Mengulas Kematian Gajah di Kebun Binatang Bukittinggi, Radang Sendi atau TBC?

 

Kabar duka datang dari Kebun Binatang atau Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK), Bukittinggi, Sumatera Barat. Satu gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis) bernama Bita mati pada Selasa (26/9/17).

Matinya gajah berumur 28 tahun ini terjadi saat para medis dan petugas kebun binatang sedang melakukan rutinitas sore di kandang Bita. Gajah ini sudah tiga bulan sakit.

Sore itu, sekitar pukul 17.24, Bita baru saja diberi makan dan obat-obatan. Setelah makan,  petugaspun membawa jalan mengitari kandang, tak berapa lama tubuh Bita roboh. Sontak bikin petugas sekitar kandang kaget.

Petugas kebun segera pengecekan tubuh Bita, namun selang 20 menit nyawa Bita tak tertolong. Gajah yang mendiami kebun binatang Bukittinggi sejak berumur delapan tahun itu pergi untuk selamanya.

Ikbal Bahal, Kepala TMSBK Bukittinggi, Bita sudah sakit cukup lama, kondisi terus menurun sejak tiga bulan belakangan. “Nafsu makan berkurang, ada pembengkakan di kaki belakang, saya perhatikan kaki belakang tegang dan agak diseret kalau berjalan,” katanya saat dihubungi Mongabay, Sabtu (9/10/17).

Tak lama, kaki kiri bagian depan Bita juga sakit. Melihat kondisi gajah makin memburuk akhirnya mereka meminta dokter khusus satwa liar, Wisnu Wardana mengecek keseluruhan.

Dari hasil pemeriksaan Wisnu diketahui Bita mengalami arthritis (peradangan sendi). Setelah pemeriksaan, dokter menyarankan menambah porsi makan disertai pemberian suplemen. “Selain diberi makanan biasa, Bita juga dibuatkan bubur,” katanya.

Menurut, Ikbal sebelum mati, Selasa sore, gajah dari Minas, Riau ini tak mau makan sama sekali. “Kondisi lemah, asupan makanan tak ada, infuspun dokter kesulitan mencari pembuluh, saking lemahnya  berdiripun sering bersandar, malah bertumpu pada belalai, dengan cara disangkutkan ke tembok,” katanya.

Untuk memastikan penyebab kematian Bita, tim dokter hewan sudah nekropsi atau bedah bangkai untuk ambil sampel. Beberapa organ penting diteliti di laboratorium hewan Veteriner di Baso, Agam untuk diketahui penyebab kematian.

Hingga kini, laporan nekropsi belum selesai. Di Kebun Binatang Bukittinggi ini, hanya ada sepasang gajah. Dengan kematian gajah betina itu, berarti tinggal satu lagi, gajah jantan  bernama Zidane.

 

Sakit sendi atau TBC?

Dokter hewan Wisnu Wardhana, mengatakan, baru dikabari empat hari sebelum kematian Bita. Saat itu kondisi sudah memburuk. Sebelum itu, pengelola kebun binatang sempat menghubungi dokter Wisnu dan menyarankan tambahan konsentrat, yakni dedak campur gula, kedelai, jagung ditambah mineral dengan tujuan meningkatkan berat badan. Ternyata, tak banyak menolong karena kondisi Bita terlalu berat.

“Saat dikunjungi, sudah berat, sudah diperban, hasil diagnosis saya, Bita rheumatoid arthritis (radang sendi-red) terlihat ada perubahan di sendi-sendinya. Saat itu kondisi sudah cukup serius kita lakukan pengobatan dua hari, tak bertahan, empat hari kemudian mati,” katanya.

Dari foto-foto hasil nekropsi yang diberikan petugas, Wisnu melihat seperti mengarah pada TBC. “Tetapi apakah perubahan bentuk tulang dari kaki kiri gajah merupakan efek dari penyakit ini belum dapat disimpulkan. Tunggu diagnosa hasil labor dulu.”

Dokter hewan sekaligus praktisi satwa liar ini mengatakan, salah satu penyebab kematian Bita kurang nutrisi. Bisa jadi, katannya, karena jatah makanan kerap diambil gajah jantan sekandang.

“Perlu diperhatikan nutrisi, disitu dua gajah, jantan dan betina berdampingan, gajah jantan biasa dominan. Kadang-kadang makanan si Bita dijarah sama jantan, mungkin ini tak ketauan petugas kebun jadi asupan makanan lama-lama kurang,” katanya.

 

Suasana TMSKB Bukittinggi pada saat har libur. Foto Vinolia/Mongabay Indonesia

 

Dengan kondisi makanan relatif kurang itu, kata Wisnu,  berbagai penyakit bisa masuk, karena daya tahan tubuh melemah.

Sebenarnya, gajah itu hewan tahan banting, tahan berbagai penyakit, jika kondisi tidak sehat berbagai penyakit bisa datang. Selain itu, penyebab penyakit radang sendi Bita bisa jadi faktor kandang yang dingin, hujan dan lembab. “Kembali lagi, jika fisik dan stamina bagus, makanan bagus, gajah bisa tahan banting hingga 60-65 tahun.”

Wisnu mengingatkan, agar memperbaiki nutrisi dan sering melatih gajah bergerak, beraktivitas, terpenting dimandikan.

