Perambahan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit tetap terjadi. Temuan terbaru itu disampaikan oleh Rainforest Action Network (RAN), mengenai perkebunan kelapa sawit PT. Agra Bumi Niaga di Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, yang terindikasi melakukan kegiatan ilegal tersebut.
Direktur Kampanye Agribisnis RAN, Gemma Tillack, 8 Maret 2017 menyebutkan, tim investigasi RAN menemukan bukti aktif pembukaan hutan ilegal di KEL yang sejatinya merupakan habitat gajah, harimau, dan orangutan sumatera yang hampir punah.
“Perambahan dilakukan perusahaan sawit PT. Agra Bumi Niaga (ABN),” ungkapnya.
Gemma mengungkapkan, laporan RAN menunjukkan bagaimana PT. ABN telah mempercepat pembukaan ratusan hektare hutan habitat gajah, harimau dan orangutan sumatera, dalam enam bulan terakhir ini. Kegiatan tersebut merupakan pelanggaran di depan mata terhadap moratorium yang diumumkan Presiden Joko Widodo, April 2016, dan instruksi Gubernur Aceh pada 17 Juni 2016, yang memerintahkan perusahaan untuk menghentikan seluruh kegiatan penebangan hutan. Termasuk, wilayah yang telah mendapatkan izin.
“Bukti ini hadir beberapa bulan setelah kerusakan pembukaan lahan dan pengeringan gambut oleh perusahaan kontroversial lainnya, PT. Dua Perkasa Lestari (DPL) di kawasan Rawa Tripa, yang juga bagian KEL.”
Analisis satelit menunjukkan, dari Juni 2016 hingga Januari 2017, sekitar 324 hektare hutan telah dibersihkan perusahaan tersebut. Hanya tersisa 96 hektare hutan tetap dalam konsesi PT. ABN ini, yang secara keseluruhan memiliki izin sekitar 2.000 hektare.
“Pemerintah harus melakukan intervensi, menghentikan pembukaan hutan dan membatalkan izin perusahaan. Tim investigasi RAN telah menelusuri perkebunan kelapa sawit yang ada di sekitar pabrik pengolahan minyak sawit mentah PT. Koperasi Prima Jasa (KPJ). Perusahaan pengolahan ini yang memasok minyak sawit ke kilang minyak Wilmar Internasional, dan mengirimkannya ke seluruh dunia. Pengguna produk Wilmar adalah PepsiCo, McDonalds, Nestle, Unilever, dan Procter and Gamble,” jelas Tillack.
Surat edaran
Pada 17 Juni 2016, Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, telah mengirimkan surat edaran kepada Pemegang Hak Guna Usaha/Izin Usaha Perkebunan dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dalam surat yang ditandatangani Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Aceh, Husaini Syamaun itu, disebutkan pemerintah sedang melakukan review izin perkebunan kelapa sawit dan mempersiapkan kebijakan moratorium kelapa sawit.
“Sesuai Radiogram Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: S.290/MENLHK/SETJEN/PLA.4/2016. Sambil menunggu keluarnya kebijakan pemerintah, kegiatan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di seluruh KEL harus dihentikan,” sebut Husaini Syamaun.
Data yang dirilis Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA) menyebutkan, pada 2016, Provinsi Aceh kehilangan hutan mencapai 21.059 hektare. Dari jumlah tersebut, Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Jaya, dan Gayo Lues merupakan daerah paling banyak terjadi kerusakan. Luas hutan Aceh yang tersisa hingga Desember 2016 mencapai 3.029.256 hektar.
Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (MATA) Aceh, Alfian mengatakan, bila benar PT. ABS melakukan pembersihan lahan di KEL setelah keluar edaran dari Dinas Kehutanan Provinsi Aceh tersebut, dinas terkait harus segera mengambil kebijakan.
“Artinya, PT. ABS tidak mengikuti perintah atau permintaan Pemerintah Aceh. Sudah seharusnya perusahaan ditegur atau ditinjau ulang izinnya,” ungkapnya, Selasa (14/03/17).
Alfian mengatakan, MATA Aceh terus mendorong Pemerintah Aceh untuk meninjau kembali semua izin perkebunan agar kesalahan diketahui dan moratorium sawit yang dikeluarkan Gubernur Aceh berjalan.
“Meskipun hak guna usaha ada di Aceh, termasuk ada yang merusak KEL, tapi tidak terlihat kontribusinya untuk pendapatan asli daerah (PAD). Bahkan, masyarakat di sekitar HGU hidup miskin dan banyak terjadi konflik lahan.”
Manager Advokasi Walhi Aceh, Muhammad Nasir mengatakan, Pemerintah Aceh harus segera menghentikan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Pembukaan hutan tersebut tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menyebabkan konflik manusia dengan satwa liar terjadi.
“Aceh Timur merupakan daerah rawan konflik gajah dengan manusia. Salah satu penyebabnya adalah pembukaan perkebunan kelapa sawit di hutan yang merupakan habitat gajah itu. Peunaron, Kabupaten Aceh Timur itu, merupakan daerah lintasan gajah yang tidak boleh dibuka untuk perkebunan kelapa sawit,” tandasnya.