Isak Napa, baru pulang dari kebun berjarak sekitar 500 meter dari Jalan raya Buho- buho-Bere-bere, Pulau Morotai, Maluku Utara. Di tepi jalan itu dia beristrahat sebentar, sebelum naik motor pulang ke rumah. Dia membawa beragam hasil kebun seperti singkong dan pisang.
Pria 45 tahun ini, salah satu warga yang lahannya kena garap perusahaan pasir besi, PT Intim Jaya Karya pada 2010. Lahan seluas dua hektar itu milik beberapa orang, yakni Isak Napa, Eles Napa, Yustus Mandibu dan Klemen Jaji.
Kala itu, perusahaan menjanjikan kepada Isak akan jadi tenaga kerja di perusahaan itu. Dia sangat hafal lokasi dan seluk beluk operasi perusahaan.
Isak pun menunjukkan salah satu titik eksplorasi tepat di kebun kelapa mereka. Di situ, masih tersisa potongan-potongan besi termasuk lubang eksplorasi untuk melihat potensi pasir besi.
Dia juga mengantarkan kami ke lokasi tambang pasir besi. “Lahan itu milik kami. Ada satu titik di kebun kelapa,” katanya, Oktober lalu.
Mereka lalu menuju pantai sudah tergali. Di sana, bisa terlihat sisa peralatan perusahaan ditinggalkan pasca mereka tak boleh beroperasi pada 2011. Ada bak besar tempat penampungan pasir dan beberapa alat dari baja. “Alat ini berfungsi memisahkan pasir besi dengan pasir biasa dengan air,” kata Isak.
Meskipun sudah tertutupi tumbuhan pantai, masih terlihat sisa–sisa kerja alat berat yang meninggalkan lubang. Pemodal itu
sempat mengeksploitasi pasir besi hampir setahun di Buho-buho. “Kami tak tahu pasti alasan perusahaan meninggakan kawasan itu. Ada informasi mereka pergi karena izin perusahaan bermasalah.”
Saat perusahaan angkat kaki, pasir besi ribuan kubik siap dikapalkan ada di beberapa tempat. Di kawasan penambangan Pantai Yao, missal, gundukan pasir menggunung masih terlihat.
Begitu juga di Pelabuhan Bere-bere pasir besi di tampung di depan pelabuhan baratus-ratus kubik. Menurut pengakuan warga, pasir besi yang tak terangkut ini sudah hampir sembilan tahun ini terbengkalai. “Pasir besi ini tidak bisa dibawa dan ditampung di pelabuhan ini karena perusahaan bermasalah,” kata Sofyan Abubakar, warga Bere-bere.
Menurut Isak, ada banyak janji perusahaan kepada masyarakat tidak dipenuhi. “Torang tau dia pe bos ada di Surabaya (kami tahu bosnya ada di Surabaya.”
Kala itu, kata Isak, ada 10 poin perjanjian dibuat dengan masyarakat sekitar tambang tetapi kesepakatan tak terealisasi.
Dari 10 poin itu, satu poin masih dia ingat, yakni kalau para pemilik memberikan lahan itu untuk eksploitasi mereka akan prioritas masuk jadi karyawan. Kenyataan, sampai perusahaan tutup, janji hanya janji. Perusahaan bahkan meninggalkan utang di masyarakat.
Banyak kelapa tergusur dan belum mereka bayar penuh. Waktu itu, satu tanaman kelapa tergusur Rp250.000. “Mereka hanya dibayar Rp175.000. Utang mereka masih ada ratusan juta,” kata Isak.
Bagi Isak kenangan pahit perusahaan pasir besi di kampong mereka sangat membekas. Dia berharap, tak ada lagi orang atau perusahaan datang menipu mereka. “Torang so ditipu jadi jangan lagi ada orang yang mau datang menipu torang. (Kami sudah berulangkali ditpu jadi jangan lagi orang datang menipu kami).”
Bagi Isak, kalau ada orang atau pengusaha datang mereka harus sesuai aturan dan ketentuan serta duduk bicara dengan warga sebagai pemilik lahan.
“Jangan sampai warga jadi korban kedua kalinya. Jangan mereka membohongi masyarakat. Sampai saat ini perusahaan sebelumnya meninggalkan masalah yang belum selesai. Kami tidak mau dibodohi lagi.”
Pada Pantai Yao, di mana perusahaan ini beroperasi, tampak hamparan pasir luas memanjang dari utara ke selatan. Pemandangan indah. Bukit-bukit karst menjorok hingga ke bibir pantai.
Ada dua izin pasir besi
Kabupaten Pulau Morotai, tak hanya menyimpan potensi pariwisata yang memesona. Kepulauan di bagian utara Halmahera ini juga memiliki pasir besi. Pada 2010, masuk ke Morotai, perusahaan tambang PT Intim Jaya Karya (IJK), mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi di Kecamatan Morotai Utara.
Perusahaan tutup. Saat pergi, perusahaan meninggalkan sejumlah masalah dari lingkungan rusak sampai masalah lahan warga.
Kini, ada dua perusahaan lagi masuk, yakni, PT Karunia Artha Kamilin (KAK) di Morotai Utara dan Morotai Jaya. Juga PT Ausindo Anugerah Pasifik (AAP) , konsesi eksplorasi di Morotai Selatan Barat dan Morotai Jaya. Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan dua perusahaan ini sudah selesai.
Data sejumlah pihak termasuk dokumen pemerintah provinsi dan kabupaten serta tim penyusun dokumen amdal, dua perusahaan ini akan mengeksploitasi kawasan tak sesuai regulasi dan tata ruang.
Data tim penyusun amdal diketuai Sugimin Sugianto yang didapatkan Mongabay menyebutkan, untuk KAK sesuai dokumen Perda rencana tata ruang wilayah Morotai No 07/2012, kawasan itu peruntukan bagi pengembangan pemukiman, usaha pertanian tanaman pangan dan lahan kering serta usaha perkebunan.
Izin KAK yang memiliki luasan konsesi sekitar 2.300 hektar tidak termasuk dalam kawasan yang bisa ditambang.
Dokumen kerangka acuan analisis dampak lingkungan (andal) yang dibahas bersama para pihak awal Oktober 2018, dan pengesahan dokumen amdal awal Desember ini, meninggalkan sejumlah persoalan serius.
Saat sidang dokumen amdal, warga sekitar tetap menolak kehadiran tambang itu.
KAK adalah perusahaan swasta nasional yang memperoleh izin usaha pertambangan eksplorasi tambang pasir besi di Kabupaten Pulau Morotai berdasarkan surat keputusan eksplorasi Bupati Pulau Morotai tertanggal 20 Januari 2010. Luas izin sekitar 2.750 hektar di Kecamatan Morotai Utara dan Morotai Jaya, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara.
Dalam perkembangan, KAK mengajukan permohonan perpanjangan dan penciutan izin eksplorasi kepada pemerintah Maluku pada 30 Maret 2015. Persetujuan perpanjangan dan penciutan pertama areal izin ekplorasi KAK seluas 2.300 hektar berada di Desa Gorua, Korago, Losuo di Morotai Utara. Lalu, Desa Towara, Gorugo, Pangeo dan Loleo di Kecamatan Morotai Jaya, Pulau Morotai.
Berdasarkan hasil eksplorasi 2012-2016, potensi endapan pasir besi di perairan laut dalam konsesi KAK sekitar 12.127.177 metrik ton (mt) tersebar di tiga blok di perairan laut sekitar 1.200 hektar, atau 51,17% dari areal izin. Dengan potensi itu, setiap tahun KAK akan menambang pasie besi 1,1 juta mt selama 10 tahun.
Warga protes
Masuknya perusahaan tambang ini mendapat protes keras warga sekitar. Pada penghujung November lalu, warga dari beberapa desa di daerah yang akan ditambang aksi protes. Warga menamakan diri Forum Masyarakat Penolakan Tambang Pasir Besi (FMPTPB) Pulau Morotai berkumpul dan membentangkan spanduk bertulisakn penolakan keras terhadap rencana masuk investasi tambang di kampung mereka.
Aksi di Pantai Desa Toara ini, sekaligus mendesak pemerintah Malut tidak mengeluarkan dokumen amdal tambang pasir besi sekaligus mencabut izin dua perusahaan itu.
Amran Mustika, Koordinator lapangan (Korlap) aksi massa FMPTPB menyampaikan, aksi ini protes kepada Pemkab Morotai, Pemprov Malut dan pemerintah. Ia sekaligus menegaskan, rakyat Kabupaten Pulau Morotai menolak perusahaan tambang pasir besi masuk ke wilayah mereka.
“Eksploitasi tambang pasir besi dipastikan merusak lingkungan, terutama ekosistem laut. Juga mengancam ekonomi rakyat, terutama nelayan bias kehilangan mata pencaharian,” kata Amran.
Dampak buruk lain atas kehadiran tambang, katanya, akan membawa bencana lingkungan bagi warga sekitar. Masyarakat sekitar tambang terdiri dari Desa Toara, Gorago, Loleo dan Desa Pangeo , terancam kalau perusahaan beroperasi.
Komitmen warga Morotai Jaya menolak tambang pasir besi juga disuarakan warga Desa Towara, Gorugo, Pange dan Loleo. Awal Desember lalu, di Morotai, mereka adakan temu media menolak rencana tambang pasir besi ini.
Jamalu Piong, Ketua Forum Masyarakat Penolakan Tambang Pasir Besi (FMPBTPB) mengatakan, meskipun pada 30 November lalu keterwakilan masyarakat dari empat desa telah mengikuti rapat Komisi Penilaian Amdal Malut terkait pembahasan tentang amdal, dihadiri kedua perusahaan, namun masyarakat tetap menolak.
”Kami masyarakat Kecamatan Morotai Jaya tetap menolak investasi pertambangan pasir besi di desa kami. Ini dapat membawa dampak lingkungan selamanya,” kata Jamalu.
Komitmen penolakan tambang pasir besi oleh warga empat desa melalui rapat bersama digelar 3-4 Desember 2018. Mereka menghasilkan rekomendasi penolakan dan disampaikan saat pertemuan di Ternate. “Kami sudah sampaikan sikap penolakan masyarakat empat desa. Ini bentuk perjuangan dan komitmen kami.”
Ancaman kerusakan lingkungan
Ma’fud Tuasikal, Kepala Balai Lingkungan Hidup (BLH) Pulau Morotai, bilang, bila tambang pasir besi ini masuk akan berdampak negatif bagi lingkungan. Tambang pasir besi, katanya, merusak biota laut, karena menyedot pasir di kedalaman sampai 80 meter hingga dipastikan merusak terumbu karang dan biota lain.
“BLH Morotai sudah diundang Pemprov Malut selama dua hari membahas amdal. Pemkab tetap prinsip sama dengan masyarakat, menolak,” katanya saat dikonfirmasi.
Bagi dia, tambang pasir bawah laut dan pesisir pantai dilarang UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau pulau Kecil. Pelarangannya, kata Ma’fud, sangat jelas dan tegas dalam Pasal 33, 34 dan 35. Sanksi pun, katanya, tertuang dalam Pasal 72, 73 dan 74.