup menjangan, dan banyak pura unik.

“Untuk pelestarian pulau Menjangan ini, kami buat aliansi komunitas di Buleleng dan Bali Selatan. Bupati sudah menyatakan menolak. Membangun dengan bijak jangan sampai semua dikorbankan termasuk masyarakat lokal,” ujar Luh Gede Juli Wirahmini, pendiri Yayasan Manik Bumi sekaligus produser Album perdana Relung Kaca ini.

Perempuan asal Buleleng dan lama bermukim di Jerman ini mendukung para relawan sahabat bumi yang memiliki potensi beragam untuk berkarya. Juli menyebut mereka berkumpul sejak 4 tahun lalu, dominan suka musik dan ini menjadi strategi mengubah image mungut sampah agar tak menjijikkan, bahwa mungkut sampah itu keren. “Kita lakukan saat bermusik, mengumpulkan sampah dan sharing,” katanya.

Suasana wisata melihat lumba lumba saat sunrise di perairan Lovina, Buleleng, Bali Utara. Wacana rumpon untuk mengumpulkan lumba-lumba di perairan Buleleng demi industri wisata menjadi saat ini polemik. Foto : Anggara Mahendra

Relawan dan pengelola Manik Bumi yang mendukung gerakan Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa ini intens bersua dengan Wayan “Gendo” Suardana yang kemudian menjadi manajer band ini.  Lagu Nyanyian untuk Sawah ini kerap didendangkan saat parade budaya aksi-aksi dan dari sinilah nama Relung Kaca makin banyak dikenal.

“Harus dibuat wadah, agar tak putus harapan. Punya ruang melakukan perubahan dari keprihatinannya sendiri. Jangan nyalahin siapa agar bisa hidup lebih layak,” kata Juli. Dari Bali Utara ada lagi seniman yang menekuni seni lawak tradisional, Rare Kual yang juga aktif di di Manik Bumi yang memasukkan lelucon sampah saat manggung.

Juli mengakui memasukkan isu sampah dalam berkesenian masih dianggap menggurui padahal masalah keseharian. “Komitmen kita kalau menyampaikan pesan, kita harus berani berubah. Kalau tak laku tidak apa yang penting punya pesan kuat,” lanjut perempuan yang juga terlibat dalam event seni tahunan Pasar Hamburg, oleh komunitas WNI di Jerman.

Perubahan individu ini diperluas ke publik.  “Kami ada ritual tiap sebuah event selesai, penonton harus pungut sampah 3 langkah ke depan dan 3 langkah ke belakang. Bentuk acara sosial edukatif syarat tak bawa sampah, tas kresek diperiksa,” kisahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,