Indonesia butuh langkah serius menghentikan penggunaan energi fosil, khususnya batubara, lalu beralih pada energi baru terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan.
Dewi Hairani, Sekretaris Balai Koalisi Perempuan Indonesia, mengatakan Indonesia harus memiliki komitmen kuat melakukan transisi energi yang berkeadilan. Ketergantungan terhadap batubara memiliki dampak negatif jangka panjang pada kesehatan, lingkungan hidup, dan perekonomian negara.
Dewi menyatakan, berdasarkan riset yang dipublikasikan Greenpeace Indonesia, PLTU batubara diperkirakan telah menyebabkan 6.500 kematian dini setiap tahun. Dengan rencana pembangunan PLTU batubara baru, angka kematian ini bisa mencapai hingga 21.200 jiwa pertahun.
“Dari hulu ke hilir, biaya kesehatan, lingkungan, dan sosial dari pertambangan batubara tidak diperhitungkan yang pada akhirnya harus ditanggung rakyat,” jelasnya.
Dia mengatakan, masyarakat sipil melalui gerakan #BersihkanIndonesia, menantang dua calon presiden dan wakilnya yang berlaga di pemilu 2019, mewujudkan komitmen “Indonesia Berdaulat Energi.”
Melalui gerakan #BersihkanIndonesia, pihaknya juga mendesak Gubernur Sumatera Utara terpilih untuk meninjau ulang izin proyek PLTU batubara yang beroperasi. Serta, mendesak agar pembangkit listrik yang menggunakan batubara di Sumatera Utara, diganti dengan energi terbarukan. “PLTU Pangkalan Susu, misalnya. Pemerintah melalui dinas terkait harus memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kepada masyarakat di sekitar ring satu proyek,” jelasnya.
Baca: Beratnya Andalkan Energi Batubara, dari Subsidi sampai Biaya Kesehatan Tinggi
Ketua Yayasan Srikandi Lestari, Mimi Surbakti mengatakan, Indonesia adalah surga energi terbarukan yang dituangkan dalam rencana usaha pemenuhan tenaga listrik (RUPTL) 2016-2025. Potensinya dari tenaga air (75.000 MWe), surya (4,80 KWh per meter persegi per hari), angin (3-6 meter per detik), kelautan (49 GWe), dan biomassa (49.810 MWe). ”Ini energi terbarukan yang melimpah dan ramah lingkungan,” jelasnya.
Mimi mengatakan, pemerintah harus mempercepat pengembangan energi terbarukan melalui perbaikan kebijakan, pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. “Pembelajaran dari perkara-perkara korupsi dan konflik kepentingan, perlu digunakan untuk mereformasi akuntabilitas sektor energi dengan upaya preventif. Diperlukan juga komitmen politik untuk membuka data-data energi yang terkait kepentingan hidup orang banyak,” jelasnya.
Baca: Riset Ini Sebutkan Target Energi Terbarukan 23% Bakal Meleset, Mengapa?
Komitmen
Kepala Bidang Energi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumatera Utara, Neftiana Awalia Sitepu, dalam Workshop Jurnalistik Lingkungan Seri I ‘Energi Kotor vs Energi Baru Terbarukan’ di Medan, Sumatera Utara, mengatakan, kepempimpinan Jokowi yang menargetkan peningkatan energi listrik 35 ribu megawatt mengutamakan energi baru terbarukan. Energi tersebut ramah lingkungan. Ada panas bumi, biomassa dan matahari yang menjadi target pembangkit listrik sebagai sumber energi terbarukan.
“Dinas ESDM, setiap tahun kami melakukan pengadaan pembangkit listrik tenaga surya dalam bentuk hibah,” jelasnya.
Untuk Sumatera Utara, menurutnya melalui rencana umum energi daerah (RUED), telah diproyeksikan penggunaan energi terbarukan sebesar 33 persen dari total energi yang ada pada 2025 mendatang. Terutama pemanfaatan panas bumi yang bisa menghasilkan energi listrik sebesar 2.250 MW. Selanjutnya, pemanfaatan energi matahari melalui panel surya (solar cell) dan pembangkit listrik biomassa dari limbah sawit.
“Pemerintah fokus mengurangi batubara dan mengutamakan energi terbarukan yang potensinya melimpah di Indonesia,” jelasnya baru-baru ini.
Terkait penggunaan energi terbarukan, Walhi Sumatera Utara telah mendesak Gubernur Edy Rahmayadi untuk meninjau ulang semua proyek yang masih menggunakan energi kotor. Anton Sipayung, Manager Program Wilayah Kelola Rakyat Walhi Sumut mengatakan, berdasarkan data PLN Wilayah Sumbagut, provinsi ini surplus listrik. Namun, sampai saat ini sejumlah pembangkit listrik masih menggunakan batubara, salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu, di Kabupaten Langkat.
“Debunya terhirup masyarakat di Pulau Sembilan yang berdampak buruk pada kesehatan. Belum lagi pencemaran laut akibat limbah cairnya yang mengancam kehidupan nelayan dan juga keberadaan biota laut yang ada,” tandasnya.