Tiga Mega Proyek Penyelamatan Bumi Tengah Dikembangkan, Penasaran?

 

 

Beberapa tahun lalu, sebuah film dengan seting mengejutkan, dirilis. Terbukti, film ini menjadi salah satu box office Hollywood. Judulnya Snowpiecer, yang dibintangi oleh pemeran Captain America, Chris Evans. Film yang dirilis 29 Juli 2013 ini, berkisah tentang bumi yang sudah membeku akibat eksperimen gagal yang berusaha menyelamatkan bumi dari pemanasan global.

Eksperimen tersebut dilakukan dengan menembakkan zat bernama CW7 ke lapisan atmosfer Bumi. Tujuan, agar bumi menjadi lebih dingin. Alih-alih mendinginkan bumi, eksperimen ini justru menciptakan zaman es di bumi yang menghancurleburkan hampir seluruh makhluk hidup.

Empat tahun berselang, film itu bukan terlihat khawayan semata. Beberapa eksperimen “gila” tengah dilakukan untuk mendinginkan plenet kita ini. Para ahli berpendapat, saat ini sudah terlalu banyak karbon di atmosfer, untuk mengindarkan bumi dari dampak perubahan iklim yang mengerikan, kita perlu menggunakan teknologi pendingin iklim global secara masif dan cepat.

 

Level karbon dioksida yang terlihat meningkat. Sumber: National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA)/Climate.gov

 

Sejak Presiden Amerika Donald Trump menarik diri dari Paris Climate Agreement, PBB memperkirakan bahwa dunia sedang berada di luar jalur dalam upaya menjaga iklim Bumi dari kenikan 1.5 derajat Celcius. Tujuan yang disetujui bersama oleh 195 negara pada 2016.

Meski begitu, upaya mendinginkan atmosfer ini dinilai berisiko dan amat sangat mahal. Selain itu, riset yang sedang berlangsung juga menuai kritik. Banyak yang meyakini bahwa fokus pada teknologi semata akan membuat kita lengah dan mengesampingkan kebijakan-kebijakan dekarbonisasi yang sedang dilakukan. Meski begitu, penelitian tetap berlangsung dan inilah tiga proyek geoengineering yang tengah dikembangkan.

 

 

Kipas penyerap karbon yang dibangun di Zurich, Swiss. Foto: Climeworks via Business Insider

Kipas Penyerap Karbon di Swiss

Sebuah perusahaan di Swiss bernama ClimeWorks, sebagaimana dilansir dari Business Insider, menggunakan kipas raksasa yang menyerap karbon dari udar. Karbon tersebut digunakan untuk menumbuhkan sayur-sayuran di kebun di sekitar. Para ahli di perusahaan tersebut memperkirakan, kipas-kipas tersebut akan menyerap sekitar 900 ton karbon dari udara setiap tahun, dengan biaya sekitar $600 per ton.

Kritik pun disampaikan ke perusahaan tersebut, karena terlalu mahal. Bahkan lebih mahal dari teknologi penangkap karbon, yang mampu menangkap karbon dari pabrik-pabrik yang menggunakan BBM.

 

 

Meski begitu, Climeworks yakin bahwa biayanya akan jauh lebih murah jika lebih banyak kipas raksasa yang digunakan. Tujuan perusahaan tersebut adalah mengurangi 1% karbon dari atmosfer dengan menggunakan teknologi ini, dan mereka perlu membangun 250.000 teknologi serupa di berbagai tempat di dunia.

 

 

Aerosol dilepaskan ke atmosfer melalui solar geoengineering. Grafis: Funnel, INC via Harvard Magazine.com

Solar Geoengineering

Dalam solar geoengineering, aerosol dilepaskan ke atmosfer yang dimaksudkan memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa, dan mencegah sebagian sinar masuk ke atmosfer kita.

Tim ilmuwan Harvard telah mempelajari hal ini selama bertahun dan mereka merencanakan eksperimen terbuka pertama pada 2018. Mereka menggunakan dana besar dari beberapa donor swasta, termasuk Bill Gates.

 

Balon udara panas yang dilepaskan sekitar 20 kilometer di atas gurun Arizona. Sumber: http://assets.climatecentral.org/

 

Percobaan ini akan melibatkan pengiriman balon udara panas sekitar 20 kilometer ke atas gurun Arizona dan melepaskan kalsium karbonat, untuk mengukur pengaruhnya terhadap atmosfer. Ini akan menjadi eksperimen outdoor pertama untuk solar geoengineering.

Bahkan salah satu ilmuwan yang memimpin eksperimen ini mengatakan bahwa solar geoengineering adalah “prospek yang mengerikan.” Mengubah atmosfer untuk menjaga Bumi tetap dingin dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak dapat kita duga. Bahkan, perubahan alami pada atmosfer planet dapat berakibat buruk.

 

 

Fitoflankton yang hidup di lautan. Meningkatnya keasaman air laut akan berdampak terhadap rantai makanan dan populasi biota. Foto: Richard Kirby, Plymouth University, United Kingdom

“Memberi makan” besi kepada Fitoplankton

Fitoplankton, organisme mikroskopis yang hidup hampir di semua samudra, menyukai makan zat besi. Mereka juga menyedot karbon dioksida dari atmosfer. Para ilmuwan sedang menguji -dan telah melakukan uji coba- apa pengaruh dan hubungan membuang besi ke lautan, terutama ke populasi fitoplankton,  dengan kapasitasnya mengurangi jumlah karbon di atmosfer.

Sudah ada 13 tes terbuka, membuang besi ke lautan, sejak tahun 1990, menurut majalah Nature. Eksperimen kontroversial lain mungkin terjadi di lepas pantai Chile – yang diduga bertujuan menghidupkan kembali dunia perikanan Chile, karena berkembangnya jumlah fitoplankton dapat menggemukkan kembali rantai makanan dan menyebabkan populasi ikan betambah banyak.

 

Ilustrasi memberi makan fitoplankton. Sumber: geoengineering2012.files.wordpress.com

 

Pada 2012, sebuah proyek kontroversial dilakukan di lepas pantai British Columbia, Kanada, yang memicu kemarahan Pemerintah Kanada, ahli kelautan, dan PBB. Seorang pengusaha Amerika yang kontroversial, Russ George, menciptakan gugusan plankton buatan seluas 10.000 mil persegi, guna meningkatkan populasi fitoplankton yang menyerap karbon dioksida dan populasi salmon di wilayah tersebut.

Para ilmuwan memang tidak yakin bahwa membuang besi di laut secara efektif dapat menangkap karbon. Juga, tidak yakin dengan mengubah ekosistem lautan seperti itu sepadan dengan risiko yang bakal diterima. (Berbagai sumber)

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,