Penurunan populasi primata akibat perburuan serta dergradasi habitat membutuhkan penanganan konservasi sesegera mungkin. Meski kadang dalam upaya konservasi, banyak kalangan masih menyoalkan perihal manfaatnya.
Cagar Alam Gunung Tilu, misalnya, hanyalah sedikit dari total luasan hutan konservasi 147.716 hektar di Jawa Barat. Kawasan hutan seluas 8000 hektar ini statusnya telah lebih dulu dilindungi sejak masa Hindia Belanda melakukan ekspansi perkebunan teh Dewata.
Di CA Gunung Tilu juga menjadi habitat alami bagi primata Owa jawa atau Hylobates moloch. Namun diketahui, jejak keberadaan primata setia endemik Jawa ini pernah dinyatakan hilang sekitar tahun 1990. Hal itu berdasarkan hasil kajian kawasan pada 2008 oleh Tim Pusat Rehabilitasi Primata Aspinall Foundation.
Di Blok Gambung salah satu yang dikaji, disimpulkan bahwa primata dengan dominasi warna abu-abu keperakan ini telah tumbuh alami dan liar. Spekulasi itu didukung dari hasil temuan kelimpahan sumber pakan dan faktor – faktor pendukung lainnya.
Kepala Aspinall Foundation Indonesia Sigit Ibrahim kepada Mongabay menjelaskan, zonasi Gunung Tilu dibagi menjadi dua penamaan. Petama, disesuaikan dengan peta konservasi. Kedua, berdasarkan posisi cagar alam secara keseluruhan yang meliputi 3 wilayah administrasi yaitu Kabupaten Bandung, Garut dan Cianjur.
“Sebelum melakukan rangkaian konservasi, kami melakukan kajian kawasan terlebih dulu untuk tahu titik mana yang potensial. Betul, disana (blok gambung) keberadaan owa sempat menghilang. Baru beberapa tahun terakhir ini geliat populasi owa kembali berkembang setelah dilakukan lepas liar,” kata Sigit saat ditemui, belum lama ini.
Sigit menerangkan, kawasan bersatus cagar alam masih potensial sebagai penunjang populasi satwa. Meski demikian, ancaman dari masifnya alih fungsi lahan dan perburuaan tetap berulang kali terjadi. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap stabilitas populasi dan perilaku satwa primata.
Perlu diketahui, intervensi manusia dalam kawasan konservasi atau cagar alam telah dibatasi secara hukum oleh pemerintah. Namun, pada kenyatannya zona inti tetap saja luput dari pengawasan dan banyak didatangi dengan berbagai kepentingan.
“Untuk itu, kami juga melakukan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar kawasan. Dalam pengelolaan, sedapat mungkin melibatkan masyarakat agar masyarakat merasa lebih memiliki kawasan. Setidaknya, memetik manfaat dari kepedulian masyarakat,” ujar Sigit.
Area jelajah (home range) owa jawa berkisar antara 15-20 hektar dengan kemampuan jelajah harian mencapai 1.500 meter. Primata bersuara nyaring ini bergerak dengan cara branchiation yakni berayun dari satu cabang ke cabang lain menggunakan tangannya.
Owa jawa juga toleran terhadap primata endemik berstatus rentan lainnya, seperti surili (Presbytis comata) dan lutung jawa (Trachypithecus auratus). Pada satu pohon, misalnya, mereka akan bebagi tempat. Owa memakan buah, surili memakan daun sedangkan lutung memakan pucuk. Sehingga memungkinkan peran primata sebagai penebar benih dengan tujuan regenerasi hutan di rimba raya.
Diketahui, kawasan yang dikelola BBKSDA Jabar ini masih terdapat pohon – pohon langka. Seperti Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima wallichii), Pasang (Quercus sp) Saninten (Castanopsis sp) dan Kihujan (Engelhardia rigida).
Maka, hutan memiliki potensi hidrologi. Dari Gunung Tilu sumber air mengalir melintasi Sungai Cipadaarum, Sungai Cilamajang dan Sungai Cisurudan yang bermuara pada sungai Cisangkuy kemudian ke Sungai Citarum. Dan juga sebagai DAS Cikahuripan yang bermuara pada Sungai Cikahuripan bersambung ke Sungai Cilaki.
