Motor bodi kayu berpenumpang enam orang mengantar kami pulang ke Tidore, Maluku Utara, pertengahan April lalu. Baru sekitar 15 menit keluar dari Pelabuhan Desa Maregam, angin dan riak gelombang mulai muncul. Jarum jam menunjukkan pukul 14.15. Saat perahu meluncur agak ke tengah, tiba-tiba dari jarak sekitar 200 meter muncul kawanan lumba-lumba berloncatan di permukaan laut.
Kami berteriak meminta motoris mendekati lumba-lumba. Motoris berusaha mengarahkan perahu. Sayangnya, ketika perahu kami datang, lumba- lumba tak muncul lagi. Mereka menjauh dari perahu dan lari ke utara laut Pulau Mare.
Hatta Hamzah, motoris sekaligus pemuda Pulau Mare, yang mengantarkan kami, mengatakan, lumba-lumba bermain di depan pulau ini tak setiap hari. Kami terbilang beruntung karena sempat melihat lumba-lumba bermain meskipun tak sempat mengabadikan dalam foto maupun video.
Baca juga: Di Balik Keindahan Pulau Mare
Jadi, ketika mengunjungi pulau ini jangan banyak berharap bisa menyaksikan lumba-lumba bermain meskipun laut Pulau Mare masuk kawasan pencadangan konservasi perairan di Malut. Kawasan ini disebut-sebut sebagai tempat bermain lumba-lumba atau Laut Kahiya Masolo dalam bahasa Tidore itu.
“Lumba-lumba itu muncul tak menentu waktu. Kalau bernasib baik kita langsung bertemu di depan Kampung Mare Gam atau di Kahiya Masolo,” kata Hatta.
Dulu, di Kahiya Masolo, setiap hari pasti ada lumba-lumba bermain. Kini, sudah jarang terlihat. Kahiya Masolo merupakan kawasan yang membentuk seperti teluk dan di kelilingi atol (sekumpulan terumbu karang yang berbentuk melingkar atau hampir menyerupai cincin) itu hanya terlihat laut biru dengan terumbu karang mulai rusak.
Untuk masuk ke teluk harus hati-hati. Jika motoris tak paham kondisi kawasan, bisa menabrak atol yang menyembul ke permukaan laut. Di bagian depan terdapat atol memanjang sekitar 50 meter selebar enam meter. Kawasan ini menjadi tempat persinggahan nelayan jika memancing di malam hari.
Kahiya Masolo dari Desa Mare Kofo sekitar 3,5 kilometer. Begitu juga dari Desa Maregam, jarak hampir sama. Di belakang Kahiya Masolo, ada hutan bakau masih terjaga.
Menurut Ahmad Syarif, warga Mare Gam, hutan bakau ini masih terjaga karena sesuai kepercayaan warga ada panjaganya. “Orang di sini menyebutnya rumah obat. Di situ ada rumah obat yang setiap saat masih dikunjungi warga yang memiliki hajatan atau permintaan apa saja kepada sang pencipta,” katanya.
Warga meyakini di mana rumah obat dibangun di situ tak bisa dirusak atau diganggu karena menjadi tempat bersemayam para leluhur.
Untuk itulah, hutan bakau di Pantai Kahiya Masolo masih terawat. Warga takut merusak atau mengambil kayu dari hutan mangrove itu. “Warga takut kena tulah.”
Rumah obat adalah sebuah bangunan atau rumah kecil dibuat sederhana berukuran 4×5 meter sebagai tempat sesembahan atau permintaan kepada alam dan para leluhur. Rumah obat ini dikunjungi warga ketika mereka akan menunaikan hajat atau sebagai tempat pengobatan untuk keluarga dan kerabat yang sakit.
Selain itu, katanya, mereka juga sudah mendapatkan informasi (sosialisasi) dari instansi terkait menyangkut mangrove dan fungsinya.
Untuk Perairan Kahiya Masolo, telah ditetapkan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan sebagai kawasan konservasi khusus lumba- lumba dan penyu seluas 2.810 hektar. Luasan konservasi mulai Perairan Oba Tengah sampai Mare.
Setelah penetapan 2012 hingga kini belum terlihat ada sesuatu yang dibangun, walau hanya penanda. Belakangan, kawasan konservasi ini sudah diserahkan ke provinsi tetapi belum ada kegiatan.
Dalam dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Tidore Kepulauan, Mare belum masuk kawasan pencadangan konservasi perairan. Pemkot Tikep akan memasukkan dalam RTRW revisi dalam waktu dekat.
Di lapangan belum terlihat mana batas wilayah boleh eksploitasi maupun kawasan larangan. Ironis lagi, masyarakat setempat tak tahu soal itu. Masyarakat hanya mendengar cerita.
“Masyarakat juga bingung karena sudah ditetapkan jadi kawasan konservasi tetapi tak ada tanda atau petunjuk, misal ada papan pengumuman dipasang di karang atau depan hutan mangrove di Kahiya Masolo,” ucap Hatta.
Tak hanya warga yang tak tahu, pemerintah desa juga. Rabihim, Kades Marekofo menilai, penetapan kawasan hanya keinginan pemerintah tanpa ada koordinasi dengan masyarakat.
“Kalau mau Kahiya Masolo bisa ada partisipasi dari masyarakat, harus datang ke masyarakat dua desa ini lalu bicara supaya kita sama-sama. Ini kan rumah kami kenapa tak minta izin kepada kami?” katanya.
Dia bilang, warga tahu bagaimana lumba-lumba bisa datang bermain ke laut sekitar mereka. Warga setempat meyakini ada hal-hal mistik menyertai muncul tidaknya lumba-lumba di Kahiya Masolo.
“Pemerintah harus datang bisa bicara bersama bagaimana mengembalikan kepercayaan para leluhur yang bisa memanggil kembali lumba-lumba bisa bermain lagi di Kahiya Masolo itu.”
Pemerintah desa, katanya, baru dua kali diundang pertemuan guna mendapatkan penjelasan kawasan itu telah menjadi konservasi lumba-lumba.
“Pernah sekali di Tidore, sekali di Ternate.”
Samsudin Kadir, warga Pulau Makian yang telah menetap di Ternate menceritakan, sekitar 15 tahun lalu kala menggunakan kapal laut dari Ternate ke Pulau Makian, ketika sampai di laut Mare, pasti menemui kawanan lumba-lumba bermain. Mereka mengikuti kapal yang berjalan.
Lumba-lumba itu, katanya, kadang mendekat ke kapal bahkan tak jarang berkejaran dengan kapal. Pemandangan ini jadi tontonan gratis para penumpang.
“Jika kapal sampai di Pulau Mare, sudah dipastikan kita akan menyaksikan lumba-lumba yang berlomba dan berkejaran dengan kapal,” katanya.
Sayangnya, ucap Samsudin, sekitar lima tahun belakangan lumba-lumba jarang terlihat. “Kalaupun ada lumba-lumba bermain agak menjauh dari kapal yang lewat di depan Pulau Mare.”
Samsudin tak tahu apa penyebab pasti hingga kawanan lumba-lumba jarang bermain dan berkejaran dengan kapal penumpang atau perahu.