Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bengkulu menyebutkan aktivitas pertambangan batubara di hulu daerah aliran sungai (DAS) Air Bengkulu di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, sudah terkategori haram. Ini mengacu Fatwa MUI Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Pertambangan Ramah Lingkungan.
“Kerusakan lingkungan wajib dihindari. Ketika terjadi kerusakan dan tidak ada upaya mengatasinya, maka haram hukumnya. Siapa yang berdosa? Semua yang terlibat. Perusahaan yang menimbulkan kerusakan dan pemerintah yang membiarkan kerusakan,” kata Ketua Bidang Fatwa MUI Provinsi Bengkulu Supardi Mursalin, Selasa (25/4/2017).
Bila dilakukan sesuai ketentuan, tidak mungkin banyak batubara yang hanyut dan mengendap di sepanjang sungai hingga ke pesisir pantai di Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu. “Dulu (sebelum ada pertambangan), airnya jernih, dalam, dan bisa digunakan untuk mandi bahkan minum. Di sungai juga banyak ikan dan udang,” tambah Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Bengkulu ini.
Ketua MUI Bengkulu Tengah Tarmizi mengatakan, akan membahas masalah pertambangan batubara terkait dengan Fatwa MUI No 22/2011 ini di rapat pengurus, dalam waktu dekat ini. “Apa yang kami lakukan bergantung pada keputusan rapat. Bisa jadi kami akan menindaklanjutinya bersama pemda, DPRD, dan tokoh masyarakat,” kata Tarmizi yang juga Ketua Cabang Nahdahtul Ulama Bengkulu Tengah, Senin (24/4/2017).
Sekretaris Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bengkulu Oktaviano enggan mengomentari pernyataan Ketua Bidang Fatwa MUI Provinsi Bengkulu tersebut. “Ada dua kemungkinan, ada erosi saat hujan pada tanah yang mengadung batubara, dan bisa juga ulah penambang-penambang nakal,” ujar Oktaviano yang ditemui bersama Kepala Dinas ESDM Provinsi Bengkulu Ahyan Edu, Selasa (25/4/2017).
Dalam Fatwa MUI No. 22/2011 dinyatakan pertambangan wajib menghindari kerusakan antara lain: a. menimbulkan kerusakan ekosistem darat dan laut; b. menimbulkan pencemaran air serta rusaknya daur hidrologi; c. menyebabkan kepunahan atau terganggunya keanekaragaman hayati; d. menyebabkan polusi udara dan ikut serta mempercepat pemanasan global; e. mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar; f. mengancam kesehatan masyarakat.
Sejak 1981
Menurut warga Desa Tanjung Raman Yahana (47), aktivitas pertambangan batubara di hulu DAS Air Bengkulu pertama kali dilakukan sekitar 1981 – 1982. “Setelah beberapa tahun, sungai mulai dangkal dan air sungai hitam akibat batubara yang mengendap di dasar sungai. Selain batubara, pasir dan tanah juga membuat sungai menjadi dangkal dan perlahan air menjadi keruh,” kata Yahana, di pinggir sungai Air Kemumu di Desa Tanjung Raman, Minggu (23/4/2017).
Batubara yang mengendap dan hanyut di sungai, lanjut Yahana, berasal dari pembuangan air limbah batubara dan tumpukan batubara yang terkena hujan deras. “Banyak stock file di pinggir sungai, berada di tanah agak curam, termasuk tanah dan batu pasir hasil galian yang dibuang di pinggir sungai. Sebenarnya, sejak dulu sudah kami keluhkan. Keluhan disampaikan melalui kepala desa, yang diteruskan ke camat dan selanjutnya,” tambah Yahana.
Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Fajrin Hidayat mengatakan, masalah pencemaran DAS Air Bengkulu sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Begitu pula dengan sendimentasi dan pendangkalan sungai. “Di bagian hulu dan tengah DAS Air Bengkulu, sampai saat ini budaya mandi masih ada. Kalau mereka tidak memanfaatkan untuk mandi, artinya mereka sudah menganggap tidak layak. Apalagi untuk air minum,” kata Fajrin, Kamis (27/4/2017).
Pencemaran air DAS Air Bengkulu mengakibatkan PDAM Kota Bengkulu yang menggunakan air tersebut harus menanggung biaya tinggi dalam pengelolaannya, agar bisa disalurkan ke pelanggan. Selain itu, pendangkalan mengakibatkan sebagian wilayah Kota Bengkulu sering mengalami kebanjiran. “Belum lagi masalah batubara yang hanyut hingga ke pesisir pantai di Kota Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu yang bisa merugikan dari sektor perikanan dan pariwisata,” kata Fajrin.
Fajrin menduga, aktivitas pertambangan telah mengakibatkan kerusakan kawasan hutan. Sebagai gambaran, dari total kawasan hutan di DAS Air Bengkulu seluas 12.515 hektare (24,54%) kawasan hutan yang masih berhutan hanya 4.505,5 hektare (36%). “Padahal, syarat DAS harus berhutan minimal 30 %. Sementara DAS Bengkulu, yang berhutan hanya sekitar 10 % dari luas totalnya.”
