- Adanya Skandal perikanan di Eropa Utara pasca terbitnya laporan bertajuk Konsentrasi Kuota Perikanan di Denmark yang dipublikasikan oleh Rigsrevisionen (Kantor Audit Nasional) pada Agustus 2017.
- Skandal itu berupa monopoli penguasaan 66% kuota penangkapan ikan oleh 16 pebisnis pada 2017 di Denmark, yang terjadi karena Kementerian Pangan dan Lingkungan Hidup Denmark absen dalam menyusun perangkat regulasi dan kelembagaan yang transparan dan akuntabel guna mengontrol kuota perikanan tersebut.
- Polemik manajemen sumber daya perikanan terkait perilaku manusia. FAO (2018) menyebutkan tingkat eksploitasi sumber daya ikan yang tidak terkontrol dan memuncak antara 1970-1980 menjadi penyebab utama menurunnya tren produksi perikanan tangkap di dunia.
- Sejak pemerintahan Jokowi, Indonesia berupaya mengelola perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab dengan berbagai kebijakan. Namun regulasi perikanan tidak berjalan, karena tiga sebab. Presiden terpilih nantinya diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut.
Masyarakat perikanan di Eropa Utara dibuat geger pasca terbitnya laporan bertajuk Kvotekoncentrationen i Dansk Fiskeri (Konsentrasi Kuota Perikanan di Denmark) yang dipublikasikan oleh Rigsrevisionen (Kantor Audit Nasional) pada bulan Agustus 2017 silam.
Seperti diketahui, sejak diperkenalkan pada tahun 2002, nelayan di Denmark dan Uni Eropa memiliki hak untuk membeli dan menjual kuota penangkapan ikan yang disebut sebagai ITQ (Individual Transferable Quotas). Hal ini diatur di dalam European Union Common Fisheries Policy (CFP).
Di Denmark, jumlah armada penangkapan ikan sebanyak 2.789 unit dan 88 persen di antaranya bertonase di bawah 25 GT dan menggunakan jaring insang (gill nett). Sementara itu, 84 unit lainnya merupakan kapal ikan yang bertonase lebih dari 150 GT dan menggunakan alat tangkap ikan jenis trawl dan purse seine (FAO, 2011).
baca : Pemerintah yang Baru Harus Jaga Komitmen Transparansi Kelautan dan Perikanan
Pada perkembangannya, seperti dilaporkan oleh Rigsrevisionen, ditemui sejumlah fakta yang mencederai prinsip keadilan sosial dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, yakni pertama, kuota perikanan hanya dimiliki oleh 16 pebisnis dengan tingkat penguasaan mencapai 2/3 atau 66 persen dari total keseluruhan kuota tangkapan ikan pada tahun 2017. Angka ini meningkat drastis dibandingkan tahun 2012, yakni sebesar 53 persen. Dari jumlah tersebut, 10 pemilik kuota perikanan di antaranya memiliki rata-rata penguasaan sumber daya ikan hingga 47 persen dihitung berdasarkan kapasitas kapal ikan yang dimiliki.
Kedua, laporan Rigsrevisionen juga menyebutkan bahwa Kementerian Pangan dan Lingkungan Hidup Denmark absen dalam menyusun perangkat regulasi dan kelembagaan yang transparan dan akuntabel guna mengontrol pelaksanaan kebijakan kuota perikanan berbasis individu tersebut. Imbasnya, praktek monopoli di dalam pengelolaan sumber daya perikanan kian menggurita. Tak hanya di Denmark, praktek serupa juga terjadi di Perancis.
Apa yang terjadi di Denmark dan Perancis menunjukkan bahwa polemik manajemen sumber daya perikanan (fisheries management) memiliki keterkaitan dengan perilaku manusia (human behaviour). Hal ini sejalan dengan laporan FAO (2018) yang menyebutkan bahwa tingkat eksploitasi sumber daya ikan yang tidak terkontrol dan memuncak antara tahun 1970-1980 ditengarai menjadi penyebab utama menurunnya tren produksi perikanan tangkap di dunia. Imbasnya, tingkat keberlanjutan biologis (biologically sustainable levels) stok sumber daya ikan merosot tajam, dari 90% (1974) menjadi 66,9% (2015).
