Tersengat Arus Listrik, Dua Individu Gajah Sumatera Meregang Nyawa

 

 

Dua individu gajah sumatera ditemukan mati akibat tersengat arus listrik yang dipasang di pagar kebun masyarakat di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Sabtu (14/10/17). Diperkirakan, masing-masing gajah tersebut berumur 20 tahun (betina) dan 10 tahun (jantan) yang telah memiliki gading sepanjang 20 sentimeter.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo, yang mengikuti langsung proses nekropsi, 16 Oktober 2017 mengatakan, dua gajah tersebut mati karena tersengat arus listrik yang dipasang di pagar kebun pisang. Berdasarkan pengakuan sang pemilik, cara tersebut dilakukan untuk menjaga tanamannya agar tidak dirusak babi hutan. Hal yang lumrah dilakukan di sejumlah daerah di Aceh Timur.

“Tapi yang sangat kita sayangkan, para pemilik kebun mengaliri listrik bukan untuk mengejutkan binatang, tapi untuk membunuh. Ini harus segera ditertibkan, karena beberapa orang juga telah meninggal di Aceh Timur ini, akibat listrik yang dipasang itu,” terang Sapto.

 

Baca: Gajah Liar Ini Mati Meski Sudah Diobati

 

Sapto menambahkan, BKSDA Aceh telah melaporkan kejadian ini Kepolisian Aceh Timur. Bersama Polres Aceh Timur, BKSDA juga telah melakukan nekropsi. “Kita juga mengambil beberapa bagian dari tubuh gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) ini untuk diperiksa di laboratorium.”

 

 

Inilah dua individu gajah sumatera yang mati akibat tersengat aliran listrik tegangan tinggi yang sengaja dipasang masyarakat di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Untuk tahun 2017, jumlah gajah sumatera yang ditemukan mati di Aceh mencapai sembilan individu, termasuk satu gajah jinak yang mati karena terserang Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV) atau biasa disebut herpes gajah. Dari jumlah tersebut, empat diantaranya ditemukan di Aceh Timur, dan ada satu janin gajah keguguran di Kabupaten Pidie, beberapa waktu lalu.

Dibandingkan provinsi lain di Sumatera, Aceh merupakan wilayah yang masih memiliki gajah paling banyak, jumlahnya mencapai 500 individu. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berada di Aceh Timur.

“Meski memiliki banyak gajah, namun jumlahnya di Aceh Timur bisa berkurang jika habitatnya terus dirusak dan konflik dengan manusia terus terjadi,” jelas Sapto.

 

Baca juga: Kasihan, Bayi Gajah Sumatera Ini Ditemukan Terbujur Kaku di Sungai

 

Kapolres Aceh Timur, AKBP Rudi Purwiyanto menyatakan, setelah mengetahui kematian gajah tersebut, berdasarkan laporan BKSDA Aceh, ia langsung memerintahkan Satreskrim Polres Aceh Timur untuk memeriksa kasus ini. “Kami telah meminta keterangan tiga saksi dari masyarakat.”

Rudi Purwiyanto menambahkan, setelah pemeriksaan saksi dan barang bukti cukup, Polres Aceh Timur segera memanggil pemilik kebun. Jika terbukti bersalah, pelaku dapat dijerat Pasal 40 Ayat 4 UU Nomor 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman satu tahun penjara dan denda maksimal Rp50 juta.

“Saya telah memerintahkan seluruh kapolsek, untuk meyampaikan kepada masyarakat agar tidak lagi memasang arus listrik bertegangan tinggi di kebun mereka. Karena, tidak hanya mengancam nyawa satwa, tapi juga dapat membunuh manusia meski tujuan utamanya melindungi tanaman dari serangan babi hutan,” jelasnya.

 

 

Tahun 2017, jumlah gajah sumatera yang ditemukan mati di Aceh mencapai sembilan individu. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bupati Aceh Timur, Hasballah, saat berkunjung ke Desa Seumanah Jaya meminta masyarakat bersabar menghadapi konflik ini. Menurutnya, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, bersama BKSDA Aceh dibantu LSM lingkungan tengah mengantisipasi agar konflik gajah dengan manusia tidak lagi terjadi.

“Menyelesaikan masalah ini tidak mudah, butuh waktu. Masyarakat juga harus menjaga hutan tetap alami agar tidak menimbulkan bencana. Bukan hanya hutan, satwa liarnya juga dilindungi seperti gajah, harimau, orangutan, dan jenis lainnya.”

Salah satu kegiatan untuk menyelesaikan konflik gajah dengan manusia di Kabupaten Aceh Timur adalah dengan membangun barrier atau parit yang membatasi kawasan hutan dengan kebun masyarakat. “Tapi, membuat parit yang sangat panjang itu tidak mudah. Saya berharap, sampai parit selesai dibuat, masyarakat menghalau kawanan gajah yang masuk ke kebun dengan petasan saja, bukan dengan membunuhnya,” tambah Hasballah.

 

 

Nekropsi terhadap dua bangkai gajah tersebut dilakukan dan selanjutnya diperiksa lebih teliti di laboratorium. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Konflik

Direktur Forum Konservasi Leuser (FKL) Rudi Putra menyebutkan, konflik gajah di Aceh Timur memang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Awal 2016, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur telah berkomitmen membangun barrier untuk mengatasi konflik ini.

“Kami bersama Pemerintah Aceh Timur telah menggali parit sepanjang lima kilometer. Dalamnya sekitar empat meter,” ujar Rudi.

Selain Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, lima perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di beberapa kecamatan di wilayah ini telah berkomitmen membangun barrier. Namun, hingga saat ini, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab perusahaan belum dikerjakan, yang panjangnya mencapai 60 kilometer. Rinciannya, 25 kilometer dibuat oleh Pemerintah Aceh Timur bersama FKL, sementara 35 kilometer dibangun oleh lima perusahaan perkebunan kelapa sawit yaitu, PT. Atakana, PT. Dwi Kencana Semesta, PT. Bumi Flora, PTPN 1, dan PT. Tualang Raya.

“Saat itu, perusahaan berkomitmen membangun barrier yang membatasi perkebunan mereka dengan kawasan hutan, yang merupakan habitat gajah. Sementara, lahan yang tidak berbatasan dengan perkebunan, dibuat oleh Pemerintah Aceh Timur bersama FKL,” terang Rudi.

 

Aparat Kepolisian Aceh Timur menunjukkan kawat yang dialiri arus listrik tegangan tinggi yang menyebabkan kematian dua individu gajah sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tapi, lanjut Rudi, komitmen perusahaan sawit itu tidak dijalan hingga saat ini, sehingga konflik terus terjadi. Seperti yang terjadi di Desa Seumanah Jaya, untuk memasuki perkebunan penduduk, gajah harus melewati lahan kelapa sawit perusahaan.

“Belum lagi, perusahaan juga tidak merawat kebun mereka, sehingga ditumbuhi semak. Ini juga menjadi tempat yang sangat disukai gajah,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,