Taman laut Teluk Pemuteran menambah koleksinya dengan penurunan struktur terumbu karang dengan berat sekitar satu ton berwujud Barong dan Rangda, sebuah ikon keseimbangan alam. Jika biasanya pertunjukkan tari Barong dan Rangda biasa ditonton turis di darat, maka “pertunjukan” magis di bawah laut Pemuteran ini diperindah oleh ikan-ikan dan satwa laut lainnya.
Penurunan struktur dilakukan pada Pemuteran Bay Festival, sebuah acara tahunan kampanye lingkungan pesisir pada 12-13 Desember 2018 di Teluk Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali.
The Spirit of Rwa Bhineda, demikian tagline tahun ini yang terwujud dalam kerangka besi, dihias berbentuk Barong dan Rangda dan ditanami bibit koral, didominasi acropora ini. Konsep Rwa Bhineda adalah simbolik keseimbangan dunia, di mana ada suka duka, positif negatif, dan duka lara.
Dibutuhkan puluhan penyelam untuk menurunkan struktur Barong Rangda ini ke dasar laut. Panorama bawah laut Pemuteran terlihat magis dengan tambahan payung warna putih hitam. Struktur besi kuat menjadi pondasi, menopang Barong Rangda yang sudah terlihat wujudnya karena diisi tapel (topeng).
Komang Astika, aktivis lingkungan pengurus Yayasan Karang Lestari yang menjaga keberlanjutan konservasi pesisir di Pemuteran menyebut struktur biorock di Pemuteran ini menambah struktur mitologi lainnya seperti Garuda dan Gajah Mina. Keduanya juga besar dan berat. Sebelumnya ada puluhan struktur lain ukuran kecil dan sedang.
“Itu ikon kita untuk restorasi terumbu karang, Rwa Bhineda, penyeimbang energi positif dan negatif,” urai Astika yang tahun lalu menerima penghargaan pada Oceans Conference di Amerika Serikat. Ia mengatakan ada yang khawatir struktur magis Rangda dan Barong akan membuat bawah laut angker, namun menurutnya yang terpenting adalah makna keseimbangannya. Menyeimbangkan energi positif, agar Pemuteran terus bisa mempraktikkan pariwisata berkelanjutan didukung peran serta masyarakat dan pemerintah.
baca : Beginilah Indahnya Teluk Pemuteran Bali
Dua dekade sebelumnya, perairan Pemuteran memperlihatkan kerusakan bawah laut karena perilaku pengeboman ikan dan sianida. Terumbu rusak, ikan hias menghilang dan tangkapan nelayan berkurang. Sampai akhirnya pelopor wisata konservasi mendorong pengawasan di laut dengan pecalang (petugas keamanan tradisional) yang patroli dan menangkap pengebom.
Untuk mengisi kembali area secepat mungkin dengan karang dan ikan, pembibitan karang dibangun menggunakan Teknologi Akresi Mineral Elektroitik (Biorock). Karang yang tumbuh di pertambahan mineral berwarna sangat cerah dan tumbuh dengan cepat. Teknologi baru ini menggunakan listrik daya rendah untuk “menumbuhkan” batu gamping pada rangka baja dan meningkatkan laju pertumbuhan karang dan organisme terumbu lainnya.
Agung Prana, pengusaha hotel yang merintis usaha konservasi melalui Yayasan Karang Lestari, menggandeng ilmuwan Amerika Thomas Goreau dan Jerman, Wolf Hibertz mengembalikan keindahan bawah laut dengan teknologi biorock. Keberhasilan merehabilitasi terumbu karang ini diapresiasi dengan The Equator Prize dari Badan Program Pembangunan Dunia (UNDP) saat Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro, Brazil, 2012 lalu.
“Sistem restorasi menggunakan listrik tegangan rendah menghasilkan aktivasi mineral yang bisa megendap di struktur besi, akresi mendorong pertumbuhan karang,” urai Astika, penyelam dan warga Pemuteran yang terlibat sejak awal. Karena itu, struktur karang bisa dibuat dengan bentuk atraktif dan ukuran besar.
Barong Rangda ini dibuat melibatkan seniman lokal dari tim Biorock yakni Made Gunaksa, Edi Sastrawan, dan lainnya. Tingginya lebih dari 2 meter dan lebarnya sekitar 5 meter. Coral yang ditransplantasikan, menurut Astika, dari hatchery eksportir coral yakni Bali Coral dan Cahaya Baru yang didonasikan.
