Petani Pembelajar: Ketika Yusuf Menjadi Satu-Satunya Petani Organik di Desanya

Tekadnya sudah bulat untuk menjadi petani organik. Dalam setiap pelatihan ataupun diskusi dalam kelompok tani, dirinya selalu mengatakan tidak perlu menggunakan pestisida untuk lahan pertanian.  Dia pun rajin menyilangkan berbagai benih padi, untuk mencari galur padi yang tahan wereng dan hama penyakit.

Namanya singkat. Yusuf. Seorang petani Desa Mulyasari, Kecamatan Bango Dua, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Walaupun terkesan kalem, tetapi apabila membahas isu pertanian, dirinya amat bersemangat untuk berbagi pengalaman pembelajaran, khususnya akan pentingnya menjaga ekosistem pertanian.

“Petani sekarang sudah kecanduan menggunakan pestisida dan pupuk kimia, padahal menggunakan pupuk organik saja sudah cukup,” jelasnya memulai penjelasan. “Kalau petani lain untuk modal awal tanam padi bisa mencapai Rp5 juta, modal awal saya cukup Rp150 ribu saja. Kan saya gak pakai pestisida, pakai pupuk organik cair saja, lebih hemat.”

Yusuf mempraktekkan berbagai metode pembelajaran di lahannya yang kurang dari dua hektar. Dia pun tidak merasa rendah diri, karena kerap dianggap nyeleneh dengan sikapnya yang tidak biasa dimata teman-teman petaninya. Di kampungnya para petani belum percaya seratus persen bahwa pertanian organik dapat bertahan.

Menurut keyakinannya, penggunaan pestisida yang terbentuk sejak masa revolusi hijau menjadi ujung pangkal perubahan perilaku petani. Selain penggunaan pestisida, revolusi hijau pun menggiring petani untuk hanya menjadi pengguna benih padi yang dipromosikan pemerintah. Akibatnya, petani jadi malas bereksperimen.

Hasil revolusi hijau pun dirasakan petani saat ini. Sejak 1978, hama wereng batang coklat sering terjadi, akibatnya gagal panen maupun penurunan produktivitas panen secara signifikan pun terjadi. Belum lagi penggunaan pestisida berlebihan yang menyebabkan resistensi dan memusnahkan musuh alami wereng. Wereng membawa virus yang menyebabkan padi menjadi kerdil hampa dan kerdil rumput.

 

Perbedaan antara sawah Yusuf dan milik tetangganya. Bagian kiri merupakan lahan Yusuf yang ditanami secara organik, sebelah kanan merupakan lahan padi menggunakan pestisida. Foto: Ica Wulansari

 

Petani Pembelajar

Di tengah berbagai permasalahan yang dialami petani, bagi Yusuf petani harus tetap optimis dan bersemangat. Pilihannya adalah menjadi petani yang kreatif dan berdaya juang.

Yusuf bertutur, ia menjadi petani organik sejak tahun 2003 setelah mengikuti pelatihan pengamatan hama terpadu. Menurut Yusuf, praktek bagi petani menjadi penting, banyak rekan-rekannya petani yang ikut pelatihan namun enggan mempraktekan ilmu yang diterimanya.

Menurut  Yusuf, petani perlu mengubah pola pikir dan memiliki keyakinan dan percaya diri bahwa lahan yang bebas zat kimia akan baik dan produktif karena musuh alami wereng akan hidup dan jumlah wereng akan berkurang.

“Banyak yang ikut pelatihan, pulang dari pelatihan gak dipraktekkan, kalau saya, langsung praktek.” Walhasil, Yusuf pun lalu menjadi petani organik seorang diri di tengah kepungan lahan padi milik rekan-rekannya yang menggunakan pestisida.

Ia pun tak memungkiri, perasaan malas yang kerapkali menerpa petani. Jalan termudah adalah membeli bahan pestisida. Berbeda dengan Yusuf yang tidak lagi menggunakan pestisida. Dengan dibantu ayah dan adiknya, ia membuat pupuk organik cair yang dia olah sendiri dari kotoran ternak.

Baginya petani juga harus mampu berhitung, tidak saja dari produktivitas padi yang dihasilkan namun juga dari keseluruhan analisa usaha tani.

“Petani umumnya ngitung berapa banyak hasil padinya, tapi tidak pernah ngitung seluruh pengeluaran dan keuntungan, hasil padi pakai pestisida bedanya gak banyak, tapi modalnya keluar banyak,” kata Yusuf. Dalam perhitungannya dengan pestisida produktivitas padi sedikit lebih tinggi yaitu berbeda 200 kuintal per 100 bata.

Ia pun menjamin, bahwa produksi padinya lebih sehat dan enak konsumsi karena bebas zat kimia

Selain bertani secara organik, Yusuf pun rajin menggali pengetahuan dengan melakukan penyilangan benih padi yang dia beri nama bongi (hasil silangan benih kebo dan pandanwangi). Menurutnya, itu diawali dengan keikusertaannya dalam pelatihan pemulia tanaman.

Padi bongi hasil silangannya, berumur 125 hari, di dalam satu pangkal padi, bisa muncul 3-4 batang. Baginya, menanam benih hasil eksprimen merupakan cara agar petani dapat menghasilkan benih berusia tanam pendek, namun produktivitasnya tinggi. Jikalau gagal, ia tidak kecewa, karena ini merupakan langkah belajar yang terus ia lakukan.

 

Benih silangan Yusuf yang ia namai bongi (silangan kebo dan pandanwangi). Foto: Ica Wulansari

 

Berkomunikasi dengan Alam

Hal lain yang menarik dari Yusuf adalah ia tidak pernah membunuh tikus ataupun burung yang kerap dianggap hama. Dia mengaku, dirinya menggunakan cara manual mengusir burung yaitu berteriak dan memukul-mukul ember, agar burung pergi dari lahan padinya.

Baginya, alam telah mengatur rejeki masing-masing mahluk. Bahkan ia mengaku kerap berkomunikasi dengan burung dan tikus.

“Perlu bagi-bagi rejeki, biar semua kebagian. Saya tidak mau membunuh, burung dan tikus kalau kamu mau makan padi saya boleh, tapi jangan banyak-banyak supaya saya tidak rugi,” ungkapnya lugu.

Filosofi percaya dengan adanya harmonisasi dengan alam inilah yang membuat seorang Yusuf tangguh menjadi petani organik, meski seorang diri. Dia pun percaya petani pembelajar adalah jawaban untuk menghadapi dinamika perubahan lingkungan.

Dengan gaya hidup sederhana, Yusuf telah mengajari kita untuk bersikap mandiri dan tidak serakah. Ia pun berani mengambil keputusan mana yang terbaik untuk mengolah lahan yang dimilikinya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,