Tampak beberapa anggota Polsek Bener, mengawal penempelan pengumuman penetapan lokasi pengadaan tanah di Balai Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa, awal Juli lalu. Tak selang lama, pengumumam yang terdiri dari dua lembar kertas itu hilang, sudah terobek. Perangkat Desa Wadas memperlihatkan bekas robekan itu pada saya, pada penghujung Juli.
Pengumuman sama juga ditempel di beberapa desa terdampak pembangunan Bendungan Bener. Juga di Balai Desa Guntur dan rumah kepala Dusun Kalipancer—pengumuman utuh.
Isinya, pemberitahuan atas penerbitan surat keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018 pada 7 Juni 2018 soal persetujuan penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Bener.
Baca juga: Jaga Lahan Tani, Warga Wadas Tolak Penambangan Batu (Bagian 1)
Surat keputusan itu menyebutkan, maksud pembangunan bendungan untuk memenuhi kebutuhan air baku, irigasi, energi terbarukan, dan manfaat air lain. Total pengadaan tanah kurang lebih 592,08 hektar, di Purworejo dan Wonosobo.
Di Purworejo, meliputi dua kecamatan, di Kecamatan Bener (Desa Wadas, Bener, Karangsari, Kedungloteng, Nglaris, Limbangan, dan Guntur). Di Kecamatan Gebang meliputi Desa Kemiri. Di Wonosobo, berada di Kecamatan Kepil, meliputi Desa Gadingrejo, Bener, dan Burat.
Baca juga: Ribuan Pohon Durian Terancam Proyek Bendungan Bener (Bagian 2)
Pengumuman juga memuat perkiraan masa pembebasan tanah mulai Juni-Desember 2018. Pembangunan fisik 2019.
Modista Tandi Ayu, Kepala Bidang Pelaksanaan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, mengatakan, salah satu fungsi bendungan ini guna memenuhi kebutuhan air bandara baru yang sedang dibangun di Kulon Progo, New Yogyakarta International Airport (NYIA).
“Pembangunan bendungan itu belum merata. Memang sudah ada yang dibangun, yang belum dibangun sudah dipetakan. Misal, di Kebumen kan tidak harus dialirkan ke Purworejo karena mempertimbangkan topografi. Jadi yang di atas mengairi di bawah termasuk Yogyakarta yang kekurangan air. Termasuk memenuhi kebutuhan NYIA,” katanya, awal Agustus lalu.
Dia bilang, NYIA lebih membutuhan pasokan air bendungan itu dibanding tenaga listrik. “Untuk air, NYIA butuh 200 liter per detik, 300 liter per detik kalau tak salah untuk Kebumen. Sisanya, untuk Purworejo.”
Studi Bendungan Bener, katanya, sudah sejak 2003 dan mempertimbangkan banyak hal, antara lain lingkungan, daerah aliran sungai, daya dukung tanah, termasuk topografi.
“Air yang ditampung ke situ sebenarnya air yang akan terbuang ke laut. Air hujan, air yang menyebabkan banjir itu disimpan dalam baskom (bendungan), baru setelah itu kita bagi. Bisa untuk Jogja, Kulon Progo, Purworejo. Karena bendungan tinggi, dengan ketinggian itu bisa juga membuat pembangkit listrik.”
Termasuk mencegah banjir ke Kulon Progo yang berdampak ke bandara?
“Ya, termasuk. Kalau bikin bendungan kan multifungsi. Bikin bendungan untuk menampung air, menyimpan air, supaya air tidak lolos ke laut, pengendalian banjir, konservasi air, untuk listrik, air baku, irigasi. Fungsinya banyak sekali,” katanya.
Data Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas menyebutkan, investasi total proyek ini Rp1, 235 triliun, dari APBN.
Penanggung jawab proyek adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR). Kapasitas bendungan 100,94 M³, bisa mengairi lahan 15.069 hektar, mengurangi debit banjir 210 M³ perdetik, menyediakan pasokan air baku 1,60 M³perdetik, dan menghasilkan listrik 6.00 MW.
Bendungan Bener membendung aliran Sungai Bogowonto di bagian hulu, berasal dari Gunung Sumbing. Gunung Sumbing masuk Wonosobo, Magelang, dan Temanggung. Secara administratif genangan waduk berada di Purworejo dan Wonosobo.
Baca juga: Warga Wadas Tolak Pengerukan Bukit untuk Proyek Bendungan Bener
Sebelumnya, Mongabay, berusaha menemui Kepala Desa Wadas Rita Setyomihayu Rabu dan Kamis (25-26 Juli 2018). Namun belum berhasil karena ada acara pertemuan perangkat desa seluruh Indonesia dengan Presiden Joko Widodo di Yogyakarta. Hari berikutnya ada kegiatan lain.
Pada Rabu, 5 September, kembali Mongabay, mengirim pesan permintaan wawancara, namun tak ada respon.
Luas Bukit Wadas yang bakal dikeruk 145 hektar, terdiri dari tujuh dusun. Tanah bukit dikeruk hingga tampak batuan di bawahnya. Batu-batu itulah untuk material Bendungan Bener.
