Negara Kembali Lalai dalam Tata Kelola Garam?

Kasus dugaan penyalahgunaan izin impor yang menyeret nama Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad Boediono sedang mendapat sorotan tajam dari publik. Kasus tersebut tak hanya menegaskan ada yang tidak beres dalam pengaturan importasi garam, namun juga ketiadaan perlindungan terhadap petambak garam di Indonesia.

Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di Jakarta, Minggu (11/6/2017). Menurut dia, walau Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam sudah berlaku, namun realisasinya masih belum terlihat di lapangan.

Susan mengungkapkan, tertangkapnya Boediono oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal Polri, Sabtu (10/6/2017), semakin mempertegas ada yang tidak beres dalam pengelolaan impor garam selama ini.

(baca : Kenapa Kebijakan Impor Garam Harus Ditinjau Kembali?)

 

 

Boediono sendiri setelah ditangkap, kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan izin importasi distribusi garam sebanyak 75.000 ton. Dia melaksanakan impor setelah menerima penugasan dari Menteri BUMN untuk mengimpor garam konsumsi untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi nasional.

Akan tetapi, menurut Susan, tugas tersebut dinilai bertentangan dengan Surat Persetujuan Impor yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdaganganan yang menyatakan bahwa impor garam boleh dilakukan oleh PT Garam hanyalah garam industri dengan kadar NaCL di atas 97 persen. Itu berarti, impor garam konsumsi tidak diperbolehkan.

Namun, itu ternyata belum cukup. Meski dilarang, Boediono malah mengemas ulang 1000 ton garam industri impor tersebut dalam kemasan 400 gram dengan menggunakan cap SEGI TIGA G dan dijual ke pasaran untuk kepentingan konsumsi.

“Sedangkan 74.000 ton diperdagangkan kepada 45 perusahaan lainnya,” ungkap dia.

(baca : Garam Nasional Gagal Produksi Sepanjang 2016, Kenapa Bisa Terjadi?)

 

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali memanen garam dari palungan (batang kelapa dibelah). Garam dari Amed dikenal kaya akan mineral dan tidak pahit. Foto : Luh De Suriyani

 

Susan Herawati menegaskan, apa yang dilakukan Boediono tersebut jelas melanggar Peraturan Menteri Perdagangan 125 tahun 2015 tentang Ketentuan Importasi Garam. Menurutnya, di dalam peraturan tersebut sudah jelas tertuang bahwa importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain.

“Akibat perbuatan Boediono, 3 juta petambak garam, baik laki-laki dan perempuan menjadi semakin sulit bersaing di pasar nasional dan semakin terpuruk,” tandas dia.

 

Tata Kelola Garam

Pendapat yang sama juga diperlihatkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Menurut KNTI, kasus dugaan penyalahgunaan impor garam yang dilakukan Achmad Boediono semakin memperjelas bahwa tata kelola garam kondisinya masih carut marut.

Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, terungkapnya kasus Achmad Boediono menjelaskan bahwa Pemerintah harus segera berbenah dan memperbaiki tata niaga garam. Tak hanya itu, agar kasus serupa tidak terulang di kemudian hari, Pemerintah juga harus segera meninjau ulang kuota impor garam yang selama ini dinikmati pengusaha.

“Peristiwa penangkapan tersebut menunjukkan carut marutnya tata niaga garam dan sangat diduga kuat terjadi permainan dalam garam impor yang dibocorkan untuk dijual sebagai garam konsumsi,” ungkap dia.

(baca : Permendag tentang Garam Bertentangan dengan Semangat Nawacita)

 

Arifin sedang mengkristalkan air payau di tambak yang beratap agar bisa terus produksi garam saat musim hujan di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Siasat pelestari garam rakyat sekaligus menghijaukan tambak dengan bakau. Foto Anton Muhajir

 

Menurut Marthin, selama ini petambak garam tradisional lokal mengalami pemiskinan dengan harga jual yang rendah di pasaran. Kondisi itu diperparah karena Pemerintah tidak memperhatikan masalah yang dihadapi petambak garam lokal tersebut.

Marthin menjelaskan, dari informasi yang dikumpulkan, PT Garam membeli garam konsumsi dari petambak lokal dengan harga standar KW 3 Rp200 – 250 /Kg, standar KW 2 Rp450/kg, dan standar KW 1. Rp650-700/Kg. Dengan harga tersebut, petambak tidak memperoleh keuntungan yang optimal, bahkan tidak bisa menutupi biaya produksi.

Dengan fakta tersebut, Marthin mendesak agar kasus seperti yang dilakukan Achmad Boediono dan sejenisnya harus diusut sampai tuntas hingga mencapai mafia impor garam yang disinyalir ada di tangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

(baca : Sudahlah Harga Garam Rakyat Rendah, Petambak Makin Terdesak Impor Pula)

Selain mengusut tuntas dan memberi perlindungan penuh kepada petambak garam, Marthin mendesak kepada Pemerintah untuk segera menghentikan impor garam yang dilakukan pengusaha dan nilainya sangat besar.

“Importasi garam yang selama ini diberikan kepada pengusaha harus dihentikan dan ditinjau ulang, karena tidak adil kepada petambak garam lokal yang selama ini menderita karena garam industri dibocorkan secara sengaja untuk dijual bagi konsumsi rumah tangga,” tandas dia.