Dia bilang, kandang gajah di Kebun Binatang Bukittinggi memang jauh dari luas standar internasional untuk sepasang gajah yakni satu hektar dengan lantai tanah. Luasan tambah 10% kalau ada tambah satu. Karena keterbatasan area, pengelola bisa mensiasati dengan rajin-rajin melatih gerak. 

Wishnu Sukmantoro, Elephant Conservation National Coordinator, meragukan jika penyebab kematian Bita radang sendi. Penyakit ini,  kalau tak menahun tak sebabkan kematian. Kalau matipun, katanya,  biasa gajah tua, Bita baru 28 tahun.

Dia menduga arthritis ini gejala lanjutan setelah ada penyebab penyakit lain. Menurut dia, ada banyak hal perlu dikhawatirkan dari berbagai kasus gajah, baik di training centre, botani centre maupun di kebun binatang, namun paling sering penyakit herves.

Penyakit ini, katanya,  disebabkan virus yang banyak ditemukan pada pakan gajah. Herves jadi penyebab utama kematian gajah tak hanya di Indonesia juga di Asia, dalam beberapa kali simposium soal ini.

Selain herpes, kata Wishnu,  ada beberapa kasus pakan gajah yang masih dianggap “misteri” karena menyebabkan kejadian blotting.  Blotting itu gajah,  semacam asam lambung hingga kandungan gas dalam lambung tinggi. Namun, katanya, jarang sekali blotting sebabkan kematian kecuali ada serangan lain seperti keracunan.

Penyakit lain, cacingan.  Gajah cacingan biasa mengalami penurunan berat tubuh, dan mudah dijumpai saat nekropsi.

Selain itu, katanya, kemungkinan gajah terkena TBC juga tinggi pada inflamasi dalam kondisi kronik. “Lebih jelasnya perlu cek dari nekropsi.”

Dalam proses nekropsi itu, katanya, perlu tahu juga apa yang akan dicek, bisa jadi pengecekan tak banyak karena biaya cukup mahal “Ditanyakan apa saja yang dicek, kalau radang sendi itu mereka ambil sampel darah. Untuk nekropsi lengkap bisa dari sampel air liur, darah, isi lambung, sayatan pada lambung, paru-paru, isi usus dan wilayah rektum.”

Dia sarankan jaga kebersihan dan perlu pengecekan rutin serta beri obat cacing. “Kalau kita biasa tiap tahun gajah rutin check-up dan pemberian obat cacing. Gajah rentan cacingan karena dari pakan macam-macam dan berhubungan dengan tanah.”

Untuk pengecekan tiap hari, harus diperhatikan terutama lidah, telinga, dan ujung-ujung belalai. “Jika hidung belalai merah atau kebiruan iu namanya gajah sedang sakit, lidah juga, berat tubuh, kalau dua hal ini dijaga,” katanya.

 

Lebih baik di alam liar

Krismanko,  Ketua Forum Konservasi Gajah Sumatera mengatakan, pasca gajah mati sudah selayaknya pihak kebun binatang cek menyeluruh terutama evalusi kondisi kandang gajah (audit kandang).  Audit,  sebaiknya melibatkan para ahli, apakah kandang gajah sudah representatif atau tidak.

“Saya dapat informasi tentang food and food ada tak sesuai semestinya. Apakah itu penyebab kematian  gajah harus dibuktikan dengan pemeriksaan forensik.”

Dia sendiri tidak setuju dengan pola gajah di kandang. “Kalau untuk gajah itu pola santuary (suaka-red), jadi ada areal terbuka untuk bersosialisasi dengan individu lain atau lebih baik jalan sendiri tapi bukan tempat kecil.

Gajah itu, katanya, lebih baik tak dibatasi teralis, karena satwa ini merupakan makhluk gerak. “Dalam hidupnya saja, 18 jam dipakai untuk gerak, jadi kalau dibatasi dengan teralis-teralis kasihan, apalagi kalau kakinya dibelenggu.”

Gajah di hutan kemungkinan sakit selalu ada, namun memiliki pola untuk memperbaiki atau mengobati diri sendiri ketika sakit.

 

Kematian yang kesekian kali

Kematian satwa dilindungi bukanlah pertama terjadi di Bukittinggi, pada Januari 2015, harimau Sumatera bersama Sandy mati di kebun binatang itu. Saat itu Wisnu Whardana menduga kematian Sandy karena penyakit perikarditis, yaitu peradangan pada lapisan pelindung jantung. Penyakit merupakan ini sering dialami satwa sebangsa kucing, termasuk harimau maupun singa.

Setelah Sandy, kembali kehilangan dua anak harimau Sumatera bernama Thamrin dan Sarinah, mati pada 30 Juni dan 1 Juli. Bedasarkan hasil pemeriksaan tim medis kedua anak harimau pasangan Sean dan Bancah ini mengidap penyakit kronis.

Saat itu, dokter hewan Tri Nola Mayasari, tim medis menjelaskan, diagnosa anak harimau betina, terjadi komplikasi jantung koroner dan enteritis akut atau peradangan saluran pencernaan.

Sebelumnya, April dan Mei tahun sama, dua anak macan dahan juga mati. Saat peresmian pusat rehabilitasi harimau di Dharmasraya, Sumbar, Juli lalu, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut,  akan mengevaluasi seluruh kebun binatang di Indonesia termasuk Bukittinggi.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,