Persoalan kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan sangat berkaitan dengan perilaku manusianya. Pada awal musim kemarau 2018 ini, titik api mulai bermunculan di sekitar desa yang belum didampingi pemerintah maupun lembaga nonpemerintah. Sementara desa yang sudah didampingi, khususnya di sekitar lahan gambut, sampai saat ini belum ditemukan titik api.
Titik api dalam beberapa pekan ini banyak ditemukan di lahan mineral di Kabupaten Pali, Muaraenim, Musirawas, Banyuasin dan Musi Banyuasin. Berdasarkan data Siaga Darurat Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Minggu (17/06/2018), ditemukan lima titik api. Lokasinya berada di Talangkelapa di Banyuasin, Bayunglincir di Musi Banyuasin, Lembak di Muaraenim, serta dua hotspot di Tanahabang, Pali. Semuanya berada di lahan mineral.
Sebenarnya selama tiga hari terakhir, hujan mengguyur sejumlah wilayah barat Sumatera Selatan termasuk di Palembang. Tetapi wilayah barat ini, justru ditemukan hotspot. Sementara wilayah timur, yang umumnya lahan gambut, sebagian besar tidak pernah diguyur hujan selama Bulan Ramadan, belum ditemukan titik api. “Hujan sempat turun sekitar 10 menit, sehari sebelum Idul Fitri,” kata Heru, warga Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI, Minggu.
Baca: Gambut Rusak, Inilah Dampak Nyata yang Dirasakan Masyarakat Palembang
Desa Riding merupakan salah satu desa yang memiliki lahan gambut, berbatasan dengan Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, konsesi HTI, dan perkebunan sawit. “Alhamdulillah, belum ada titik api di sini. Kita semua siaga, patroli dan terus melakukan penyuluhan ke masyarakat,” kata lelaki yang bertugas sebagai penyuluh pertanian di Pangkalan Lampam.
“Titik api belum ditemukan di Pangkalan Lampam untuk sementara ini,” kata Heru.
Hujan belum turun sebulan ini. “Sudah kemarau, kering,” kata Sutrasno, anggota TNI yang bertugas mendampingi petani di Desa Menang Raya dan Sepucuk, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI, Sabtu (16/06/2018). “Kami bersyukur sampai saat ini tidak ada titik api. Kami lakukan patroli ke lokasi selain melakukan pembinaan ke kelompok tani, dengan mengembangkan pertanian tanpa bakar,” ujarnya.
Dr. Najib Asmani dari Tim Restorasi Gambut Sumatera Selatan menilai, memang perlu ada badan yang fokus mengurus atau merestorasi lahan mineral, seperti halnya pemerintah yang saat ini fokus pada lahan gambut melalui BRG. “Kasus temuan hotspot selama kemarau ini mungkin menjadi alat ukurnya. Hal ini dapat juga dibandingkan dengan daerah lain,” katanya, Minggu (17/06/2018).
“Sebenarnya, pemerintah pusat maupun sejumlah pemerintah daerah sudah melakukan berbagai upaya, tapi karena keterbatasan sumber daya dan minimnya monitoring, program atau upaya tersebut tidak optimal. Jadi, cukup perlu hadirnya badan restorasi di wilayah mineral,” lanjutnya.
Terkait restorasi lahan gambut, semoga semua desa yang berada di sekitar gambut mendapatkan perhatian. “Teorinya, kita menyelamatkan bentang alam, tapi manusia yang menjadi kuncinya. Setelah pembasahan dan manusia tidak merusaknya lagi, suksesi alami akan berjalan, mengembalikan lahan gambut ke kondisi awalnya, meskipun butuh ratusan tahun. Tapi minimal, tidak terbakar dan tanaman endemik tumbuh kembali,” ujarnya.