Ribuan pengayuh sepeda tua menjadi tontonan di ruas jalan yang dilalui. Mereka dari berbagai kebangsaan, menggunakan pakaian khas negara dan daerahnya masing-masing pada parade budaya di sejumlah ruas jalan kota Denpasar, Minggu (15/04/2018). Kehadiran pesepeda ini mengingatkan mudahnya mengurangi polusi udara dan emisi gas jika pemerintah serius mendukung dengan kebijakan yang membuat pesepeda lebih aman di jalanan.
Apakah Indonesia yang diklaim memiliki pesepeda tua terbanyak di Indonesia ini memberikan perhatian pada kenyamanan warganya yang lebih senang jalan-jalan tanpa kendaraan ini? Padahal bersepeda adalah solusi praktis dalam kebijakan pengelolaan kota ramah lingkungan seperti pengurangan polusi.
Bayi dan anak-anak juga terlihat dibonceng orang tuanya mengitari kota beberapa jam yang dimulai dan finish di lapangan Hotel Grand Bali Beach Sanur, lokasi kegiatan dan kongres International Veteran Cycle Association (IVCA) 2018 pada 12-15 April ini. Ada juga anak-anak yang mengayuh sendiri dan berusaha menggenjot sekuat tenaga agar tak tertinggal dari rombongannya.
Aneka jenis sepeda lawas dikayuh dengan sukacita oleh komunitas-komunitas sepeda tua sambil meneriakkan asal daerah mereka. Pakaian etnik seperti tokoh pewayangan, kebaya, kain, hiasan kepala suku Dayak, dan pakaian etnik berat lainnya tak membatasi mereka dalam mengayuh sepeda. Padahal sepeda onthel rata-rata tinggi dan bergerak lambat dengan kayuhan kaki penuh. Tak hanya sepeda simetris, juga asimetris dengan ban bergerak miring atau malah mengayuh berlawanan arah.
Peserta luar negeri seperti dari Belanda dan Cekoslowakia terlihat berbeda. Sebagian membawa sepeda langka keluaran generasi awal seperti ban depannya jauh lebih besar dibanding ban belakang.
Namun walau jalan raya sudah diatur petugas kepolisian, banyak pengendara motor, mobil, dan bus mencoba menyalip rombongan pesepeda yang sedang kirab budaya ini. Kerumunan sepeda yang daya lajunya sekitar 20-25 km per jam ini sangat jarang ditemukan di Denpasar yang makin macet.
Sebelum event utama ini, IVCA didahului dengan kirab trofi oleh 10 peserta dari Anyer, Banten pada 24 Maret dan sampai Denpasar, Bali pada 10 April. Mereka mengayuh sepeda tua sekitar 1500 km melewati sedikitnya 20 kota.
Sepuluh peserta ini terpilih yang sudah berpengalaman karena medan dan jarak menantang, juga berlangsung saat musim kemarau. Ronny Hartono dari Kendal, Jawa Tengah dikenal sebagai peseda tua yang kerap mendaki gunung bersama sepedanya. Bagaimana pun medan trekking, ia sudah punya tujuan harus di puncak bersama onthelnya.
“Paling ekstrem Gunung Raung, kanan kirinya jurang. Kalau jatuh ke kiri tak bisa dievakuasi karena terlalu terjal,” ujar pria tua ini. Gunung tertinggi yang sudah dilaluinya Kerinci di Jambi. Rekornya adalah 48 gunung. Ia berencana tahun ini membawa onthelnya ke gunung Kilimanjaro di Afrika Selatan.
“Selalu berisiko karena sepedanya kan nggak safety, manual. Selalu bawa tali untuk narik sepeda,” ia terkekeh. Untuk kepentingan dokumentasi dan pencatatan rekor, Ronnya menyebut harus ada pendamping dan saksi yang ikut. Selain surat pengantar polisi dan pengelola gunung.
Peserta perempuan satu-satunya di kirab trofi Anyer-Denpasar ini adalah Ni Made Dwi Puspasari, penggowes 44 tahun dari Bali. Sepeda adalah teman setianya karena ke mana pun termasuk bekerja ia bersepeda. Ia mengaku malas mencoba dan tak bisa naik kendaraan. Dwi sudah pernah rally panjang Sumatera, Jawa-Bali, dan NTT. “Jalur Sumatera berkesan, di Padang dan Aceh panoramanya luar biasa,” ingatnya. Selain sepeda tua milik bapaknya, ia juga mengayuh sepeda gunung dan jenis lainnya.
Pecinta setia onthel lainnya adalah Rendi Koteka, pria tua lahir di Jogja dan tinggal di Jakarta. Ia pernah 1-3 tahun berkeliling ngonthel. Sebagian perjalanan pribadi. Kehidupan aspal yang keras, siapa cepat dia hebat sudah biasa dialaminya. “Hindari truk dan bus, kalau bisa jangan di aspal,” ia terkekeh. Ini menurutnya salah satu tantangan bersepeda di Indonesia.
Namun keunikannya, Rendi mengaku mudah menemukan akomodasi hemat. Salah satunya hotel pertamina. Ia menggunakan istilah ini karena SPBU ini kerap mempersilakan pesepeda tua rehat di mushola asalkan menjaga kebersihan. Walau ia sendiri tak memerlukan BBM.
Peserta kirab Anyer-Denpasar termuda adalah Ferry Ferdiansyah, usianya 27 tahun. Ia tinggal di Denpasar dan senang menggunakan onthel milik bapaknya enam tahun terakhir ini. Ia mengaku tak mudah menjadi pesepeda di kota karena bersaing dengan kendaraan dan tak banyak jalur khusus.
Kirab dilalui peserta selama 20 hari dengan 3 libur. Karena dikawal polisi dengan ketat di depan dan belakang, peserta bisa gowes sepeda tanpa parsneling ini 25-30 km/jam, rata-rata 10 jam per hari.
Ketua Panitia IVCA 2018 Bambang Waluyojati menyebut Indonesia adalah negara Asia pertama jadi tuan rumah sejak kongres IVCA pertama di Inggris. Tema yang dipilih adalah menjaga keberagaman dan pluralitas. Sepeda tua bisa menyatukan keberagaman usia, etnis, dan pekerjaan pemancalnya. Ia menyebut anggota Komunitas Sepeda Tua Indonesia (KOSTI) sekitar 500 ribu orang dari 324 komunitas.
Fahmi Saimima juru bicara IVCA 2018 dan komunitas onthel Batavia ini mengatakan tak mudah mengusulkan jadi tuan rumah karena dari konferensi sebelumnya Indonesia dinilai kurang layak karena keamanan jalan dan jaminan hak pesepeda diabaikan. “Baru disetujui 2013 saat kongres di Ceko, ajukan Bali baru diterima,” ujarnya. Kongres kali ini juga akan membuat rekomendasi untuk masa depan pesepeda, dan akan diserahkan ke presiden.
Yang dianggap sepeda tua adalah yang antik sebelum 1900an, sepeda tua 1910-40an, sampai 70an. Lama digunakan minimal 30 tahun. Selain parade budaya dan kongres, juga lomba antar onthelis, pameran, serta penanaman mangrove.