Edi Kukang menambatkan perahunya. Bajunya masih basah ketika menghampiri kami di sebuah pondok informasi di tepian pantai Pulau Barrang Lompo. Ia datang bersama sejumlah nelayan lainnya.
Edi, umurnya lima empat tahun, meski terlihat tampak lebih muda dari usianya. Badannya agak tambun. Suaranya serak, meski sangat bersemangat. Tak seperti sejumlah nelayan lainnya, Bahasa Indonesianya lebih fasih. Mungkin karena itulah ia sering menjadi juru bicara kelompok.
Edi Kukang adalah bendahara di kelompok Sipakainge. Sebuah kelompok nelayan yang mendapat bantuan dari program pemberdayaan masyarakat pesisir atau Coastal Community Development Project – International Fund Agriculture Development (CCDP-IFAD) di Kelurahan Barrang Lompo, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar.
Kelompok ini dibentuk awal 2016 silam. Sebagian besar anggotanya baru mengenal kelompok. Termasuk Edi sendiri. Bantuan pun jarang mereka terima. Sebagian besar perahu adan alat pancing yang mereka gunakan sudah berumur tua. Ada yang bahkan sudah berumur puluhan tahun.
“Dulu memang pernah janji, tapi tak pernah ada realisasi. Baru setelah ada IFAD ini kita dapat bantuan. Kami bersyukur karena sangat membantu. Sebelum ada bantuan ini kami harus lama kumpul uang baru bisa beli peralatan mancing, perahu dan segala macam. Banyak keluhan nelayan di sini. Sekarang saja masih banyak nelayan perahunya belum pakai mesin. Melaut paling dekat-dekat sini saja,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Selasa (30/01/2018).
baca : Dapat Bantuan Perahu, Produktivitas Nelayan Kepiting di Lantebung Makassar Meningkat
Bantuan yang diterima masing-masing anggota berbeda-beda. Sesuai kebutuhan setiap anggota. Untuk menentukan kebutuhan ini, mereka terlebih dahulu merembukkannya. Semua keputusan harus diketahui oleh seluruh angggota.
Setelah proses identifikasi ini dilakukan, ternyata kebutuhan anggota berbeda-beda. Ada yang mengajukan permohonan bantuan mesin perahu, bodi perahu, dan peralatan tangkap ikan. Bahkan ada yang mengajukan pembelian genset.
Edi sendiri mengajukan bantuan berupa mesin perahu berkapasitas 7 pk. Mesin sebelumnya, berkapasitas 6,5 pk, sudah sangat tua dan kadang macet. Sementara anggota yang mengajukan mesin genset adalah nelayan cumi-cumi. Mereka gunakan sebagai alat bantu penerang di malam hari.
Menurut Edi, sebagian besar nelayan di Barrang Lompo juga merupakan nelayan cumi-cumi. Kalau siang hari mereka biasanya fokus tangkap ikan, seperti cepa, kembung dan tenggiri. Hanya saja tangkap cumi-cumi hanya di musim tertentu. Lokasinya pun bisa jauh dari pulau.
Menurut Edi, sejak adanya bantuan tersebut, produktivitas juga meningkat. Jika dulunya hanya bisa tangkap 2-3 kg cumi-cumi, maka sekarang rata-rata 4-5 kg. Bahkan ada yang pernah sampai 10 kg. Peningkatannya sangat drastis.
“Dulu kalau dapat mi 3 kilogram itu gembira sekali mi.”
baca : Cerita Kebangkitan Istri-istri Nelayan dari Pulau Barrang Caddi
Peningkatan ini disebabkan jangkauan aktivitas yang semakin jauh, tergantung jenis perahu yang digunakan. Perahu tanpa mesin atau yang berkapasitas rendah hanya bisa menjangkau sekitar pulau saja. Perahu dengan kapasitas besar bisa sampai ke daerah yang jauh, bermil-mil dari pulau. Hingga daerah yang disebut lumu–lumu dan taka–taka. Mereka juga biasa pasang rumpon di tempat yang jauh dari pulau. Namun itu juga tergantung cuaca.
“Kalau cumi-cumi di sekitar pulau itu memang jarang mi. Sudah beberapa tahun ini kurang. Jadi kita pergi ke tempat yang jauh. Dulu kan susah, apalagi kalau ombaknya tinggi. Setelah ada mesin ombaknya bisa dilawan, meski tetap pelan-pelan.”