Sulitnya Upaya Konservasi
Tim medis Apinall Foundation drh Ida Masnur menuturkan, efek dari langkah konservasi diharapkan mampu menyadarkan masyarakat. Pasalnya, fenomena memelihara primata sebagai satwa peliharaan merupakan prilaku yang keliru.
Dia menjelaskan,salah satu indikator keberhasilan rehabilitasi tentunya pelepasliaran. Namun, tidaklah mudah merehabilitasi primata ke kondisi liar secara prilaku maupun kesehatannya.
“Ada kriteria khusus untuk si primata agar bisa dilepasliarkan seperti faktor kesehatan. Tapi, kami menemukan jenis penyakit hepatitis pada owa. Ketika terjangkit otomatis tidak bisa dilepasliarkan, solusinya harus disuntik mati supaya tidak menular,” kata Idah.
Ida menerangkan, temuan penyakit tersebut masih belum dikaji secara komprehensif. “Kami masih belum mengetahui asal – usul penyaki hati ini. Sehingga kami menyarankan untuk tidak memelihara primata demi kebaikan dan juga kesehatan,” terang dia.
Pada awal Oktober 2017, dua pasang owa jawa kembali dilepasliarkan di Gunung Tilu. Setelah menghabiskan 1 – 2 tahun masa karantina di Aspinall, akhirnya owa jawa dapat dirumahkan ke habitat alaminya.
Ida menjelaskan, owa jawa hanya sekali kawin dan berkembang biak antara 2-3 ekor anakan. Jarak kelahiran antara anak berkisar 3-4 tahun. Owa jawa dikatakan dewasa ketika umur 6 tahun dan masa itu sudah mulai bereproduksi.
“Perkembangan owa jawa realitif lambat. Sudah mah lambat tapi ancaman degradasi habitat dan perdagangan satwa malah meningkat. Saat ini, di kandang karantina masih terdapat 21 ekor primata terdiri dari owa dan lutung jawa yang sedang proses rehabilitasi. Kedepan, kami berupaya terus agar semuanya dapat dirilis ke alam,” paparnya.
Translokasi Untuk meningkatkan Populasi
Pertengah Oktober lalu, Sepuluh lutung Jawa sub spesies Jawa Timur hasil rehabilitasi dikirim ke pusat konservasi Coban Talun di Batu, Malang untuk dilepasliarkan di kawasan hutan Kondang Merak. Enam ekor diantaranya merupakan hasil repatriasi dari Kebun Binatang Howlet asal Inggris.
Kegiatan pelepasliaran primata endemik jawa yang didatangkan dari luar negeri bukanlah hal baru. Sebelumnya, Aspinall juga mendatangkan satwa terancam punah ini dari ssalah satu kebun binatang Perancis.
Dari informasi yang didapat, kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian kebun binatang di seluruh dunia yang berjejaring melalui Zoologi Information Management System untuk menjaga populasi satwa endemik di alam liar. Awal mula primata yang dekat dengan legenda lutung ka sarung ini sampai Inggris, ialah dalam rangkaian pertukaran satwa.
Sementara itu, Animal Keeper Aspinall Asep Purmana mengatakan, daya dukung hutan di Jawa dalam upaya meningkatkan populasi lutung jawa masih cukup luas. Di habitat alaminya, lutung hidup berkelompok dengan satu jantan empat betina dan memiliki daya jelajah sekitar 7 hektar.
“Lutung cenderung lebih poligami. Kadang si jantan mengawini anaknya ketika cukup dewasa. Sehingga hal ini mengakibat inbreeding yang bisa berujung pada kelainan gen. Namun, kami belum bisa menyimpulkan selain belum adanya penelitian ke arah sana. Jika ini benar maka mesti diantisipasi segera,” ucapnya.
Menariknya, primata – primata endemik ini memiliki teritori dan daya jelajah yang berbeda. Seolah berbagi peran didalam kawasan.
Asep berujar, selama proses lepasliar pihaknya akan melakukan monitoring minimal selama 1 tahun. Laporan monitoring sangat dibutuhkan sebagai bahan evaluasi. Guna masyarakat sekitar mempunyai rasa kepedulian, sembari monitoring pihaknya memberikan edukasi. “Agar masyarakat lebih memahi, meskipun manfaatnya bukan ekonomi. Tapi, ada keuntungan lain yang bisa didapat,” pungkasnya.