Menanti Lebih Banyak Lagi Perempuan Pejuang Penjaga Alam

 

“Indonesia, tanah yang suci. Tanah kita yang sakti. Disanalah aku berdiri, M’jaga ibu sejati…”

Hari itu, lagu Indonesia Raya dinyanyikan tiga stanza oleh sekitar 50-an orang, mayoritas perempuan yang berkumpul dalam acara Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air, di Pesantren Ekologi Ath-Taariq, Garut, Jawa Barat.

Dengan pemilihan lagu ini, mereka ingin menyampaikan pesan, Indonesia punya kekayaan alam berlimpah dan rakyat siap menjaga.

Noer Fauzi Rachman, aktivis gerakan reforma agraria mengatakan, konsep nyanyian Indonesia Raya menjadi pemaknaan dalam menjaga kehidupan tanah air.

”Perempuan jadi penanda baru untuk perintis dan terdepan dalam pemulihan dan mewujudkan tanah air lebih baik,” katanya di jambore yang berlangsung tiga hari, 14-16 Juli ini.

Pada era kapitalisme ini, katanya, tanpa disadari bikin berperilaku konsumtif, warga minim berproduksi. Tanpa disadari lahan pertanian menjadi monokultur dan perkebunan lain.

Kala terus berlangsung, katanya, Indonesia akan kehilangan jati diri, memiliki tanah air kaya dan tak dapat dimanfaatkan masyarakat. Bahkan, krisis ekologi terjadi karena eksploitasi alam.

”Kami menemukan krisis sosial ekologis makin cepat, kriminalisasi bertambah, tapi pejuang di daerah yang hanya terlihat laki-laki,” kata Siti Maimunah, peneliti Sajogyo Institute, Minggu (16/7/17).

Perampasan tanah dan pemiskinan terorganisir menimpa warga, dengan kehadiran sawit, pertambangan, hak penguasaan hutan , hutan tanaman industri, sampai cetak sawah.

Perempuan paling terbeban dalam krisis ini. Krisis sosial ekologi ini terekam di 13 desa yang diteliti Sajogyo. Perempuan-perempuan terdampak kerusakan sumber daya alam dan memiliki hambatan untuk berjuang.

Penggunaan istilah Pejuang Tanah Air ini, kata Mai, sapaan akrabnya,  bukan berarti untuk gagah-gagahan. Ia didasari kondisi perempuan di Indonesia dengan wilayah terancam kerusakan perlu memiliki kekuatan untuk berjuang.

Keadaan ini mendesak, karena kalau tak ada perjuangan melawan kekuatan perusak, maka keberlangsungan sekaligus kualitas lingkungan yang baik sulit terjaga.

Tak mudah bagi perempuan muncul sebagai pejuang maupun pemimpin. Aleta Baun, biasa dikenal Mama Aleta, pejuang perempuan dari Mollo, Nusa Tenggara Timur, berbagi pengalaman.

Dia memperjuangkan lingkungan melawan penambangan marmer di NTT. Suara-suara miring dan beragam tuduhan dari pelacur, selingkuh, sampai ancaman bunuh, dia terima.

”Waktu tenaga 90%, bahkan seluruh kehidupan untuk berjuang menyelamatkan alam mereka,” katanya.

Dia bilang, biasa perempuan peka terhadap alam. ”Perempuan akan memikirkan bagaimana keberlanjutan alam, karena dia melahirkan dan menyusui. Ini adalah produksi yang bersentuhan langsung dengan alam.”

Gunarti, perempuan adat Sedulur Sikep dan pegiat Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng mengatakan, kelestarian bumi tak hanya berada di pundak pemerintah, ataupun laki-laki juga perempuan.

”Semua perlu seimbang. Kita perlu ingat asal usul kita. Kita dititipi warisan dengan sejarah, budi pekerti, tanah dan air dan seluruh isinya hingga mesi terjaga.”

 

Peserta Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air di Garut. Foto: Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia

 

Kebaikan alam

Pada hari terakhir jambore, ada gelar produk-daerah karya perempuan dari berbagai wilayah, mulai Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Dari Sumatera, ada tikar anyaman purun, Nusa Tenggara kain-kain tenun. Ada juga pangan lokal,  bibit lokal, rempah-rempah maupun kerajinan lain. Tak luput beragam produk organik dari tuan rumah, Pesantren Ath-Taarig.

Nissa Wargadipura, pendiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq mengatakan, agroekologi jadi gagasan dari pesantren yang berdiri di lahan seluas 8.500 meter persegi. Di lahan inilah mereka berproduksi, mencukupi konsumsi pesantren bahkan dijual.

Keluarga, kata Nissa, kunci penting untuk berdaulat pangan.”Ada sebuah etika dan moral, tak hanya berbicara pasar, tapi keberkahan, kemuliaan, kehormatan dan martabat alam perlu dijaga. Maka bertani menjadi nilai ibadah,” katanya.

Di lahan yang berlatar Gunung Guntur, Papandayan dan Cikuray ini, mereka membagi wilayah pengelolaan agar tak berkekurangan bahan pangan. Ada zona perikanan, tanaman liar, benih, sawah, dan sayuran.

Pupuk dan benih di pesantren dikelola mandiri. Nissa selalu mencari benih-benih lokal dan membuat bank benih. Benih lokal, katanya, paling bagus karena tak harus menghabiskan air banyak, justru mendatangkan air.

Dengan jambore ini, katanya,  dia mengajak untuk menyadari kebaikan alam atas pangan sehari-hari.

Pada akhir acara, peserta Jambore dapat mengekspresikan diri melalui lukisan atas harapan terhadap perempuan dan perjuangan tanah air ke depan. Kebebasan berekspresi ini akan jadi penanda pada salah satu dinding pesantren. Ia akan mengingatkan sebuah cerita perjuangan tanah air.

 

Sayur organik hasil tanam di lahan Pesantren Ekologi Ath-Taariq. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,