- Konflik masyarakat dengan gajah sumatera terjadi setiap tahun di Aceh. Gajah masih dianggap hama sebagai salah satu penyebab pertikaian tidak pernah usai
- BKSDA Aceh mencatat, konflik masyarakat dengan gajah umumnya terjadi karena gajah masuk kebun sawit atau lahan pertanian
- Konflik paling sering terjadi di Kabupaten Bener Meriah, Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Tenggara
- Parit di pinggir hutan atau barier merupakan cara untuk mengantisipasi terjadinya konflik manusia dengan gajah. Menjaga habitat dan jalur lintasan gajah tidak rusak adalah hal paling utama
Konflik antara masyarakat dengan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] terjadi setiap tahun di Aceh. Pertikaian ini, tidak hanya menyebabkan kematian gajah yang dicap sebagai hama, tetapi juga dimanfaatkan pemburu yang mengincar gadingnya.
Data BKSDA Aceh 2016 menunjukkan, ada 46 konflik antara masyarakat dengan gajah. Umumnya, pertikaian terjadi karena gajah masuk kebun sawit milik masyarakat, perusahaan pemegang HGU, dan lahan pertanian masyarakat lainnya.
Pada 2017, jumlahnya meningkat tajam menjadi 103 kasus. Sementara 2018 ada 71 kasus dan awal 2019 sudah terjadi juga pertikaian di Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Pidie.
Di provinsi paling barat Indonesia ini, konflik paling sering terjadi di Kabupaten Bener Meriah, Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Tenggara.
Baca: Catatan Akhir Tahun: Kejamnya Manusia Pada Gajah Sumatera
Salah satu cara yang tengah dilakukan untuk mengatasi persoalan ini adalah membangun barier atau parit di pinggir hutan yang bersambung dengan barier alami. Dengan begitu, diharapkan gajah liar tidak keluar dari hutan.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, barier memang salah satu cara menyelesaikan konflik gajah dengan manusia. Lokasinya di perbatasan hutan dengan wilayah kelola masyarakat.
“Barier itu bisa jadi barier alami, barier berupa parit, barier arus listrik, maupun barier tanaman yang tidak disukai gajah. Semua barier buatan itu harus tersambung dengan barier alami,” terangnya Jumat [08/2/2019].
Baca: Perseteruan Manusia dengan Gajah Sudah Saatnya Dihentikan
Sapto mengatakan, saat ini barier yang telah selesai dikerjakan berada di Kabupaten Aceh Jaya, dibangun oleh CRU Aceh. Ini berupa barier parit dan listrik. “Sementara di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Selatan, sedang dibuat parit oleh Forum Konservasi Leuser [FKL].”
Sapto menambahkan, pembuatan barrier berupa tanaman bisa berupa jenis tanaman berduri seperti lemon. Buahnya juga bisa dimanfaatkan masyarakat. “Barier hanya cara mengantisipasi. Pastinya, menjaga habitat dan jalur lintasan gajah tidak rusak adalah hal paling penting,” ungkapnya.
Baca: Foto: Kisah Sedih Gajah Sumatera yang Berujung Kematian
Direktur Forum Konservasi Leuser [FKL], Rudi Putra mengatakan, di Kabupaten Aceh Timur, dibutuhkan sekitar 56 kilometer parit untuk menyelesaikan konflik manusia dengan gajah.
“Pembuatannya di perbatasan hutan dengan lahan masyarakat. FKL sedang mengerjakan 22 kilometer. Sisanya, berdasarkan kesepakatan dibangun perusahaan pemegang hak guna usaha [HGU],” terangnya, Minggu [10/2/2019].
Rudi mengatakan, FKL bersama Pemerintah Aceh Timur telah membangun 19 parit, sementara empat perusahaan HGU yang berbatasan langsung dengan hutan dan sering lintasi oleh gajah belum ada yang memulai.
“Harusnya, mereka bisa membangun lebih cepat, jangan sampai menunggu konflik terjadi,” ungkapnya.
Baca juga: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera
Irwandi, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Wilayah VI Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh mengatakan, di Kabupaten Aceh Selatan, pembuatan barier yang dilakukan KPH VI bersama FKL berada di Desa Kapa Sesak, Kecamatan Trumon Timur.
“Parit sepanjang 2,5 kilometer telah dikerjakan dari total sekitar 8 kilometer yang direncanakan. Lokasinya, mulai dari Sungai Alas-Singkil hingga ke sungai di Kecamatan Trumon Timur,” katanya.
Irwandi mengatakan, parit berada di perbatasan hutan produksi [HP] dengan areal penggunaan lain [APL]. Selain itu, parit bisa digunakan sebagai pembatas hutan dengan wilayah kelola masyarakat.
“Sebenarnya kami ingin menambah panjang parit, tapi terkendala dengan permintaan masyarakat ingin mengelola hutan produksi sebagai kebun. Kita tidak bisa menyetujuinya, jadi masih dilakukan pendekatan sekaligus penjelasan,” ungkapnya.