 

Inilah garam rebus yang dihasilkan Arifin dengan kelompoknya di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto Anton Muhajir

 

Mafia Garam

Di sisi lain, apa yang terjadi pada kasus Achmad Boediono, menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, itu menunjukkan bahwa selama ini tata kelola melibatkan aktor mafia garam. Praktik itu bisa terjadi, karena Pemerintah selama mengabaikan kepentingan petambak garam.

“Juga karena longgarnya mekanisme perizinan yang terbagi ke dalam empat kementerian/lembaga Negara,” jelas dia.

Halim memaparkan, dalam kasus penyalahgunaan impor garam, bisa ditelusuri bahwa dalam impor garam memang ada peluang besar untuk ‘bermain’. Hal itu bisa terjadi jika:

(1) Data produksi garam nasional yang sulit diverifikasi;

(2) Celah data ini dimanfaatkan oleh importir untuk mengajukan izin impor garam; dan

(3) Surat rekomendasi KKP bisa dijadikan sebagai celah kedua apabila eksplisit menyebut alokasi garam impor untuk konsumsi.

Menurut Halim, karena garam impor pada umumnya berstandar garam industri, itu menegaskan ada permainan di tingkat importir dalam pengajuan izin dan PT Garam selaku eksekutor yang juga memanfaatkan peluang dagang ini.

Indikatornya terjadinya permainan itu, papar Halim, adalah:

(1) Belum ada pendistribusian kartu petambak garam, asuransi jiwa petambak garam, dan asuransi usaha pertambakan garam;

(2) Pembukaan kran impor garam tanpa lebih memprioritaskan penyerapan garam rakyat; dan

(3) Impor garam dilakukan justru dialokasikan untuk garam konsumsi, bukan industri.

Sebelumnya, Halim juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan importasi garam yang akan dilaksanakan pada 2017. Peninjauan dilakukan, karena Pemerintah dinilai belum bisa menjamin penyerapan garam produksi rakyat di semua sentra produksi dan pergudangan rakyat.

“Pemerintah Indonesia dinilai gagal memberdayakan petambak garam nasional yang ada di sejumlah sentra produksi garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional sepanjang 2016. Akibatnya, produksi garam di tahun tersebut anjlok ke angka 118.054 ton saja dari target 3,2 juta ton,” ungkap dia pekan ini.

Imbas dari kegagalan produksi tersebut, Halim mengatakan, pada 2017 Pemerintah Indonesia melaksanakan impor garam sebesar 200 ribu ton yang dilaksanakan pada semester I oleh PT Garam (Persero).

Kegagalan produksi tersebut, dalam sudut pandang Halim, menjadi kegagalan kabinet kerja pimpinan Presiden RI Joko Widodo. Penilaian tersebut, karena bukan hanya gagal melakukan produksi, kebijakan importasi garam juga akhirnya dibuka dengan alasan yang sama.

“Besaran target produksi 2016 sudah diturunkan, dari 3,6 juta ton menjadi 3,2 juta ton. Ironisnya, kegagalan ini diperparah dengan kebijakan importasi garam yang merugikan kepentingan petambak garam rakyat,” ungkap dia.

 

Badrung, seorang petani garam di Teluk Palu, Sulawesi Tengah sedang menggarap lahannya. Petani garam khawatir reklamasi di Teluk Palu mengganggu usaha mereka. Foto : Themmy Doaly

 

 

Kegagalan Produksi 2016

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi, dalam kesempatan berbeda menjelaskan kenapa garam nasional gagal mencapai target produksi yang ditetapkan sebesar 3,2 juta ton pada 2016.

Menurut Brahmantya, penyebab kegagalan melakukan produksi, tidak lain disebabkan oleh kondisi alam yang tidak bersahabat.

“Garam tahun lalu puso (gagal panen) karena benar-benar kondisi alam. Kita sudah berusaha keras, tapi kondisi alam yang sangat tidak bersahabat membuat produksi gagal mencapai target karena banyak yang gagal produksi,” ungkap dia.

Brahmantya menjelaskan, untuk bisa melakukan produksi garam yang normal, idealnya memang diperlukan sinar matahari dan iklim yang panas. Prasyarat cuaca tersebut, mutlak dibutuhkan para petambak garam di berbagai daerah untuk bisa memproduksi garam yang bagus dan berkualitas.

Namun, menurut dia, prasyarat tersebut pada 2016 tidak bisa diperoleh, karena anomali cuaca La Nina sangat mengontrol kemampuan petambak garam melakukan produksinya. Karena La Nina tersebut, petambak tidak mendapat sinar matahari terik mengingat sepanjang 2016 dilanda musim kemarau basah.

“Tahun 2016 itu, curah hujan rerata lebih besar dari 150 milimeter per bulan. Bahkan, di beberapa tempat ada yang mencapai 300 milimeter per bulan. Itu kondisi yang menyulitkan bagi para petambak garam,” ujar dia.

(baca : Ketika Garam dan Bakau Bersatu, Siasat Pelestariannya di Pesisir Utara Lamongan)

Selain jumlah produksi yang jauh dari target pada 2016, KKP juga merilis stok garam yang tersedia sampai akhir 2016 lalu jumlahnya mencapai 112.671 ton. Dengan demikian, pada 2017 ini, KKP menargetkan bisa terlaksana panen komoditas garam linear hingga mencapai 3,2 juta ton.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,