Luas DAS Air Bengkulu sekitar 51.950 hekatare. DAS ini terdiri dari Sub-DAS Susup seluas 10.040 hektare dengan panjang sungai utama 15,76 km, Sub-DAS Rindu Hati seluas 19.357 ha dengan panjang sungai utama 19,4 km, dan sub-DAS Bengkulu Hilir seluas 22.552 ha dengan panjang sungai utamanya 24,5 km. “Selain Sub-DAS Bengkulu Hilir, sub-DAS bagian hulu yang parah kondisinya adalah Sub-DAS Rindu Hati. Di sana, banyak aktivitas pertambangan,” kata Fajrin.
Tanggung jawab perusahaan
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Laboratorium Dinas Lingkungan Hidup Bengkulu Tengah Fera Asantaria Pulungan mengatakan, pihaknya tidak mengurusi masalah batubara yang hanyut dan mengendap di sungai hingga ke pesisir laut. “Kalau kami tidak mengurus batubaranya, kami tidak bisa melangkahi tugas pokok dan fungsi kami, ada dinas lain yang berkompeten,” kata Fera ditemui pada Kamis (27/4/2017).
Namun, sambung Fera, masalah tersebut tetap menjadi tanggung jawab perusahaan. “Segala sesuatu berhubungan dengan batubara, limbah dan pencemaran, itu menjadi tanggung jawab perusahaan,” tambah Fera.
Hanya saja, Fera mengaku tidak mengetahui perusahaan apa yang harus mempertanggungjawabkannya. “Misalnya, batubara jangan diletakkan di tempat sembarangan. Kalau hujan deras, otomatis hanyut ke sungai,” ujar Fera.
Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Bengkulu Tengah Ardiansyah mengatakan, masalah tersebut bisa saja terjadi karena batubara di lokasi pertambangan yang terbawa air hujan tidak masuk ke kolam pengendapan. Sehingga, mengalir ke sungai. “Mestinya, bila hari hujan, harus masuk ke kolam pengendapan.”
Menurut Ardiansyah, pihaknya sering mengingatkan agar perusahaan batubara mengantisipasinya. “Supaya masuk ke kolam pengendapan, dan tidak boleh membuat dumping area di pinggir jurang, untuk menghindari batubara masuk ke sungai. Kalau sudah masuk ke sungai, dampak yang ditimbulkan adalah sungai dangkal,” tambah Ardiansyah.
Penelitian
Penelitian Heryanto dan Suyoko (2007) menyebutkan, lapisan batubara di daerah Taba Penanjung secara umum berupa runtunan batuan sedimen pembawa batubara di daerah ini. Terdiri, satuan batupasir dengan sisipan batulempung dan batubara di bagian bawah dan satuan batulempung dengan sisipan batupasir dan batubara di bagian atas. “Batubara di daerah ini berasosiasi dengan batupasir berbutir sedang sampai kasar.”
Mengutip Pareke dan Aprizon Putra (2014), awal Juni 2011, Pemerintah Provinsi Bengkulu membentuk tim gabungan untuk mengambil dan menguji sampel di 17 titik berbeda di sepanjang Sungai Air Bengkulu. Hasilnya, pada 14 Juni 2011, Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu Arifin Daud menyatakan air Sungai Bengkulu positif tercemar logam berat, mangan, dan serum. Arifin juga menyatakan golongan kelas air Sungai Bengkulu turun menjadi golongan kelas III dari sebelumnya golongan kelas I.
Lalu, tambah Pareke dan Aprizon Putra, pada 18 Agustus 2011, tim Komisi Penanggulangan Bensin Bertimbal (KPBB) berkerja sama dengan Blacksmith Instituted Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup kembali melakukan uji sampel terhadap air Bengkulu. Hasilnya, Sungai Air Bengkulu dinyatakan sudah tercemar merkuri dan arsenic. Kadar merkuri dan arsenik berada pada level mengkhawatirkan, yaitu 15 PPM dan 12 PPM di dua lokasi sampel yaitu Desa Penandingan dan Surau.
Sedangkan Supriyono dkk (2015) menyatakan, pencemaran air sungai di bagian hulu diindikasikan oleh penambangan batubara oleh perusahaan perseroan terbatas (PT). “Pencemaran sungai di bagian hulu nilai indeks storet -80 menunjukkan angka yang cukup tinggi. Rata-rata, indeks pencemaran air sungai apabila tercemar berat menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.115 tahun 2003 adalah -11 sampai dengan -30,” sebagaimana tertulis di laporan tersebut.
Referensi tambahan
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Pertambangan Ramah Lingkungan
- Heryanto, Rachmat dan Suyoko, “Karakteristik batubara di Cekungan Bengkulu”, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 4 Desember 2007, halaman 247-259
- Pareke, J.T. dan Aprizon Putra, David, “Model Penyelesaian Konflik Kewenangan dalam Hal Timbulnya Dampak Dumping Limbah Batu Bara: Studi Kasus pada Pemerintah Kota Bengkulu dengan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 – No 2 – Tahun 2014, halaman 301-321
- Supriyono dkk, “Kajian Dampak Penambangan Batubara Terhadap Kualitas Air Dan Arahan Kebijakan Mitigasi Sungai Di Sub Das Hilir Sungai Bengkulu”, Jurnal Geografi Universitas Negeri Padang, Vol 4. No.2 Oktober 2015, halaman 185-197