Lahan di bukit itu milik lebih 500 orang. Ini jumlah warga yang diundang dalam sosialisasi di Balai Desa Wadas 27 Maret lalu.
Seluruh warga belum bersertifikat. Warga memanfaatkan lahan untuk berkebun. Mereka tanam umbi-umbian, rempah, buah-buahan, kayu, hingga rumput untuk pakan ternak.
Ada informasi BBWS Serayu Opak sebenarnya punya alternatif lokasi lain sebagai material, yakni di Guyangan, Banyuasin. Jarak terbilang jauh 25-30 kilometer. Kalau material dari Wadas, sekitar 9-12 kilometer.
Meskipun penolakan warga menguat, kata Modista, tak bakal pindah lokasi pengambilan material.
“Setelah dipertimbangkan yang lain itu jauh. Membuat jalan ke situ sangat curam, alat berat yang mengangkut akan mengalami kesulitan,” katanya. Target pembangunan itu kan harus ada waktunya, jadi wajar tidaknya suatu pembangunan itu juga harus dihitung dari target waktu, biaya, sehingga bisa menjadi layak, menjadi ekonomis.”
***
Di seberang Balai Desa Wadas berdiri bangunan SD Negeri Wadas. Dalam data profile sekolah disebutkan sekolah berdiri 1958, jarak ke pusat kecamatan lima km. Jarak ke pusat kabupaten 15,5 km. Jumlah murid 128 siswa.
Tidak jauh dari sana bakal dibangun jalan baru untuk lalu lalang kendaraan pengangkut material bendungan. Lokasi sekolah sedikit meninggi hingga dari halaman sekolah mudah melihat hamparan sungai pada dataran sedikit ke bawah, kelokan sungai kecil, dan perbukitan di sebelah barat.
Jalan itu akan membuka akses langsung dari Perbukitan Wadas menuju bendungan, melewati Desa Kedungloteng, Bener, lalu Karangsari, berakhir di Guntur .
Dalam surat penolakan warga kepada BBWS Serayu Opak, pengangkutan material lewat jalan baru akan memotong jalan utama Desa Wadas. Ia berdekatan dengan sekolah– juga jadi salah satu alasan keberatan warga.
“Nanti kalau buat jalan, lalu ada lalu lalang truk, apa tidak mengganggu? Ada debu, suara. Pasti mengganggu proses belajar mengajar, juga anak-anak itu sendiri,” kata Uut, warga Wadas..”
Untuk pembangunan bendungan ini, tak ada fasilitas umum dibongkar, tetapi lahan dan rumah warga. Pembebasan lahan, katanya, untuk pembuatan jalan selebar 12 meter, ditambah tiga meter di kanan kiri jalan.
“Kalau yang buat jalan sudah ok semua. Cuma dilewati, jadi dampaknya tidak begitu besar.”
* * *
Bukit Wadas terlihat rimbun. Selain pohon durian, aren, dan kelapa, warga juga menanam tanaman perkebunan seperti karet.
Haryanto, warga Wadas mengaku memiliki 600 batang pohon karet. Dalam sebulan dari karet dia bisa dapatkan penghasilan setidaknya Rp750.000, sebagai hasil sampingan.
“Habis bulan syawal kemarin dapat dua kuintal lebih. Satu kilogram dihargai Rp6.500,” katanya.
Bukit Wadas, selain banyak pepohonan berakar dalam dan berdaun lebat, juga ‘rumah’ bagi fauna. Beberapa burung seperti betet, bekatul bawang, ayam hutan, bubut, tunggak, mendiami bukit itu.
Babi hutan, luwak, dan gangkrangan juga ada. Belum lagi puluhan mata air hingga kini masih dimanfaatkan oleh ratusan keluarga.
Slamet, warga Wadas menyesalkan sikap pemerintah yang mengabaikan alasan keberatan warga.
“Lokasi itu sudah ditetapkan, kami juga tak tahu lokasi persisnya yang mana. Pengumumannya cuma ditempel begitu saja sudah dianggap sah. Kita tidak ikut sosialisasi juga sudah dianggap sah. Jangan-jangan kita tidak ikut tanda tangan juga dianggap sah. Ah, luar biasa ini pokoknya.”
Wadas dalam bahasa Jawa berarti batu. Ada juga yang mengartikan tanah keras berwarna putih. Wadas, menurut perangkat desa dari kata wadahing satrio atau tempat kesatria.
Dulu banyak prajurit keraton dipercaya tinggal di sini. Bukti-bukti itu berupa uang peninggalan Belanda berangka 1800-an di makam, juga pohon nogosari dan randu alas di tanah pekuburan.
Kini, warga Wadas, keras menolak batu-batu bukit itu terkeruk untuk Bendungan Bener. Ia bak cerminan prajurit yang setia menjaga keutuhan bumi tempat hidupnya. (Bersambung)
Keterangan foto utama: Jalan Desa Nglaris, Purworejo. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia