Lantar Sihombing pasrah. Dia tidak menyangka, kebun sawit miliknya itu berada di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser. Andai disita, ia tidak tahu harus berbuat apa.
“Bagaimana saya menafkahi keluarga, sementara pendapatan saya hanya dari kebun itu,” ujar Lantar, pertengahan Mei 2018.
Lantar mengatakan, kejelasan kebunnya masuk kawasan taman nasional diketahuinya di 2014. Saat itu, polhut dan pihak kepolisian mengatakan, sebagian besar kebunnya masuk dalam hutan yang terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera. Padahal, saat awal dibuka, tidak ada yang menyampaikan lahan seluas dua puluh hektar itu berada di wilayah terlarang.
“Saat sawit dan kakao waktunya panen, baru dilarang,” jelas lelaki 60 tahun itu.
Ketidakjelasan status kebun milik Lantar yang berada di Desa Alur Baning, Kecamatan Babul Rahman, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh ini, sejatinya dialami puluhan warga lainnya.
“Pada 1999, di sini ada perusahaan pengolah kayu. Hal ini yang memancing warga untuk membuka kebun, karena perusahaan bisa mengambil kayu lalu kenapa masyarakat tidak bisa?” jelasnya.
Baca: Robohnya Sawit Ilegal di Hutan Lindung Aceh Tamiang
Mardiansyah, warga Aceh Tenggara lainnya mengatakan, saat itu pengawasan TNGL sangat longgar, sehingga masyarakat leluasa masuk hutan untuk berkebun.
“Setelah masyarakat menanam sawit, baru pihak TNGL melarang. Melakukan penertiban. Masyarakat menolak karena kebun yang mereka kelola hampir panen. Bahkan, ada lima warga yang ditangkap karena berunjuk rasa di kantor BBTNGL di Kabupaten Aceh Tenggara,” ungkapnya.
Tapi, itu dulu. Sejak 2017 terjadi perbedaan. Puluhan petani yang berkebun sawit di TNGL, bersedia mengganti tanamannya itu dengan tanaman hutan.
Seperti yang terjadi di Desa Alur Baning, Lontar dan puluhan warga lainnya telah menebang sawit dan mengantikannya dengan kemiri, damar, petai dan jenis lainnya. “Setahun ini kami menanam. Kami diizinkan mengelola dua hektar lahan yang terlanjur dirambah, syaratnya menggati sawit dengan tanaman hutan tadi,” timpal Lantar.
Lantar menyebutkan, petani yang difasilitasi oleh Forum Konservasi Leuser (FKL) ini membentuk kelompok dan mengelola lahan yang telah dirambah tersebut. Ini lebih baik, ketimbang tidak ada titik temu sebelumnya. “Tapi, tidak semua lahan boleh kami kelola, ada yang harus dihutankan kembali.”
Mariot, warga Kecamatan Lawe Sigala, Kabupaten Aceh Tenggara mengungkapkan hal yang sama. Dua hektar kebun sawitnya yang masuk dalam TNGL telah ditebang, diganti kemiri. “Tahun 2000-an saya terpancing untuk menanam sawit, mengikuti kebanyakan orang,” ujarnya.
Baca: Selamat Tinggal Sawit Ilegal di Suaka Margasatwa Rawa Singkil
Restorasi
Rudi Putra, Direktur Forum Konservasi Leuser (FKL) menuturkan, restorasi kelapa sawit di Taman Nasional Gunung Leuser merupakan langkah efektif yang diambil untuk menyelamatkan hutan warisan dunia tersebut.
“Ada ribuan masyarakat yang membuka hutan untuk kebun, termasuk kebun sawit di dalam TNGL. Untuk menyelesaikan masalah ini, yang harus dilakukan adalah melakukan restorasi bersama petani,” ujarnya.
Menurut Rudi, luas TNGL yang harus direstorasi di Kabupaten Aceh Tenggara mencapai 16.000 hektar. Dari jumlah tersebut, sekitar lima sampai enam ribu hektar, akan dihutankan kembali. “Daerah yang dikembalikan fungsinya menjadi hutan, umunya berada di sungai atau sumber air. Selebihnya, dikelola masyarakat dengan menanam tanaman kehutanan.”
Untuk tahap pertama, FKL membantu BBTNGL merestorasi 1.800 hektar lahan di Desa Alur Baning, Kecamatan Babul Rahman. “Masyarakat menebang sendiri sawitnya dan menanam sendiri di kebun kelolanya. Kita berharap, ini menjadi contoh petani lain yang telah merambah TNGL.”
Rudi mengatakan, restorasi yang melibatkan masyarakat berhasil dikerjakan FKL bersama Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang. Selain mengelola kebun, petani juga menjadi penjaga hutan. “Setelah sawit ditebang, hutan dibiarkan tumbuh alami dan kini sudah didatangi sejumlah satwa dilindungi,” ujarnya.
Baca juga: Perambahan, Ancaman Serius yang Terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser
Kabid Teknis BBTNGL, Adhi Nurul Hadi menyebutkan, mengajak masyarakat untuk tidak lagi merambah dan mengembalikan kondisi taman nasional seperti semula, bukanlah hal mudah. “Sejak 2014, ajakan untuk merestorasi kebun sawit dilakukan. Hal paling sulit adalah memberikan pemahaman,” ujarnya.
Pendampingan intensif yang dilakukan, akhirnya membuahkan hasil. Masyarakat bersedia menebang sawit sekaligus menggantinya dengan jenis tanaman hutan. “Kita ingin mengelola taman nasional bersama masyarakat. Semoga, masyarakat di tempat lainnya mengikuti langkah baik ini,” ungkap Adhi.
Dalam SK Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1997 dijelaskan, luas TNGL yang berada di Aceh dan Sumatera Utara mencapai 1.094.692 hektar. Namun, terjadi perubahan bentuk dan luas berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.6589/Menhut-VII/KUH/2014 yakni 838.872 hektar. Di Aceh, luas Taman Nasional Gunung Leuser sesuai SK MenLHK No.103/MenLHK-II/2015 luasnya mencapai 625,115 hektar.