Setali tiga uang, tingkat ketidakberlanjutan biologis (biologically unsustainable levels) stok sumber daya ikan justru meningkat, yakni 10% pada tahun 1974 menjadi 33,1% pada tahun 2015. Dengan perkataan lain, perilaku manusia merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya tingkat ketidakpastian di dalam pengelolaan sumber daya perikanan.
baca juga : Sudah Tepatkah Kebijakan Pemerintah di Sektor Kelautan dan Perikanan?
Dalam khazanah perikanan dunia, dikenal adanya 3 model manajemen perikanan, yakni pertama, manajemen sumber daya perikanan yang mempergunakan ITQ sebagai salah satu manifestasi rights-based systems. Hal ini dilakukan di Uni Eropa dansejumlah negara seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Islandia; kedua, manajemen sumber daya perikanan yang menggunakan pendekatan berbasis masyarakat (community-based approaches); dan ketiga, penutupan wilayah tangkapan ikan (area closures) seperti yang diterapkan di banyak negara berkembang.
Lantas, bagaimana dengan manajemen perikanan di Indonesia?
Sejak Oktober 2014, Indonesia berupaya ekstra menghadirkan tata kelola perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Salah satunya melalui terbitnya Keputusan Menteri No.47/2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di WPP-NRI. Sayangnya, surplusnya kebijakan di sektor perikanan tak berbanding lurus dengan implementasi yang memadai. Di sinilah ketidakpastian manajemen perikanan memberikan kerugian yang sangat besar kepada pelaku usaha perikanan.
Berkebalikan dengan Indonesia, Denmark justru telah menerapkan kebijakan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (total allowable catch) di dalam pengelolaan perikanannya. Bedanya, Kementerian Pangan dan Lingkungan Hidup Denmark terindikasi belum menetapkan peraturan pendukung dan skema pengawasan pelaksanaan kebijakan ITQ. Hal ini berakibat pada rentannya validitas data yang dihasilkan. Inilah skandal perikanan terbesar di Eropa.
Di Indonesia, Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.45/2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31/2004 tentang Perikanan menginstruksikan kepada pemerintah agar “setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan mengenai potensi dan alokasi sumber daya ikan, serta jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia”. Sayangnya, mandat ini kerap diabaikan.
Lebih parah lagi, jamak ditemui fakta bahwa pemberian izin penangkapan ikan yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (untuk kapal >30 GT) dan/atau Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi (<30 GT) sering kali mengabaikan rekomendasi Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Pertanyaannya, mengapa hal ini masih terjadi?
menarik dibaca : Tata Kelola Kapal Perikanan Masih Amburadul?
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Januari 2019) mencatat setidaknya terdapat dua hal yang menyebabkan tidak berjalannya regulasi di sektor perikanan. Pertama, adanya kesenjangan yang sangat besar antara aturan dengan pelaksanaannya di lapangan. Hal ini diperparah oleh ketidaksiapan kelembagaan di daerah untuk menjalankan mandat Undang-Undang No.45/2009 tentang Perikanan maupun aturan pelaksananya.
Kedua, penerbitan administrasi perikanan mengabaikan rekomendasi Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan). Selain menambah bobot ketidakpastian usaha perikanan, juga beresiko menimbulkan konflik antar-pelaku usaha perikanan akibat minusnya stok sumber daya ikan. Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian di dalam pengelolaan sumber daya perikanan?
Setidaknya ada 3 upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi ketidakpastian di dalam pengelolaan sumber daya perikanan, yakni pertama, menggunakan rekomendasi Komnas Kajiskan sebagai rujukan primer pemanfaatan sumber daya perikanan. Kedua, memfasilitasi pelaku usaha perikanan nasional untuk melaporkan dan mendaratkan hasil tangkapan ikannya di pelabuhan perikanan melalui mekanisme insentif dan disinsentif. Dan ketiga, merevitalisasi kelembagaan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan dalam rangka menghadirkan kepastian iklim berusaha dan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan.
Akhirnya, Kaisar Napoleon Bonaparte (1769-1821) pernah berujar, “The policy of a state lies in its geography”. Pada konteks inilah, kebijakan pembangunan nasional ke depan mesti bertumpu pada manajemen sumber daya perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Dengan jalan inilah, kemakmuran rakyat bisa dihadirkan. Inilah urgensi Pemilu 2019 sesungguhnya, untuk memilih Presiden yang bisa mengelola sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
***
*Abdul Halim, Analis Geopolitik dan Diplomasi Internasional; Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity, Jakarta. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis.
***
Keterangan foto utama : Nelayan dengan perahunya berangkat melaut di Pantai Malalayang, Manado. Sulut. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia