Ketika Laut Takalar Terus Terancam Tambang Pasir

 

Matahari belum terlalu tinggi saat ratusan warga mendatangi Kantor Bupati Takalar, Kamis (18/5/17). Mereka yang berkumpul menyampaikan aspirasi adalah warga pesisir dari empat kecamatan yang perairan akan jadi pusat pengerukan pasir untuk menimbun kawasan reklamasi di laut Makassar.

Muhammad Al Amin, koordinator aksi berdiri di tengah-tengah kerumunan. Selepas sibuk mengatur barisan, dia meneriakkan penolakan kepada pemerintah Takalar yang memberi izin operasi empat perusahaan dari tujuh yang mengajukan.

Ketujuh perusahaan yang mengajukan itu ialah PT. Yasmin Bumi Resources pengerukan di Galesong Selatan dan Sanrobone, PT. Mineratama Prima Abadi  di Sanrobone dan Galesong Utara, PT. Hamparan Laut Sejahtera di Galesong dan Galesong Selatan. Lalu, PT. Alepu Karya Mandiri, PT. Gasing Sulawesi izin operasi di Galesong Utara, PT. Lautan Phinisi Resources di Galesong dan Galesong Selatan serta PT. Banda Samudra untuk di Galesong Utara dan Tanakeke.

Demonstrasi ini buntut dari disanderanya satu kapal pengeruk pasir berbendera Singapura di Galesong Utara, malam sebelumnya. Kapal asing nyaris dibakar warga yang marah karena beroperasi tanpa izin. KM Bulan bergerak atas perintah PT Boskalis Internasional Indonesia, perusahaan multinasional berbasis di Belanda.

KM Bulan belum mengantongi izin operasi, di Perairan Galesong Utara hanya mengambil sampel pasir.

Warga tak senang. Para nelayan takut kalau laut rusak kehidupan mereka akan terganggu.

Kapal asal Singapura ini diamankan warga karena masuk perairan Takalar saat malam hari. Kedatangan diketahui nelayan melalui aplikasi android yang mendeteksi kapal-kapal di sekitar perairan.

Setelah mengetahui ada tamu tak diundang, mereka bergegas mendatangi dengan perahu-perahu kecil.

Sekitar empat perahu nelayan mengepung kapal itu. Saat terkepung, terjadi ketegangan antara anak buah kapal dan nelayan, ditambah lagi di atas kapal empat kepala desa dari Kecamatan Galesong Utara ikut serta.

Kapal kemudian digiring ke tepian, hingga keesokan hari kapten kapal dari PT Gasing Sulawesi, perusahaan konsesi datang negosiasi.

Negosiasi berlangsung alot, hingga mereka dilepaskan warga atas bantuan kepolisian. Kepala desa yang kedapatan bersama kapal dipaksa menandatangi kesepakatan agar menolak aktivitas tambang pasir.

Boskalis Internasional Indonesia adalah pemenang tender proyek reklamasi Kawasan Centre Point of Indonesia (CPI) Makassar bersama konsultan supervisi PT Witteveen Bos Indonesia. Proyek ini dapat sokongan dana atas kerjasama operasi dari PT Ciputra Tbk dan PT Yasmin Bumi Asri.

Kerjasama berperkara hukum, lantaran izin reklamasi Pemerintah Sulawesi Selatan digugat Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar.

Awalnya mega proyek ini tak berencana melibatkan swasta dan disinyalir melanggar UU lingkungan hidup, PP No. 27 /2012 tentang izin lingkungan. Juga Perpres No. 122/2012 tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta Permen Kelautan dan Perikanan No. 17/2013 soal pedoman perizinan reklamasi.

Penggalian pasir di laut Takalar untuk penimbunan 157,23 hektar CPI. Pengembang membutuhkan 22.627.480 meter kubik pasir dan tanah urugan. Selain dari laut, pasir juga dari daratan di Gowa dan Takalar.

 

Warga nelayan mengepung kapal tambang pasir. Foto: Rahmat Hardiansya

 

 Abrasi mengintai

Nurlinda Taco, Tokoh Masyarakat Galesong Utara, khawatir kerusakan laut. Dia bersama masyarakat melakukan berbagai cara agar empat kecamatan yang terdmpak langsung— Kecamatan Galesong Utara, Galesong Selatan, Galesong dan Sanrobone—tak setuju pengerukan pasir ini.

Di wilayah-wilayah ini ribuan orang sebagai nelayan. “Selama ini nelayan dilarang membom ikan, ancaman bisa penjara, untuk reklamasi, pasir laut diambil, padahal kerusakan ekosistem lebih besar dari mengebom,” katanya.

Ancaman kerusakan ekosistem laut dampak penambangan pasir terbilang serius. Meski radius dua mil dari lepas pantai, namun dampak luas.

Walhi Sumsel juga mencatat, dari tujuh perusahaan yang mengajukan penambangan pasir di laut Galesong, Galesong Utara, paling besar. Ada 1.064 hektar sudah dipetakan, bahkan sebagian lokasi dikeruk diam-diam, meski baru sekadar penyemprotan. Tiga kecamatan lain, total 8.781,14 hektar.

Masalah lain, lokasi pengerukan tak jauh dari Sandrobengi, pulau  yang ditetapkan sebagai obyek wisata Takalar. Pulau kecil ini terancam hilang jika terjadi penyedotan pasir. “Pasir sekitar lokasi pasti ikut bergeser,” kata Aswar Exwar, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel.

Pemukiman warga di bibir pantai juga dalam bahaya. Air laut datang tanpa penghalang bisa masuk ke pemukiman. Kondisi ini, diperparah tanggul pemecah ombak rusak, hingga ketakutan warga pesisir tambah besar.

Bisa jadi, katanya, tambang pasir jadi awal bencana pesisir. Apalagi 20 tahun terakhir garis pantai berkurang 15-20 meter dan kian dekat dengan pemukiman.

 

Demo tolak tambang pasir di Kantor Bupati Takalar. Foto: Rahmat Hardiansya

 

Hasil laut terancam

Riset Central of Information and Development Studies (CIDES) Indonesia menyebutkan, pengerukan pasir laut punya dampak besar bagi ekosistem dan ketahanan pangan.

Dampak bioekologi pengerukan pasir laut berakibat kekeruhan, mematikan ikan hingga mengganggu proses pemijahan ikan dan biota perairan lain. Spesies bentik sebagai pemakan sisa organik, misal udang putih, rajungan, barong dan kepiting akan ikut menderita akibat kekeruhan air.

Hasil tambak rumput laut juga tergerus karena pasir akan mengurangi pertukaran gas air permukaan. Proses ini,  mempengaruhi fotosintesis oleh mikroalgae hingga penguapan berkurang. Padahal produktivitas rumput laut berpengaruh besar pada proses alamiah ini.

Takalar sebagai wilayah pesisir sejak 1987, sudah jadi penghasil Gracilaria (rumput laut) terbesar di Sulsel. Badan Pusat Statistik  mencatat sektor andalan pertanian Takalar adalah perikanan.

Nilai produksi sub sektor ini selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Produksi rumput laut Takalar pada 2012 tercatat 427.834 ton, lalu naik jadi 539.948 ton tahun 2013, pertumbuhan hingga 30% pada 2014 dengan produksi 700.604,9 ton.

Produksi rumput laut ini jauh lebih besar dari sub sektor perikanan lain, baik hasil laut atau penangkaran darat. Produksi ikan laut termasuk rajungan dan udang di Takalar hanya 4.178,3 ton tahun 2014, tahun sebelumnya jauh lebih sedikit 104,10 ton.

Sedangkan perikanan darat dengan tambak-tambak juga menggunakan air laut, lebih sedikit lagi.

Kamaruddin Azis, mantan Ketua Ikatan Sarjana Kelautan Unhas mengatakan, air laut Takalar sedikit keruh dampak kontur pasir padat.

“Pasir Takalar pasir besi,” katanya.

Pernyataan ini sejalan hasil tinjauan geologi Triangle Resource Indonesia yang meneliti kandungan mineral logam pasir besi di Takalar. Dari tiga lokasi survei ditemukan 7.758.166,50 ton konsentrat pasir mengandung Fe2O3, TiO dan Fe cukup tinggi.

Kandungan logam inilah yang mendorong pelaksana tugas reklamasi Makassar tertarik mengambil pasir tanpa memikirkan dampak bagi lingkungan dan sosial masyarakat. Padahal, sekitar 20.000-an nelayan empat kecamatan bergantung hidup.

Mongabay mencoba meminta konfirmasi kepada Bupati Takalar Burhanuddin Baharuddin, tetapi telepon tak diangkat, pesan singkat juga tidak dibalas. Nirwan Nasrullah, Sekda Takalar tak mau berkomentar banyak.

Dia mengatakan tidak tahu persis tentang izin tambang pasir, karena sejak Januari 2017, segala perizinan sudah ditangani Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulsel.  Dia menolak bicara lebih jauh. Konfirmasi kepada Kepala ESDM Sulsel Gunawan Palaguna, juga tidak mendapat respon.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,