Tantangan terumbu karang menurutnya pemanasan global dan predator yang makan karang, karena praktik pengeboman sudah terhenti. Listrik yang diperlukan tergantung berapa jauh dari bibir pantai dan besar struktur yang dipakai, serta kabelnya. Tegangan listrik yang dialirkan 15-20 ampere untuk struktur ini.
baca juga : Biorock: Harapan Masa Depan Keindahan Terumbu Karang Indonesia
Dari pemantauannya di sejumlah struktur yang sudah turun, Astika menyimpulkan kondisi saat ini adalah awas. “Air masih tidak terlalu cocok untuk karang, masih hangat, tapi cukup untuk bertahan,” jelasnya. Karena itu agar terumbu karang tidak punah, harus melakukan sesuatu dengan inovasi.
Ia berharap kebutuhan listrik bisa terpenuhi dari sumber energi terbarukan seperti matahari. Proses menuju ke sana sudah dirintis dengan kombinasi listrik PLN dan solar cell. Namun perlu donasi karena biaya lebih mahal, seperti solar cell dan batere karena listrik harus terus mengalir.
Ia tidak terlalu risau biaya listrik yang dikeluarkan karena keuntungannya sudah nampak, misalnya peningkatan turis dan dampak ekonomi warga sekitar karena bawah laut makin indah. “Dampak lingkungan sudah jelas, karang hidup, ikan makin banyak. Pengeluaran listrik disponsori Hotel Taman Sari,” ia menyebut resor milik Agung Prana yang setia mendukung pemulihan terumbu karang dan pelestarian ini.
Dalam Pemuteran Bay Fest tahun ini ada sejumlah workshop dan kegiatan pesisir melibatkan anak-anak dan masyarakat sekitar. Misalnya bersih pantai, seri edukasi, dan workshop olah sampah oleh Gede Prajamahardika dan Made Bayak.
baca juga : Seni Bawah Laut Teguh Ostenrik untuk Terumbu Karang Indonesia
Teluk Pemuteran berada antara dua kawasan taman laut yakni Taman Nasional Bali Barat (Menjangan) dan Lovina. Kawasan teluk membuat air cukup tenang, kini jadi salah satu tujuan wisata bawah air yang terus berkembang. Pengunjung bisa menikmati sunrise dan sunset karena lokasinya yang strategis di Barat Laut.
Pada 2015, Reef Check Day dilakukan di 7 lokasi penyelaman di Kabupaten Buleleng, yakni
Pacung, Bondalem, Tejakula, Penuktukan, Lovina (2 lokasi penyelaman), dan Pemuteran. Peserta monitoring Reef Check melibatkan berbagai komunitas seperti Universitas Brawijaya, Kelompok Nelayan Pacung, Reef Seen, Sea rover, BPSPL Denpasar, Dinas Kelautan Buleleng, Pokmaswas DPL Taman Segara, Gaia Oasis, Alamanda, Univ. Warmadewa, kelompok nelayan Kalibukbuk, dive guide Lovina, Pokmaswas Bondalem, dive giude Tulamben, Conservation International, CORAL, LINI, Yayasan Reef Check Indonesia serta Joss Hill, ia adalah salah satu penyusun protokol metode Reef Check yang metodenya kini digunakan hampir di seluruh dunia turut serta dalam memperingati Reef Check Day di Bali.
Dikutip dari laporan kegiatan ini, sejumlah titik terdapat banyak sampah yang menjadi ancaman bagi terumbu karang. Di banyak lokasi terumbu juga dijumpai karang dan biota laut lainnya yang bersifat bentik, sessile (tidak dapat berpindah) yang mati akibat tertutup lembaran-lembaran plastik. Karena plastik tidak dapat hancur dalam waktu satu malam.
Ayu Charismawati koordinator tim reefcheck di wilayah Penuktukan menemukan indikasi pemutihan karang. Pada 2014-2015 telah terjadi fenomena El Nino dengan intensitas sedang yang menyebabkan kemarau panjang dan meningkatkan suhu permukaan air laut. Hal ini berdampak pada karang yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap perubahan suhu air laut.
Sedangkan team reefcheck yang melakukan monitoring di lokasi penyelaman di Pemuteran menemukan terumbu karang dengan kondisi tutupan yang baik. Kondisi ekosistem yang baik ditunjukan dengan ditemukannya 4 ekor hiu (white tip reef shark). Hiu merupakan top predator dalam rantai makanan dan menjaga keseimbangan ekosistem dan white tip reef shark menurut IUCN adalah jenis hiu yang hampir terancam punah.