Alat tangkap juga mulai ditingkatkan kualitasnya. Untuk pancing ikan tenggiri misalnya, jika selama ini hanya menggunakan tasi, diganti dengan kawat. Dengan adanya perahu bermesin mereka lebih mudah menangkap ikan. Perahu tinggal dijalankan sambil menebar jaring. Ikan-ikan akan tersangkut. Jika menggunakan tasi akan cepat putus.
baca : Mengenal Ritual ‘Kelahiran Perahu’ Nelayan Galesong
Agar lebih mudah tangkap cumi-cumi mereka menggunakan rumpon. Karena ditangkap di malam hari maka membutuhkan alat penerang. Alat penerang tradisional yang bisa digunakan adalah lampu petromaks. Namun ini memiliki keterbatasan jangkauan terang. Makanya sekarang banyak yang menggunakan bohlam lampu dinyalakan dengan genset.
Cumi-cumi saat ini harganya bagus. Sekilogram seharga Rp45-Rp50 ribu. Bahkan bisa sampai Rp60 ribu di musim paceklik. Sementara ikan harganya bervariasi. Ikan kembung atau banyar seukuran 3 jari dijual Rp6 ribu per ekor. Ukuran lebih kecil dijual Rp10 ribu per tiga ekor.
Cumi-cumi menjadi sumber penghasilan utama ketika ikan susah. Kondisi yang saat ini terjadi di Pulau Barrang Lompo. Penyebabnya beragam. Salah satunya adalah munculnya alat tangkap ikan kecil yang disebut pappere–pere. Biasa beroperasi di malam hari.
“Itu ikan-ikan kecil sebagai makanan ikan yang lebih besar habis semua diambil pappere-pere. Tak ada yang disisakan. Itu sejenis perahu tapi banyak lampu supaya memancing ikan berkumpul. Jadi ikan itu nantinya naik sendiri ke jaring. Ini yang bikin habis ikan di sini. Ada rencana nelayan sini mencegat mereka,” keluhnya.
Terkait tabungan, Edi mengakui tabungan kelompok berkisar Rp2 juta. Tabungan ini bisa dipinjam anggota sewaktu-waktu. Jumlah ini lebih kecil dari yang diharapkan. Kendalanya karena masih ada anggota menganggap tabungan ini sebagai beban seperti bayar cicilan.
Manfaat lain yang diperoleh setelah adanya CCDP IFAD ini adalah nelayan sudah jarang pinjam uang ke pabalolang atau pedagang pengumpul di mana mereka menjual ikan. Mereka adalah pedagang pembeli pertama yang juga tinggal di pulau.
“Saya dulu suka pinjam uang kalau ada kebutuhan. Tapi sekarang sudah tidak. Hasil tangkapan sudah cukup, ada peningkatan.”
Nelayan biasanya pinjam untuk modal membeli bahan bakar perahu atau kebutuhan rumah tangga dan sekolah anak. Kisarannya Rp100-Rp500 ribu. Meski tak ada bunga namun sebagai kompensasi nelayan harus jual hasil tangkapan ke mereka. Pembayaran dilakukan ketika mereka setor hasil tangkapan.
“Kalau kita jual ikan ke pabalolang, utang dipotong langsung. Misalnya dapat hasil Rp120 ribu, mereka ambil Rp20 ribu untuk bayar utang. Kalau ada uang kaget, tiba-tiba tangkapan banyak, kami bisa langsung bayar lunas utangnya. Namun ada juga nelayan yang tak mau berutang lama. Saya sendiri takut berutang lama-lama. Kalau ada rezeki langsung bayar.”
Edi berharap bantuan kepada nelayan tetap dilanjutkan. Utamanya pada peralatan tangkap dan modal pembelian bahan bakar. Tidak hanya untuk anggota kelompoknya tetapi juga kepada nelayan-nelayan lain.
Menurut Sofyan Muhammad, Tenaga Pendamping Desa (TPD) Barrang Lompo, bantuan CCDP-IFAD di Pulau Barrang Lompo memang paling dirasakan manfaatnya oleh nelayan. Sebagian dari mereka adalah nelayan tradisional yang masih mengandalkan perahu dayung dan perahu motor berusia tua.
“Mereka memang sudah lama berharap adanya bantuan ini karena selalu ada janji, namun tak pernah ada realisasi. Baru setelah adanya IFAD ini mereka bisa dapat bantuan tersebut. Mereka ada perubahan, mulai dari cara tangkap hingga jangkauan wilayah tangkap yang sudah agak jauh.”
Di Kelurahan Barrang Lompo sendiri, bantuan diberikan kepada tiga kategori kelompok, yaitu kelompok usaha berupa kelompok nelayan dan kelompok olahan. Ada juga kelompok PSDA, yang dikerjakan oleh Kelompok Madani, yang melakukan transplantasi terumbu karang. Satu kelompok lagi adalah kelompok infrastruktur, yaitu Kelompok Tamalanrea, yang melakukan pembangunan pondok informasi, dan pembangunan jalan desa.